Gusar karena merasa “dikhianati” Amerika, Arab Saudi menolak posisi sebagai anggota tak-tetap di Dewan Keamanan PBB. Sumber utama kegusaran Saudi adalah kegagalan AS mewujudkan aksi militer ke Suriah dan terjadinya pendekatan diplomatik AS-Iran.
Marah, kecewa, dan frustrasi. Itulah yang kini dirasakan oleh penguasa monarki Arab Saudi. Negara yang kaya minyak ini biasanya selalu mengandalkan keselamatan rezimnya, serta perlindungan dari ancaman tetangga-tetangganya, pada payung militer Amerika Serikat. Tetapi dalam langkah yang tidak biasa, kali ini Saudi menyatakan kegusaran pada Washington.
Pada 23 Oktober 2013, pimpinan intelijen atau Sekjen Dewan Keamanan Nasional Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan, menginformasikan pada sejumlah diplomat Eropa di Jeddah bahwa Saudi akan melakukan “pergeseran strategis” dan membatasi interaksi dengan sekutu lamanya, Amerika. Kalau Bandar sampai bicara begitu, pasti bukan asal bicara.
Bandar, yang selama 22 tahun menjabat sebagai Dubes Saudi di Washington, adalah anggota senior keluarga kerajaan. Ia juga dijuluki sebagai “Bandar Bush” karena kedekatan pribadinya dengan mantan Presiden AS George W. Bush. Dalam penyikapannya yang keras terhadap AS, Bandar tidaklah sendirian. Mantan pimpinan Kementerian Dalam Negeri Pangeran Turki al-Faisal dan Menlu Saudi Pangeran Saud al-Faisal mengekspresikan sikap serupa.
Ada hal lain yang membuat ucapan Bandar layak dianggap mewakili sikap lingkaran dalam kerajaan Saudi. Bandar adalah orang yang secara pribadi ditunjuk oleh Raja Abdullah untuk mengawasi pendanaan, persenjataan, dan logistik untuk kelompok oposisi Suriah. Ini adalah bagian dari kontribusi Saudi terhadap perang teror rahasia, yang dilancarkan Barat untuk menumbangkan rezim Suriah. Bandar memang ditunjuk untuk memimpin operasi ini karena dia diketahui punya “jalur langsung” dengan AS.
Menolak Posisi di Dewan Keamanan PBB
Pernyataan keras Bandar muncul setelah Saudi membuat langkah mengejutkan pada 19 Oktober 2013, dengan menolak posisi sebagai anggota tak-tetap di Dewan Keamanan PBB. Alasan resminya, Dewan Keamanan PBB telah melakukan “standar ganda” dan dianggap gagal mengatasi krisis Suriah, yang sudah memakan korban puluhan ribu jiwa dan berlangsung selama 31 bulan.
Ada sejumlah hal yang membuat penguasa Saudi, yang didominasi Muslim Sunni, kecewa berat pada AS. Pertama, AS dianggap tidak serius mendukung kelompok oposisi Suriah, yang pendanaan dan persenjataannya didukung Saudi, dan kini sedang berjuang menumbangkan rezim Bashar al-Assad. Suriah yang dipimpin penganut Alawi ini adalah sekutu dekat kelompok Hizbullah Lebanon dan Iran, negara Syiah yang dianggap Saudi ingin mendominasi Timur Tengah.
Awalnya, ada insiden serangan senjata kimia di dekat ibukota Suriah, Damascus, 21 Agustus 2013, dengan korban-korban warga sipil di Suriah. Hasil penyelidikan tim pencari fakta PBB tidak menjelaskan siapa pelakunya, bahkan dicurigai kelompok oposisi Suriah yang didukung pihak asing juga berpeluang menggunakan senjata kimia. Meski demikian, rezim Assad selalu dituding sebagai pelaku.
Dengan dalih penggunaan senjata kimia itu, Suriah sudah terancam dihantam serangan militer AS dan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Namun, Bashar al-Assad membuat maneuver, yang menggagalkan skenario serangan militer ke Suriah. Assad secara terbuka menyatakan, siap menghancurkan senjata kimia yang dimilikinya. Maka, ancaman aksi militer pun untuk sementara dimentahkan.
Tetapi di sisi lain, AS dan NATO sebetulnya sudah semakin bersikap realistis. Terbukti, rezim Assad memang sulit dikalahkan secara militer. Maka, opsi militer sudah kehilangan daya tarik, meski AS tetap ingin ada pergantian rezim di Suriah. Hal ini kurang dipahami oleh Saudi.
