Catatan Prof Dr Midian Sirait*
Dr MIDIAN SIRAIT. “Bagaimanapun tantangan yang kita hadapi saat ini, yang berasal dari dalam tubuh bangsa ini sendiri maupun tantangan dari luar yang timbul karena persaingan global dewasa ini, harus bersandarkan kepada suatu dasar yang kepadanya bersandar gagasan politik, maupun gagasan-gagasan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Artinya, ada kebutuhan terhadap satu ideologi. Dan ideologi satu-satunya yang kita miliki adalah Pancasila.”
TITIK lemah lainnya dalam peningkatan kemampuan nasional dan sekaligus menjadi penghambat jalan menuju pencapaian keadilan sosial, adalah masalah korupsi. Korupsi menjadi lebih subur karena sebagian bangsa ini juga memang hidup dalam suatu suasana konsumerisme dan hedonisme. Dengan hedonisme, moral kita akan lebih dipengaruhi oleh harta atau kesenangan yang didapat dari harta itu. Peranan kaum intelektual menjadi penting –selain dari peranan agama yang biasanya lebih formalistis– untuk memberikan pencerahan melalui diskusi-diskusi, memperkuat dialog-dialog dan kemampuan berdialog. Dengan berbagai upaya seperti itu akan terjadi pendewasaan. Pendewasaan politik juga berarti keharusan pemberian kesempatan untuk berbuat. Kesempatan untuk berbuat, sebenarnya adalah juga salah satu pangkal dari demokrasi. Berikan rakyat kesempatan untuk ikut berbuat, dimulai dalam kaitan pemilihan umum yakni memberi suara, kemudian kesempatan untuk mengkontribusikan konsep dan gagasan, serta membuka pintu bagi social participation di segala bidang kehidupan. Willy Brandt, yang pernah menjadi Kanselir Jerman Barat, menyebutnya sebagai mitmachen, ikut berbuat. Adanya kesempatan ikut berbuat akan mempermudah masyarakat untuk mengerti demokrasi itu.
Menghindari malapetaka baru: Revitalisasi Pancasila
Secara lebih luas dalam masyarakat, harus ada institusi-institusi untuk lebih merekatkan persaudaraan antar rakyat khususnya di desa-desa, sebab akibat kegiatan-kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang terus menerus, tampak gejala retakan dalam persaudaraan antar masyarakat di daerah-daerah. Suasana persaingan yang mengarah pertarungan kekuasaan dengan melibatkan kelompok-kelompok dalam masyarakat di daerah-daerah dalam pilkada-pilkada, ternyata menciptakan pembelahan-pembelahan dalam tubuh masyarakat. Masyarakat terus menerus dipengaruhi oleh kehidupan politik yang penuh intrik. Partai-partai terus menerus memberikan propaganda demi pencapaian kemenangan tanpa mempertimbangkan lagi akibat-akibat bisa terjadinya pembelahan masyarakat. Dalam setiap pemilihan kepala daerah timbul friksi mendalam yang bisa berlangsung berkepanjangan. Kita harus punya institusi untuk bisa kembali mempersatukan masyarakat. Harus ada upaya konvergensi kembali dalam kehidupan masyarakat, bukan terus menerus mengalami divergensi. Kecenderungan divergensi masyarakat dipertinggi kadarnya oleh pemilihan-pemilihan kepala daerah itu, sehingga masyarakat makin terbelah, makin terburai. Kalau sudah terburai, masyarakat kita makin atomistik. Kita harus menemukan cara bagaimana persaudaraan itu di desa-desa tetap terpelihara. Tawuran antar desa, kini menjadi hal yang biasa, nanti tawuran antar dusun atau antar rukun warga dan seterusnya di satu desa. Pada titik ini kita sudah harus lebih berhati-hati.
Sebelum terlalu terlambat lebih baik kita menghidupkan institusi yang memperbanyak komunikasi, salah satunya misalnya adalah institusi yang lebih banyak bersifat kebudayaan. Di pulau Jawa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Jawa Barat, umumnya kalau ada pertunjukan wayang golek atau wayang kulit, masyarakat seakan mempersatukan diri dalam ‘kenikmatan’ budaya. Mereka tidak ingat lagi perbedaan karena ‘politicking’ berkadar tinggi yang melanda kehidupan mereka sehari-hari. Institusi budaya seperti ini harus diperbanyak. Untuk luar Jawa cari bentuk budaya atau adat istiadat lain yang bisa mengkonvergensikan masyarakat. Jangan sampai fungsi persaudaraan, lama kelamaan jadi makin meredup karena cahaya memancar divergen, tidak lagi bersinar kuat dalam pancaran yang konvergen. Tidak hanya kita yang bersifat kekeluargaan dan penuh persaudaraan. Kemanusiaan itu ada di mana-mana, universal.
