Home / Agama / Kajian / Rasionalitas dan Dualisme Akal

Rasionalitas dan Dualisme Akal

Akal adalah sebuah “entitas” yang terlepas dari materi, meski ia melekat pada materi. Akal adalah kepanjangan yang bersifat cahaya (nûrâni) dari alam gaib ke alam nyata. Akal adalah bagian terpenting dari ruh, dan merupakan entitas paling terang dan paling bersinar dari eksistensi manusia. Akal adalah pemisah antara yang hak dan yang batil.

Akal adalah “jiwa nalar” (an-Nafs an-Nâthiqah) yang oleh orang-orang terdahulu sering disebut dengan istilah “ego” (al-Anâ). Dari pendekatan sufistik, akal terkadang didefinisikan sebagai: salah satu nama yang dimiliki Jibril ‘alaihi salam, sebagaimana banyak yang menyebutnya dengan istilah “Nur Agung” (an-Nûr al-A’zham) atau “Singgasana Muhammad” (Arsy Muhammad). Beberapa sufi mendefinisikan akal sebagai: entitas manusia (Jauhar Insâni); yang kemudian mereka sebut dengan nama “Akal Parsial” (al-Aql al-Juz`i) atau “Akal Majazi” (al-‘Aql al-Majâzi). Adapun disebabkan hubungan akal dengan hal-hal yang bersifat ukhrawi, maka akal juga disebut dengan istilah “ al-‘Aql al-Ma’âd ” (Akal Akhirat).

Sesungguhnya akal —-menurut salah satu pengertian yang dimilikinya—merupakan pusat pengawasan yang dimiliki ruh. Karena akal selalu menuntun manusia ke arah perenungan, persepsi, dan pemahaman. Akal juga selalu mencegah manusia dari berbagai keburukan serta selalu mendorong manusia ke arah kebaikan.

Filsafat selalu memberi perhatian besar terhadap “akal” ini, sementara Ilmu Kalam banyak menghubungkan akal dengan masalah-masalah “Ushûl ad-Dîn” (pokok-pokok agama). Beberapa sufi membagi akal dari perspektifnya sebagai sesuatu yang baik atau buruk, sesuatu yang berguna atau berbahaya, menjadi dua bagian, yaitu: “Akal Langit” (al-‘Aql as-Samâwi) dan “Akal Tanah” (al-‘Aql at-Turâbi).

Sampai di sini kita cukupkan dengan beberapa penjelasan ini, karena akal dengan segala keistimewaannya, baik yang asli maupun yang cabang, tentu tidak akan memadai untuk dijelaskan hanya dengan pemaparan di sini. Selain itu, di dalam tulisan ini kami akan menyampaikan penjelasan tentang akal –menurut pandangan Islam- sebagai salah satu alat penyerap ilmu, dengan keistimewaannya yang lain.

Selain itu kami juga akan mencukupkan sampai penjelasan bahwa akal adalah: pengemban taklif, elemen utama dari pikiran, entitas pertama untuk melakukan aktivitas logika, pembeda antara manusia dengan binatang, sesuatu yang mengantarkan manusia menjadi manusia seutuhnya, dan anugerah terbaik dari sang Maha Pencipta kepada manusia…

Kita akan mengetahui beberapa aspek dari akal sebagai elemen cabang sesuai dengan tulisan singkat ini. Kita mungkin akan menyampaikan beberapa tanda sekilas untuk menjelaskan sebagian sisi yang dimilikinya.

Yang ingin saya konsentrasikan di sini secara ringkas adalah penjelasan tentang akal menurut fungsinya, yang kami kutip dari pendapat Said Nursi yang termaktub dalam buku Rasa`il an-Nur, baik sebagai “Akal Pembentuk” (al-‘Aql al-Munsyi` atau al-‘Aql al-Mukawwin) yang bahu-membahu bersama wahyu, ilham, dan hati. Sementara lawannya, yaitu “Akal Sempit” (al-‘Aql ad-Dhayyiq) tidak pernah mempedulikan aspek spiritual, terputus dari hubungan samawi, serta terbatas kelenturannya dan lingkup geraknya.

