Home / Relaksasi / Renungan / Reformasi Dakwah; Menuju Islam Agama Kasih Sayang

Reformasi Dakwah; Menuju Islam Agama Kasih Sayang

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

Ya Allah ya Rab, Panjenengan limpahaken shalawat dumatheng kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mugi kanthi barokah shalawat meniko panjenengan paring kebebasan dumatheng kulo sedhoyo saking bencana lan musibah ndunyo kelawan akhirat.

Ya Allah ya Karim, panjenengan tetepaken wonten manah lan dhohir kulo mantep dumatheng agami Islam, panjenengan jagi Iman sa`lebete manah kulo sedhoyo ya Allah supadoso mboten enggal sirno saking sa`lebetipun manah

Saudaraku terkasih, Islam adalah agama Universal dunia yang akan terus berkembang apabila diaplikasikan sebagai Agama Cinta, Agama Kasih Sayang sebagaimana sesepuh kita para Walisanga menjalankannya.

Walisanga mengajarkan Islam dengan mentolerir Budaya dan adat kebiasaan umat saat itu. Mereka tidaklah menerapkan agama hukum seperti yang terjadi saat ini dimana orang-orang yang mengaku tokoh agama saling sindir dengan kata-kata yang tidak pantas diantara mereka apabila sedang membahas suatu masalah, seperti mengaji berjama’ah, qunut, tahlilan dll.

Bagi kami penganut ajaran tarekat masalah seperti itu adalah masalah yang tidak perlu diperdebatkan lagi karena hukum fiqih dan hukum bersyariat adalah masalah baku. Kita punya para Imam dan ulama-ulama terdahulu yang telah menetapkan tata cara peribadatan dengan benar namun bukan untuk ngadu argumen.

Percayalah sahabatku, para pengikut tokoh agama yang sering mengatakan; “itu gak ada contohnya, mana dalilnya, itu bid’ah, itu perbuatan syirik, anda kafir, anda keluar dari agama dll” yang mengundang sanggahan dari tokoh lain yang tidak bersepakat akan terjauhlah dari kenikmatan beragama.

Semoga kita bisa kembali kepada ulama yang bisa membangkitkan rasa cinta kepada Allah dan RasulNya dengan mengajarkan Zikir, Tahlil, Shalawat atau apapun yang dengan melafadzkannya kita bisa lebih dekat dengan Allah, RasulNya serta para ulama shaleh sehingga timbullah pula rasa cinta kita kepada seluruh umat manusia.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

“Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?” (QS. Yunus [10]: 99).

Banyak yang kaget rupanya ketika disodorkan ayat ini. Misi utama Nabi itu sejatinya bukan untuk menaklukkan dunia dan mengislamkan semua orang.

Misi Nabi itu dijelaskan oleh al-Quran sebagai rahmat untuk semesta alam:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-anbiya [21]: 107).

Dan dijelaskan sendiri oleh Nabi dalam satu riwayat Hadis Shahih:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari).

Menebar Rahmat dan memperbaiki Akhlak itulah misi utama Nabi yang diikuti ulama-ulama shaleh dan para Walisanga, bukan maksa-maksa orang lain masuk Islam atau memaksa mengikuti fatwa dan tafsiran kita sendiri, atau bahkan memaksa orang lain mengikuti pilihan politik kita. Pemaksaan terhadap orang lain itu bukan rahmat dan bukan pula akhlak yang mulia. Laa ikraaha fi al-diin (Tidak ada paksaan dalam beragama).

Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: “tidak perlu memaksa mereka. Barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah maka mereka akan memeluk Islam. Barang siapa dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam”.

Tafsir Fi Zhilaalil Qur’an mengonfirmasi bahwa “manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pulalah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.”

Keimanan itu tidak perlu dipaksakan. Dakwah itu mengajak, bukan memaksa. Maka hindari cara-cara yang memaksa. QS al-Nahl [16]: 125 memberi kita petunjuk metode dakwah yang harus ditempuh: Pertama, dengan hikmah, kedua, dengan mauizah (nasehat/pelajaran) yang baik dan terakhir kalau harus berdebat, bantahlah dengan argumentasi yang lebih baik.

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS al-Nahl [16]: 125)

Tidak perlu pula menjelekkan atau menghina kepercayaan orang lain. Bahkan standar moral yang luar biasa ditegaskan dalam QS. al-An’am [6]: 108: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” Kita dilarang dengan tegas untuk menistakan Tuhan dan sesembahan agama lainnya. Inilah akhlak yang diajarkan al-Qur’an.

Dalam beragama, yang pertama harus disentuh, dibangun dan dipupuk senantiasa adalah cinta, agama akan bermakna, akan membumi, akan menjadi rahmat, akan terasa menyejukkan adalah ketika cinta ada. Karena dengan cinta akan lahir rasa memiliki, keikhlasan, kerelaan dan semangat penghambaan dan Islam sejatinya adalah agama Cinta.

Dalam setiap aktifitas kita selalu dimulai dengan kalimat “dengan nama Allah yang maha pengasih dan Penyayang”. Ini menandakan apa? Inilah semangat Islam sejati. Dengan semangat kasih dan sayang inilah Islam akan tersemai, subur dan Indah. Dengan praktek kalimah inilah marwah Islam terjaga, bukan dengan kekerasan dan pemaksaan.

Agama cinta adalah agama yang dipraktekkan para Sufi. Mereka selalu memulai segala sesuatu dengan cinta dan mengakhiri juga dengan cinta. Mereka selalu menisbahkan diri sebagai awan, yang senantiasa menaungi siapa saja, dan sebagai rumput, yang diinjak oleh siapa saja (ini menandakan rahmat semesta), jadi  sangat universal, sangat visioner, sangat humanis.

Sufi tak pernah mendeklarasikan diri “kamilah pahlawan Islam, kamilah penjaga marwah Islam”, yang mereka terus kerjakan hanyalah, menyebar, menyemai dan terus memupuk cinta dalam qalbu setiap insan, dalam semangat manusia universal, tanpa batas.

Kaum Sufi masih menjaga agama autentik, agama orisinil Islam, yaitu agama kasih dan sayang, bukan agama penafsiran yang hanya ditujukan untuk kepentingan tertentu. Sufi juga tidak mempraktekkan hukuman-hukuman moral dalam beragama. Ajaran sufi adalah melakukan segala praktek keagamaan dengan cinta dan kerelaan, tidak dengan pemaksaan. Sehingga ketika hati tersentuh, maka otomatis akan dipraktekkan, lalu tersebarlah Islam sebagai agama cinta.

Mengikis dan menghancurkan Islam sebagai agama kekerasan dan agama hukuman seperti yang dipraktekkan selama ini, endingnya adalah wajah Islam terselamatkan, dari agama kekerasan menjadi agama santun dan lemah lembut.

Jadi, siapakah yang sebenarnya menjaga marwah Islam?

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...