Dalam Pancasila disebutkan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab itu, berdasar Ketuhanan yang maha esa, maka tidak bisa tidak, sesungguhnya bangsa ini harus dan akan mampu berada dalam pergaulan dan persaudaraan antar bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang universal. Tetapi kita harus bisa memulainya lebih dahulu dalam wujud penyelenggaraan pemerintahan yang lebih terintegrasi dan demokratis. Perbanyak propinsi dengan sistem otonomi, akan tetapi sebaliknya untuk pemerintahan kabupaten di dalam propinsi-propinsi yang memiliki otonomi, perlu semacam evolusi sistem otonomi yang sekarang kita jalankan. Untuk mengelola birokrasi dan pengadministrasian pembangunan di daerah tingkat dua, dijalankan merit system, dan pusat membantu bupati dengan kemampuan profesional dan ditempatkan tim teknis sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Dalam sistem yang dijalankan sekarang terlalu banyak kemunduran, berupa terjadinya pembelahan-pembelahan masyarakat, dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Sekarang ini misalnya ada bupati, yang begitu menang pemilihan kepala daerah, segera mengganti semua pejabat di jajaran pemerintahannya, tanpa mengindahkan lagi sistem dan tata aturan kepegawaian yang ada dalam undang-undang. Ia mengganti para pejabat dengan orang-orang baru dari kalangan keluarganya dan atau dari kalangan teman-temannya. Ini menambah peruncingan pembelahan pasca pilkada yang memang sudah tercipta dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri sebelumnya, yang berkonotasi pertarungan politik dan pertarungan kelompok masyarakat. Semua ini jangan diteruskan, kalau dibiarkan 5-10 tahun lagi divergensi masyarakat akan makin menguat dan pada akhirnya menjadi satu malapetaka baru. Kita seringkali menganggap persatuan nasional kita sudah final, terutama dalam anggapan yang sloganistik, tetapi kenyataan kerapkali menunjukkan hal-hal sebaliknya. Institusi-institusi untuk memperkuat persatuan nasional ini harus menjadi suatu concern bersama. Semangat Sumpah Pemuda/ Bangsa 1928 bagaimanapun harus tetap dihidupkan.
Diperhadapkan dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya malapetaka baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang telah berkali-kali kita alami dalam sejarah Indonesia modern, untuk kesekian kalinya kita berpaling kembali kepada nilai-nilai yang telah kita miliki dalam Pancasila. Ini tentu bukan sekedar retorika, apalagi sekedar klise. Bagaimanapun tantangan yang kita hadapi saat ini, yang berasal dari dalam tubuh bangsa ini sendiri maupun tantangan dari luar yang timbul karena persaingan global dewasa ini, harus bersandarkan kepada suatu dasar yang kepadanya bersandar gagasan politik, maupun gagasan-gagasan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Artinya, ada kebutuhan terhadap satu ideologi. Dan ideologi satu-satunya yang kita miliki adalah Pancasila.
Terlepas dari belum tercapainya kepuasan sepenuhnya atau sikap skeptis yang mungkin saja ada terhadap Pancasila, tak mungkin kita menyusun kembali suatu ideologi baru. Katakanlah, untuk menandingi dan atau menghadapi konsep neo liberalisme yang sebagai fakta senantiasa mematahkan semua ideologi lain terutama melalui hegemoni dan kekuatan ekonomi secara global. Pertanyaannya, apakah Pancasila mempunyai daya tanding ? Dalam pengutaraan-pengutaraan yang disampaikan Rahman Tolleng, Marzuki Darusman SH, Dr Anhar Gonggong dan Dr Abdul Hadi WM, dari sudut pandang dan pengalaman politik, hukum, ekonomi, sejarah maupun agama dan budaya, nilai-nilai dalam Pancasila secara hakiki memenuhi syarat kemampuan gagasan yang dibutuhkan sebagai suatu ideologi modern. Tetapi, menurut Marzuki Darusman, diperlukan proses ideologisasi lebih lanjut. Saya sendiri menyebutkan kebutuhan itu sebagai: Revitalisasi Pancasila.