Dalam pemaparan ini, kami tidak akan membahas —meskipun seandainya terdapat korelasi pada beberapa aspek tertentu— mengenai hipotesa “Akal Teoretik” (al-‘Aql an-Nazhari) dan “Akal Praktik” (al-‘Aql al-‘Amali) yang ada di dalam pendekatan yang dilakukan Kant, atau beberapa pendapat Laland tentang “Akal Pembentuk” (al-‘Aql al-Munsyi`) dan “Akal Terbentuk” (al-‘Aql al-Munsya`).

Kita cukupkan dengan pembahasan sekilas ini, karena meski masalah ini membutuhkan banyak buku untuk dibahas, tapi tidak memiliki faedah apapun terhadap kehidupan nyata.

Menurut kedalaman makna yang ada padanya, akal —sesuai pendapat Badi’ az-Zaman Sa’id Nursi dan para pemikir muslim lainnya— adalah: mata yang membaca buku semesta, telinga intrinsik yang selalu terbuka terhadap getaran yang beragam dan ia mampu meluruskan suara atau senandung yang didengarnya untuk kemudian mengikatnya dengan berbagai macam makna, persepsi yang meliputi segala hal dan mampu meneliti melewati batas-batas benda dan kejadian-kejadian, dan akal adalah mata batin yang mampu menyingkap semua alam wujud dan yang di luar batas wujud.

Dengan akal, manusia dapat meluruskan apa yang dilihat mata dan didengar telinga, sehingga ia pun dapat sampai kepada ketepatan. Dengan bukti kebenaran yang dicerna oleh akal manusia dapat menembus batas di balik tirai wujud. Bahkan dengan akal-lah manusia dapat naik menuju maqam audiensi di hadapan Allah jalla wa ‘alâ. Karena memiliki akal, manusia berhak mengemban beberapa tanggung jawabnya, baik yang bersifat paksaan (jabariyah) maupun bersifat pilihan (ikhtiyariyah). Kemudian ia melanglang buana mengeksplorasi jagad raya dan kejadian-kejadian, menelitinya, menggalinya, dan kemudian melesat menuju hadirat Allah ta’ala.

Dalam kebaikan dan hal-hal terpuji, akal akan menghimpun logika dan pikiran kita bersama kekayaan tak terbatas yang ada pada wahyu dan ilham, untuk kemudian menjadi referensi bagi semua seruan yang muncul dari alam transendental. Adapun dalam keburukan dan hal-hal tercela, akal akan memberikan penafsiran logis bagi hukum-hukum Ilahi, untuk kemudian mengontrol ekses yang muncul dari berbagai hasrat menyimpang yang ditimbulkan hawa nafsu, dan sekaligus menyusun strategi untuk melawan serangan hawa nafsu itu.

Di atas semua itu, akal membuat kita mampu menetapkan garis-garis haluan yang menghindarkan kita dari jebakan syaitan yang begitu banyak macamnya. Akal juga mampu membuat tali kekang dan rantai yang terbuat dari pikiran yang dilebur di dalam tungku muhasabah dan muraqabah. Ia akan selalu mengekang hawa nafsu, ia selalu masih menjaga kualitas ke-samawi-annya, serta mencegah hawa nafsu dari kehinaan yang muncul dari ciri khas yang dimilikinya.

Jadi, akal adalah semacam polisi penjaga atau petugas keamanan yang selalu menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Kita tentu tahu bahwa semua ini merupakan sebagian dari keistimewaan “Akal Samawi” atau “Akal Akhirat” (al-‘Aql al-Ma’âd) yang tidak akan terhubung dengan “Akal Tanah” (al-‘Aql at-Turâbi) atau “Akal Imbalan” (al-‘Aql al-Ma’âsy).

