SEMESTINYA kita memetik pelajaran, sehingga dalam reformasi jangan sampai kita ulangi lagi perilaku dan percaturan politik yang penuh dengan unsur emosional. Emosi masyarakat itu bisa tersulut karena memang ada sejumlah faktor-faktor objektif untuk itu. Apalagi kalau ada faktor subjektif, semisal dari seorang pemimpin yang mempunyai perilaku politik yang bisa membawa kembali situasi tersulutnya emosi. Jangan sampai ideologi-ideologi golongan makin dipertajam, dan sebaliknya rasa persaudaraan ditinggalkan, aspek peri kemanusiaan dikebelakangkan. Perbedaan-perbedaan hendaknya bisa kita selesaikan dengan menahan dan mengendalikan aspek emosional dalam masyarakat. Jangan biarkan terciptanya akumulasi emosi kolektif dalam masyarakat.
Surutnya rasa persaudaraan dan kemanusiaan di sekitar masa peralihan tahun 1998, mendorong saya menerima gagasan –dari Dr Astrid Sunaryo dan Dr Sunarjati Sunaryo– untuk mendirikan sebuah partai baru yang bertujuan untuk memperkuat aspek hak azasi manusia. Partai itu mencantumkan kata kasih bangsa sebagai tambahan kata demokrasi untuk menegaskan tujuan itu. Partai itu ternyata hanya menarik minat kalangan yang kebetulan beragama Kristen dan Katolik, sehingga pada akhirnya konotasinya semata-mata adalah partai berdasarkan agama dan mendapat dukungan terutama di bagian timur Indonesia. Maka salah seorang teman seperjuangan saya di Golkar, 1967-1973, mengatakan saya akhirnya kembali ke ‘habitat asli’. Maksudnya, pastilah bahwa dari seorang yang tidak sepakat dengan kepartaian yang ideologistis, saya ‘mundur’ mendirikan partai yang berdasarkan suatu ideologi agama.
Dr MIDIAN SIRAIT. “Saya kira apapun gejolak dalam negara kita, social costnya harus diupayakan sekecil mungkin, diminimalisir. Semua diarahkan untuk menjadi satu bangsa yang makin dewasa. Pendewasaan itu tentu dengan pengikutsertaan semua warganegara dalam proses demokrasi, dan dengan warganegara yang memiliki kedewasaan itu nanti makin jelas usaha kita yang mengarah kepada perwujudan keadilan sosial itu.”
Tentu saya bisa menyangkal bahwa partai yang ikut saya dirikan itu bukanlah sebuah partai berdasarkan ideologi agama. Tetapi pada sisi lain memang merupakan kenyataan, bahwa gagasan awal ketika mendirikan partai itu, berupa perhatian kepada masalah demokrasi dan hak azasi manusia, harus diakui tertinggal, tergantikan oleh berbagai subjektivitas yang di kemudian hari menyurutkan partai tersebut. Walau, partai itu sebenarnya sempat berhasil mendapat sejumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat maupun daerah hasil pemilihan umum tahun 1999.
Dua puluh lima tahun sebelumnya, pada tahun 1973, saya juga pernah bersentuhan dengan masalah dengan konotasi ideologistis. Regimentasi masyarakat karena perbedaan yang ideologistis yang tercipta sejak sebelum 1965, terbawa sampai ke masa berikutnya, bahkan cenderung menguat. Setiap partai atau kekuatan politik menciptakan onderbouw-onderbouw, berupa organisasi-organisasi sayap buruh, tani, seniman, wanita, pelajar dan mahasiswa dan lain sebagainya. Bisa dikatakan, hanya anak-anak usia Taman Kanak-kanak yang belum mengalami regimentasi.
Salah satu concern saya adalah lapisan kepemudaan dan mahasiswa yang merupakan kelompok intelektual muda. Dalam rangka memelihara dan mengembangkan persatuan nasional, harus ada satu forum di mana mereka bisa selalu berkomunikasi. Selama dua bulan saya bertemu dan berbicara dengan tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa yang saya anggap bisa bersama-sama membangun suatu wadah komunikasi dengan tujuan seperti itu. Saya berbicara dengan tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa seperti Zamroni, Mar’ie Muhammad, Cosmas Batubara, David Napitupulu, Surjadi, Benny, Nurcholis Madjid, Akbar Tandjung dan lain-lain. Meskipun mereka berasal dari organisasi yang berbeda-beda dengan ‘induk’ ideologi yang berlain-lainan, saya tahu mereka pernah berjuang bersama dalam pergerakan tahun 1966, sehingga mempunyai pengalaman dan kemampuan berkomunikasi satu dengan yang lain. Beruntung bahwa teman-teman ini bersedia turut dalam upaya ini. Nurcholis Madjid yang datang bersama Akbar Tandjung, sempat menyatakan kesangsian kalau-kalau nanti forum ini akan dijadikan alat kekuasaan untuk mengendalikan pemuda. Saya katakan, tidak, kalau kita bersama-sama menjaganya. Nurcholis langsung menyatakan persetujuannya.
Maka terbentuklah forum yang kemudian diberi nama Komite Nasional Pemuda Indonesia dan dideklarasikan 23 Juli 1973. Dalam sejarahnya, HMI merupakan salah satu organisasi yang banyak menempatkan kadernya sebagai pimpinan KNPI. Ketua Umum KNPI untuk pertama kali dipilih David Napitupulu dari Mapantjas (Mahasiswa Pancasila) dan Sekretaris Jenderalnya, Awan Karmawan Burhan tokoh mahasiswa dari Bandung anggota CSB (Corpus Studiosorum Bandungense) yang tergabung dalam Somal, serikat organisasi mahasiswa lokal. Terpilihnya kedua tokoh muda ini terutama adalah karena keduanya dianggap tidak terlalu kental konotasi politik ideologisnya.