Kepemimpinan Moderat di Iran
Kedua, terjadinya pendekatan diplomatik antara AS dan Iran, dengan naiknya kepemimpinan baru yang dipandang lebih moderat di negeri Syiah tersebut. Pada 3 Agustus 2013, Hassan Rouhani terpilih menjadi Presiden Iran yang baru, menggantikan Mahmoud Ahmadinejad.
Dalam suatu langkah yang juga tak terduga, terjadi pembicaraan telepon antara Rouhani dengan Presiden AS Barack Obama, pada September 2013. Kontak diplomatik Rouhani-Obama yang mengejutkan Saudi dan Israel ini meredakan ketegangan antara Iran dan AS, terkait program pembangkit listrik tenaga nuklir Iran.
Iran selalu dituding secara diam-diam menjalankan program pembuatan senjata nuklir. Hal ini dijadikan dalih oleh Israel dan AS untuk melontarkan ancaman serangan militer ke pusat-pusat nuklir Iran. Dengan rekonsiliasi sementara antara AS dan Iran ini, banyak pihak merasa lega. Perang atau konflik militer baru di Timur Tengah memang berisiko mengancam suplai minyak dunia dan makin mendestabilisasi ekonomi dunia yang sedang goyah.
Tetapi Saudi dan tentunya Israel malah tidak senang melihat peredaan ketegangan ini. Dengan alasan yang berbeda, mereka ingin melihat Iran segera “dihukum” dengan serangan militer. Israel memandang Iran yang kuat sebagai ancaman potensial terhadap eksistensi Negara Yahudi. Sedangkan Saudi khawatir, pendekatan tentatif Washington-Teheran akan menghasilkan kompromi yang menguntungkan Iran, memperbesar pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah, dan merugikan kepentingan Riyadh.
Memenggal Kepala Ular
Ketegangan Saudi-AS terakhir ini menunjukkan potensi “keretakan” dalam aliansi historis antara kedua negara. Aliansi ini jika dirunut ke belakang sudah bermula sejak berdirinya Arab Saudi sebagai negara tahun 1932. Menurut mantan anggota Dewan Keamanan Nasional AS, Michael Doran, belum pernah sebelumnya hubungan antara kedua negara begitu lemah seperti saat ini.
Apapun pendapat AS tentang “kepemimpinan moderat” di Teheran, Iran adalah isu nomor satu dan krusial bagi para pengambil kebijakan di Riyadh. Dalam kabel diplomatik antara Riyadh dan Washington, yang bocor ke pers tahun 2010, Raja Abdullah mendesak AS agar “memenggal kepala ular.” Ular yang dimaksud di sini adalah Iran.
Ketegangan hubungan antara Saudi dan AS sebetulnya sudah muncul setahun terakhir ini. Saudi frustrasi melihat apa yang dianggapnya sebagai ketidakseriusan pemerintah Obama, dalam mempersenjatai kelompok oposisi Suriah. AS memang meminta Saudi tidak memasok senjata berat atau senjata yang terlalu canggih ke oposisi Suriah. AS merasa was-was, jika Saudi mempersenjatai oposisi anti-Assad secara tidak selektif.
Faktanya, unsur-unsur di dalam oposisi Suriah memang sangat beragam latar belakang dan ideologinya. Mereka melibatkan unsur-unsur asing dari luar Suriah, dan tidak semuanya bisa dikontrol AS. Banyak oposisi yang bergerak sendiri, dengan agenda dan kepentingan masing-masing. Di antara jajaran oposisi Suriah ini bahkan ada elemen-elemen gerilyawan, yang diduga terkait Al-Qaeda, yang tindakannya bisa kontra-produktif terhadap kepentingan AS.
Insiden serangan senjata kimia di dekat ibukota Suriah, Agustus 2013, patut diduga adalah bagian dari operasi intelijen Saudi di bawah pimpinan Bandar. Penciptaan insiden ini dapat dipandang sebagai usaha pihak Saudi untuk mendesak Presiden Obama, agar tidak bersikap tanggung-tanggung lagi dan bersedia melakukan serangan militer habis-habisan terhadap Suriah.
Dalam perspektif Saudi, manuver ini gagal karena berbagai alasan, termasuk mobilisasi protes-protes anti-perang di Barat dan intervensi diplomatik yang tepat pada waktunya oleh Rusia. Hasilnya, adalah kesepakatan pemusnahan senjata kimia milik Suriah lewat PBB minus aksi militer. Bagi Saudi, kegagalan menghantam Suriah, yang merupakan sekutu dekat Iran, berarti kegagalan “memenggal kepala ular.” (Diolah dari berbagai sumber)
Sumber: http://satrioarismunandar6.blogspot.com