Tampaknya tepat dengan penjelasan ini jika kita sekarang membicarakan tentang akal berikut nilai-nilainya, posisinya dalam tanggung jawab manusia, serta ke-hujjah-annya dalam Al-Qur`an dan ajaran Islam. Akan tetapi kita ingin membatasi perbincangan kita hanya seputar hal-hal yang masuk akal dan tidak masuk akal yang dituturkan oleh Al-Qur`an sebagaimana dipaparkan oleh Sa’id Nursi.

Telah ditetapkan di dalam sistem pemikiran Islam —menurut perspektif Al-Qur`an— akan adanya sesuatu yang disebut “berakal” dan “tidak berakal”, alam dan makhluk, sebab dan daya cipta di atas sebab, serta entitas yang maujud dengan sendirinya dan entitas yang maujud dengan kehendak eksternal. Atau dengan kata lain: terdapat kenaikan menuju cakrawala tauhid atau keterpurukan menuju kubangan syirik.

Sejak manusia muncul di muka bumi, pentas “Mephisto – Faust”[1] terus berlangsung. (Sebuah catatan temporal yang berkaitan dengan eksistensi manusia, yaitu dari aspek eksistensi spesifik bagi penafsir dan pelaku eksternal yang tidak lain adalah manusia itu sendiri. Dasar dari aspek penafsiran absolut atas alam semesta dan kejadian-kejadian adalah komprehensivitas keadaan yang juga meliputi masa sebelum penciptaan manusia).

Perseteruan antara kebaikan dan kejahatan akan terus berlangsung selamanya, sebagaimana halnya pemisahaan antara para syaitan dan arwah syaithaniah dengan ruh-ruh yang siap menerima kebenaran dan hakikat.

Di setiap masa, para pelaku “irrasional” yang mengaitkan eksistensi alam semesta dan kejadian-kejadian dengan ide penciptaan natural, sebab-sebab material, dan alam akan membentuk barisan. Mereka akan berkumpul pada satu waktu di sekitar tuhan-tuhan alamiah yang dibuat-buat, sementara di waktu yang lain mereka akan berkumpul di sekitar kemampuan yang dianggap dimiliki oleh sebab-sebab (kausa). Mereka tidak akan menunda-nunda untuk memerangi para pelaku “rasional”, yaitu para nabi, para ashfiya, dan kaum mukminin.

Para pemilik barisan ini, meski mereka mengganti strategi sesuai waktu dan tempat, tapi tekad untuk berperang yang mereka miliki selalu sama dan tidak pernah berubah. Ketika mereka berusaha untuk mencipta, membentuk, mematikan, menghidupkan, dan berbagai perbuatan semacam itu yang sebenarnya berada pada ranah hakikat ketuhanan, sampai kepada hal-hal yang eksistensinya tidak melewati prasangka seperti sebab-sebab, kebetulan-kebetulan, dan alam semesta; atau pun ketika mereka berusaha mengaitkan perbuatan Ilahi —-walau hanya pada beberapa sisi—-dengan masalah-masalah ini. Jadi tidaklah diragukan bahwa kelompok pertama dari barisan ini telah berbuat kufur.

Sementara itu kelompok kedua dari barisan ini telah terperosok ke dalam kemusyrikan, disebabkan tindakan mereka yang menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Dia ciptakan dalam tindakan-tindakan-Nya sebagai Tuhan (al-af’âl al-ulûhiyyah). Akidah tauhid selalu menganggap serius sekecil apapun bentuk penyetaraan, penyekutuan, atau penyamaan —dalam berbagai bentuknya—terhadap Allah yang Mahamutlak kuasa-Nya, Maha Pencipta, Maha Pembuat, Maha Menghidupkan, Maha Mematikan, Maha Pemberi rezeki, Maha Senantiasa Mengurus, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Senantiasa Mengurus… dalam bentuk sebuah kemusyrikan dan irrasional.

