Belum lama ini di Galery Café, Jakarta, akan berlangsung konferensi pers oleh sejumlah tokoh Indonesia Timur yang tergabung dalam Forum Masyarakat Maluku/Formama, LIM (Legal Institute for Moluccas), FMM-J (Front Mahasiswa Maluku Jakarta), LKM-PM (Lembaga Kajian Mahasiswa – Pemuda Maluku). konferensi pers tersebut diprakarsai antara lain oleh Bung Rey (Koordinator FMMJ), Sarifudin Lonthor (Ketua LKM-PM), Syahrul Katje Mahulauw (Ketua Lembaga Perjuangan Hak Adat Maluku), Abdul Syukur Sangaji (Director Executive LIM), dan Arnold Thenu (Ketua FORMAMA).
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah tokoh Indonesia Timur akan menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk menolak memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2014 termasuk menolak memilih Partai Demokrat di wilayah Indonesia Timur.
Sementara itu, Arnold Thenu yang juga Ketua Forum Masyarakat Maluku mengatakan, Partai Demokrat harus mencabut mandat Ruhut Sitompul sebagai anggota DPR. Jika tidak, masyarakat Indonesia khususnya Indonesia Timur akan dihimbau untuk tidak memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mendatang. Mereka juga meminta agar Ruhut Sitompul segera meminta maaf kepada pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens dan kepada rakyat Indonesia atas sikap rasisnya.
Sedangkan, Koordinator Aksi Paguyuban Arek Suroboyo, Hery Suryanto mengatakan, pihaknya kecewa dan mengecam keras pernyataan Ruhut Sitompul yang melontarkan pernyataan yang dianggap menghina manusia dan terkesan diskriminatif ras, etnik atas dasar warna kulit kepada Boni Hargens.
Dalam aksi unjuk rasa yang digelar di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya pada 14 Desember 2013, para demonstran menuntut Ruhut dipecat dari kursi DPR-RI dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Menurut pengunjuk rasa, kejahatan rasis ini merupakan kejahatan yang superior karena bisa menimbulkan perpecahan bangsa, bertentangan dengan UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik menjadi acuan hukum.
Pernyataan Ruhut Sitompul yang dinilai berbagai kalangan berbau rasisme memang pantas disesalkan, karena tidak sesuai dengan kapasitas Ruhut sebagai anggota Komisi III DPR-RI yang sebenarnya membidangi masalah hukum dan seharusnya mengerti esensi dari UU No 40 Tahun 2008. Namun, jika upaya politisasi terhadap kasus ini terus berlanjut, maka aksi ini jelas merupakan bagian dari aksi menggoyahkan posisi politik pimpinan nasional yang berasal dari Partai Demokrat. Oleh karena itu, jika tidak diinginkan terjadinya politisasi terhadap kasus ini, maka Partai Demokrat harus segera memberikan sanksi keras kepada Ruhut seperti yang dikehendaki para demonstran.
Dalam perspektif yang lebih luas, permasalahan ini akan dimanfaatkan oleh kekuatan subversi asing membaca situasi politik di Indonesia, dan kemungkinan mereka nampaknya meyimpulkan situasi mengarah pada tumbuhnya kebencian kepada Parai Demorat, sebagai partai yang berkuasa dewasa ini, terutama karena disebabkan ulah-ulah kadernya. Kita berharap, kelanjutan dari permasalahan ini tidak mengarah kepada rencana aksi memecah belah kekompakan RI.
*) Penulis adalah peneliti muda di Fordial, Jakarta.