Sewaktu terjadi Peristiwa 15 Januari 1974 beberapa bulan sesudahnya, KNPI bisa meredusir dampak negatif peristiwa itu di kalangan generasi muda. Melihat hal itu, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud tiba-tiba jadi ‘bersemangat’, kemudian seakan ‘mengambilalih’ dan memerintahkan seluruh Gubernur se-Indonesia untuk membentuk KNPI di daerah-daerah. Inisiatif Amirmahmud ini langsung merubah ‘situasi’ dan menimbulkan sangkaan bahwa ternyata KNPI memang direncanakan sebagai alat kekuasaan untuk menanamkan pengaruh dan mengendalikan pemuda dan mahasiswa. Kesan itu tak pernah lagi bisa terhapus, apalagi ketika kemudian dalam praktek banyak juga perorangan pemuda yang memanfaatkan KNPI sebagai jembatan untuk masuk ke dalam jajaran kekuasaan, lengkaplah sudah citra itu.
Terlepas dari pencitraan seperti itu, pembentukan KNPI memang dapat dianggap merupakan bagian dari restrukturisasi kehidupan politik yang selama ini sudah terlalu ideologistis. Pada waktu yang hampir bersamaan berlangsung pula pembentukan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang belakangan berganti nama menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan sebagainya yang kesemuanya berdasarkan persamaan profesi dan bukan persamaan ideologi.
Aspek penunjang penting lainnya dalam proses kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, tentu adalah bidang hukum. Peranan hukum menjadi penting, bila memang kita semua sepakat bahwa segala proses kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat itu disepakati untuk kita lewati dalam koridor hukum. Hukum yang adil, bukan hukum yang hanya mementingkan kepentingan satu kelompok. Hukum yang berkeadilan, dan adil yang diatur oleh hukum. Seperti contoh yang kita petik dari sejarah kemerdekaan Amerika, bahwa persatuan negara dan bangsa Amerika bisa terbentuk dan terpelihara dengan hukum, dengan mengeliminasi faktor-faktor negatif seperti yang disebut the outlaws itu dengan kekuatan penegakan hukum yang konsisten dan terus menerus. Persoalan yang sama juga merupakan masalah kita sekarang ini, bagaimana memantapkan peranan penegak hukum.
Demokrasi dan keadilan sosial itu menjadi suatu metoda pencapaian, tetapi sekaligus juga suatu sasaran. Tentu demokrasi kita sekarang ini sudah ada institusionalisasinya, yaitu melalui parlemen. Dan dalam parlemen, suatu waktu, tentu ada perjuangan pemenangan kelompok maupun pemenangan ideologi golongannya. Itu suatu kecenderungan. Dan kecenderungan seperti inilah yang harus kita jaga jangan sampai digunakan secara semena-mena untuk merubah undang-undang. Untuk itu, sekali lagi kita katakan, kita harus bersyukur sudah ada Mahkamah Konstitusi, yang akan menghentikan bila ada undang-undang yang tidak sesuai dengan dasar negara, baik dengan Undang-undang Dasar maupun dengan Pancasila.
Kehidupan Pancasila itu harus dikawal oleh Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai Mahkamah Konstitusi juga menurun semangatnya. Mahkamah Konstitusi, sejauh ini sudah menjalankan tugasnya mencabut berbagai pasal dalam undang-undang yang merupakan hasil kesewenang-wenangan dan sikap semena-mena dari mayoritas. Di Jerman, Mahkamah Konsitusi itu terdiri dari orang yang sudah putih-putih rambutnya, orang-rang yang punya pengalaman di pengadilan dan dunia peradilan pada umumnya, sehingga mempunyai kewibawaan profesional. Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi kita meskipun masih cukup muda-muda, tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Saya kira apapun gejolak dalam negara kita, social costnya harus diupayakan sekecil mungkin, diminimalisir. Semua diarahkan untuk menjadi satu bangsa yang makin dewasa. Pendewasaan itu tentu dengan pengikutsertaan semua warganegara dalam proses demokrasi, dan dengan warganegara yang memiliki kedewasaan itu nanti makin jelas usaha kita yang mengarah kepada perwujudan keadilan sosial itu. Itu pula sebabnya sambil melihat perkembangan pelaksanaan demokrasi itu, suatu social engineering dibutuhkan. Social engineering bukan hanya dengan mencari pemimpin yang baik, tetapi terutama melalui peraturan perundang-undangan yang baik. Harus diperhatikan perilaku melakukan demokrasi, sehingga tak menjadi sekedar demokrasi prosedural.
Dalam politik dan demokrasi, para pelaku politik hendaknya selalu memperhitungkan akibat-akibat dari satu tindakan. Bila dalam kampanye umpamanya, sudah mulai dijalankan black campaign, yakni dengan mengotori kaki orang lain supaya kakinya lebih bagus dari kaki orang lain, harus dicegah. Seharusnya kaki sendiri kita sabun supaya lebih wangi, lebih bersih. Jangan melontarkan lumpur ke kaki orang lain. Tetapi harus diakui bahwa pola black campaign sudah mulai dilakukan di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat. Rupanya dalam kehidupan manusia ini selalu dicari jalan yang paling mudah. Memang yang paling mudah itu adalah black campaign. Maka, harus ada aturan-aturannya, untuk meningkatkan kemampuan bukan dengan menjelekkan kemampuan orang lain