Dari perspektif ini, maka akidah tauhid yang termasuk salah satu kaidah dasar di dalam Al-Qur`an Al-Karim pasti sesuai dengan akal, atau dengan kata lain: “rasional”. Adapun mengaitkan entitas dengan sebab-sebab (kausa), alam semesta, dan berbagai hal lain yang berlawanan dengan akal adalah “irrasional”. Tampaknya, ada gunanya jika di sini kami menyatakan bahwa yang “rasional” (masuk akal) akan semakin jelas terlihat ketika kita melihat yang “irrasional”. Karena dari sebuah ungkapan kita tahu bahwa “Segala sesuatu dapat diketahui dari lawannya.”

Jadi, ketika muncul penyataan bahwa ada kondisi darurat yang membolehkan —pada kondisi tidak adanya kaitan antara segala sesuatu dengan tauhid yang hakiki— kepada sesuatu yang memiliki kekuatan Ilahi dalam mencipta, membuat, mematikan, menghidupkan, melihat, dan mengurus; sebenarnya asumsi seperti itu akan menyeret manusia untuk menerima begitu banyak kemustahilan yang berangkai-rangkai sehingga tidak terhitung banyaknya, yang kesemuanya jelas bertentangan dengan akal.

Konsep “rasional” dan “irrasional” –yang banyak dipakai oleh para ahli kalam dengan berbagai istilah berbeda— telah berubah bagi Badi’ Zaman Sa’id Nursi, menjadi suara Qur`ani dan embusan napas tauhid. Setiap orang yang mengikuti semua jalan keimanan pasti akan mengetahui semua pengertian yang disampaikan oleh Al-Qur`an mengenai dua konsep ini (“rasional” dan “irrasional”). Di dalam banyak ayat, seperti di antaranya ayat: “Seandainya di dalam keduanya ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya rusak,” (QS al-Anbiyqa’ [21] : 22), selalu mengajak kita untuk menggunakan aturan akal dan logika ketika membahas masalah ini, sebagaimana halnya Al-Qur`an juga membuka begitu banyak cakrawala baru di hadapan logika.

Sesungguhnya Al-Qur`an selalu menggiring setiap masalah yang disampaikannya —terkecuali pada masalah-masalah ibadah— ke arah akal, logika, dan penggunaan aturan. Al-Qur`an tidak pernah membiarkan di dalam arahan dan seruan yang disampaikannya terdapat celah cacat baik dari segi akal, hati, atau ruhaniah. Alih-alih, Al-Qur`an selalu mengemukakan pemikiran yang benar dan penggunaan aturan akal yang sesuai cara dan logika yang tepat, melawan berbagai bentuk aturan dan asumsi yang dibangun oleh orang-orang tertentu di atas landasan “irrasionalitas”, dan Al-Qur`an pun membungkam mereka dan segala bentuk kekeliruan, demagogi (hasutan), dan pembangkangan mereka. Dengan kemunculannya, Al-Qur`an membereskan masalah ini dan mengalahkan orang-orang itu. Hal seperti inilah yang kami anggap sebagai sebuah kemenangan bagi para utusan sang Mahabenar dan akal sehat atas mereka.

Sesungguhnya perputaran sejarah yang tiada henti merupakan proses silih-berganti antara berbagai tahapan kejumudan ketika berhadapan dengan wahyu serta pengabaian “rasionalitas”, dengan berbagai tahapan tampilnya cahaya langit dan aktivitas akal. Jadi kapan pun hati bercahaya dan akal bersinar dengan sinar yang dipancarkan oleh para anbiya, sehingga membuat hedonisme dan materialisme tersingkir ke sudut, sementara fisika dan metafisika menempati posisinya yang tepat. Lalu Akal Samawi –seperti yang diungkapkan oleh Maulana Jaluddin Rumi- dan Akal Akhirat –seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghazali- mengungguli Akal Imbalan (al-‘Aql al-Ma’âsy) dan Akal Tanah (al-‘Aql at-Turâbi), maka pada saat itu telah terjadi pernikahan baru antara hati dan akal yang menyebabkan terjadinya kelahiran baru.