Dalam proses revitalisasi tercakup pengertian Pancasila sebagai ideologi merupakan pangkal atau dasar berpikir, lalu ada prinsip-prinsip, kemudian ada institusi-institusi yang menggerakkannya, dan terakhir ada ukuran-ukuran untuk mengetahui apakah prinsip-prinsip itu terwujud atau tidak. Prinsip-prinsip adalah bagaimana sebagai ideologi Pancasila meningkatkan harkat dan martabat manusia, bagaimana meningkatkan persatuan nasional dan bagaimana menciptakan kesejahteraan dalam keadilan sosial. Institusi-institusi apa saja yang diperlukan untuk menegakkan prinsip-prinsip itu. Setelah itu, kita mengukur tingkat keberhasilannya. Karena, pada hakekatnya ideologi itu dalam pelaksanaannya terukur, antara lain dengan melihat sejauh mana institusi-institusi untuk melaksanakan prinsip-prinsip di dalamnya bisa bekerja dengan baik secara teratur, serta apa yang diperoleh masyarakat dengan hak-hak demokrasinya dan dalam kesejahteraan, dan sebagainya sebagaimana telah coba kita uraikan dalam beberapa bagian buku ini. Kita mencatat kembali, sebagai suatu resume, bahwa dalam kaitan prinsip dan gagasan yang terkait dengan Ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab, amat besar peranan agama yang dijalankan atas dasar saling menghargai sesama umat seagama maupun antar agama. Selain itu diperlukan sikap keterbukaan kaum beragama terhadap kemajuan ilmu dan gagasan-gagasan baru dalam kehidupan beragama dan kemanusiaan. Sedang pada pada sisi pemerintah, harus makin terlihat kesungguhan dalam menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, seperti yang tertuang dalam Pasal 29 Undang-undang Dasar kita.
Dalam kaitan persatuan nasional dan demokrasi, pendewasaan dalam kehidupan berpartai dan berparlemen merupakan kebutuhan utama, begitu pula dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Secara menyeluruh untuk pelaksanaan prinsip-prinsip dalam Pancasila, perlu memperbanyak dan memperkuat keberadaan lembaga-lembaga dengan fungsi penyelenggaraan dialog yang seluas-luasnya. Tak kalah pentingnya memperkuat aspek komunikasi masyarakat terutama melalui institusi-institusi budaya dan kebudayaan, yang mengandung nilai-nilai keindahan dan keluhuran tradisional maupun universal. Secara khusus untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah penting membentuk dan memperkokoh lembaga-lembaga jaminan sosial dan kesehatan, memperkuat sektor koperasi, membina sektor non formal sebagai alternatif lapangan nafkah dan kreativitas ekonomi, serta berbagai kebijakan yang diperlukan untuk kepentingan pemerataan keadilan dan kesempatan hidup serta kesempatan ‘turut berbuat’ bagi semua orang.
Sebagai penutup, saya memberi catatan bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi satu kata akhir. Tulisan ini bahkan dimaksudkan sebagai pembuka bagi satu rangkaian dialog berkelanjutan mengenai Pancasila, sehingga pada akhirnya kita tiba kepada satu tingkatan memadai dalam revitalisasi Pancasila. Dan, pada saatnya dalam artian sebenarnya, Pancasila menjadi ideologi yang merupakan pangkal berpikir kita semua untuk mencapai tujuan-tujuan bersama sebagai bangsa dalam satu negara. Terutama, dalam mencapai tujuan negara sejahtera, yakni terwujudnya keadilan sosial yang secara terus menerus dinantikan oleh bangsa ini.
*Tulisan ini adalah Bagian Kelima (bagian penutup) buku Prof Dr Midian Sirait “Revitalisasi Pancasila”, yang ditulis 2008 bertepatan dengan usia ke-80. Kini telah almarhum. Buku ini menjadi karya terakhir beliau. Semasa di Jerman, kuliah sosiologi dan politik sambil mempersiapkan disertasi Doktor Ilmu Pengetahuan Alam FU Berlin Barat, dan lulus Doktor Rerum Naturalum FU Berlin Barat (1961). Di tanah air beliau dikenal sebagai salah seorang konseptor pembaharuan politik melalui perombakan struktur politik di masa pergolakan 1966 hingga tahun 1970-an.