Kelahiran yang dimaksud di sini adalah kelahiran hubungan segenap wujud (makhluk) dengan sang Pemiliknya yang sejati sesuai dengan kesadaran dan pengetahuan zaman sekali lagi yang dicapai melalui penafsiran baru terhadap wujud (makhluk), serta kelahiran keselamatan manusia dari segala bentuk kontradiksi internal yang ada dalam dirinya. Ketika pandangan telah buta dari cahaya langit, akal telah diabaikan, pemikiran telah dijauhi, dan “rasionalitas” telah dilupakan sama sekali (dalam pengertian yang khusus), maka pada saat itu panji-panji “irrasionalitas” akan berkibar di segenap penjuru. Umat manusia akan tersungkur dalam pertentangan yang parah, karena mereka akan menjadikan Zarathustra, Uzair ‘alaihi salam, atau Isa ‘alaihi salam. sebagai anak Allah. Mereka akan terperosok ke dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan seperti “trinitas”! Pada saat itu, keseimbangan dan keteraturan yang berhubungan dengan wahyu dan akal akan terjungkir balik.

Terkadang, “irrasionalitas” mewujud dalam sosok Wadd, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, atau “Cahaya dan Kegelapan” menurut kaum Majusi, atau Roh Absolut, atau dalam bentuk patung Lata, Manat, Uza, Nailah, dan Isaf. Ia juga dapat mewujud pada berbagai bentuk hal mengerikan yang ada di alam semesta seperti api, sungai, petir, atau angin. Dalam keadaan seperti apapun, jiwa-jiwa yang membiarkan dirinya menyimpang dan bengkok, terkadang menjadi menyimpang dari kebenaran disebabkan niat yang baik, seperti yang terjadi pada proses pemberhalaan Wadd, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr,[2] hingga akhirnya jiwa-jiwa itu terdorong ke arah jalan yang salah dan terus menjauh dari kebenaran disebabkan sikap mereka yang selalu berpaling dari segala yang bersifat “rasional” dan “samawi”.

Terkadang, kelalaian mereka terhadap hal seperti ini terjadi karena sedemikian kecilnya penyimpangan yang muncul pada titik awal. Dan, ketika mereka sudah terlanjur jauh menyimpang dan kekeliruan yang terjadi pun semakin parah, mereka sudah sulit untuk kembali ke titik awal. Dan, mulailah muncul kotoran dalam bentuk penafsiran-penafsiran aneh yang dihubung-hubungkan dengan ilusi dan tahayul.

Tentu saja, “irrasionalitas” semacam ini merupakan bentuk penyimpangan terang-terangan terhadap akal dan wahyu, baik dengan bentuk tindakan terang-terangan mengalihkan kuasa Tuhan kepada berhala dan patung-patung, maupun dengan melakukan tradisi kaum musyrik yang gemar menciptakan para “mediator” sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Terkadang mereka melakukan itu disebabkan adanya dorongan dari rasionalisasi atau bentuk demagogi tertentu yang mereka karang-karang sendiri.

Sampai kapan pun juga, “rasionalitas” selalu tunggal. Setiap kali terjadi penyimpangan dari rasionalitas, pasti akan muncul begitu banyak “irrasionalitas” sebelum mereka yang melakukannya menyadari apa yang mereka alami. Setelah sekian banyak “irrasionalitas” muncul, orang-orang yang melakukannya akan menciptakan “kebenaran banyak” untuk menggantikan posisi “kebenaran tunggal” yang mengejawantah dalam berbagai macam tindakan. Misalnya, apa yang dilakukan oleh kaum Sabean yang menyatakan bahwa kelahiran, kematian, kebahagiaan, kesengsaraan, malapetaka, dan musibah semuanya terjadi disebabkan kekuatan matahari, bulan, dan bintang-bintang yang semuanya bertentangan dengan prinsip takdir yang kita yakini. Atau seperti yang dilakukan para penganut animisme yang menyatakan bahwa nasib manusia bergantung pada sang Ruh Absolut, sebagaimana yang dilakukan kaum Majusi dengan prinsip Cahaya dan Kegelapan, atau kaum pagan dengan berhala-berhala yang memiliki nama dan bentuk beraneka ragam.

Ketika wahyu Ilahi turun untuk menuntun orang-orang sesat itu agar kembali ke jalan yang benar, mereka pun berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka,” (QS. al-Zukhruf [43]: 23). Mereka sama sekali tidak pernah berpikir untuk meluruskan jalan yang mereka tempuh agar dapat kembali ke jalan samawi atau jalan “rasional”.

Orang-orang itu tidak pernah peduli pada rasionalitas dari apa yang mereka yakini dan mereka tuhankan. Tujuan mereka hanya terbatas pada hawa nafsu, hasrat, dan sikap membebek pada peninggalan nenek moyang mereka ketika semua itu dianggap menguntungkan.

Berkenaan dengan orang-orang yang selalu bertaklid buta ini, Al-Qur`an menyeru akal sehat agar digunakan, sebagaimana ia juga menyeru siapa saja yang tercekik di dalam kungkungan kuil materialisme, baik dari orang-orang yang sebelum mereka maupun yang sesudah mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?’ Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti,” (QS al-Baqarah [2]: 170-171).

Kita harus menelaah gaya bahasa yang digunakan dalam ayat Al-Qur`an ini, karena ternyata Al-Qur`an berkali-kali mengajak bicara kaum musyrik yang hidup pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan menggunakan bahasa akal sehat, serta berusaha membuka wawasan mereka dengan menggunakan bahasa logika. Selain itu, Al-Qur`an juga menyuntikkan rasionalitas ke dalam jiwa mereka yang memuat kekuatan logika seraya menyampaikan lembaran-lembaran sejarah lama yang selalu berulang.

Dengan menggunakan berbagai bentuk tamsil dan perumpamaan, Al-Qur`an terus menunjukkan betapa tidak-logis-nya kemusyrikan yang terjadi pada masa itu, sebagaimana halnya pemikiran kufur juga tidak masuk akal untuk dapat menghadapi kehidupan. Singkatnya, Al-Qur`an mengajak orang-orang musyrik itu agar menggunakan akal sehat mereka dalam segala hal.

Sebenarnya, sejarah para nabi dan para mursyid yang mengikuti mereka adalah sebuah panggung yang menampilkan contoh-contoh nyata perlawanan terhadap segala bentuk kekufuran dan kemusyrikan. Sejarah mereka laksana podium yang menyampaikan pidato-pidato paling meyakinkan kepada umat manusia. Al-Qur`an selalu meraih tangan semua orang yang menjadi muridnya untuk bergerak ke panggung-panggung itu agar kemudian mereka dapat mendengar orator-orator paling hebat dengan suara yang paling jujur.

Sebuah contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah kisah Ibrahim ‘alaihi salam yang beberapa kali diulang di dalam Al-Qur`an karena kisah ini adalah salah satu suara pemikiran tauhid paling lantang yang dapat kita temukan. Di dalam Al-Qur`an Anda dapat menemukan adegan ketika Ibrahim ‘alaihi salam menghancurkan berhala-berhala sesembahan orang-orang musyrik dari kalangan kaumnya sendiri. Selain itu, Anda juga dapat menemukan tindakan Ibrahim ‘alaihi salam ketika mematahkan pendapat yang dikemukakan kaum musyrik, atau ketika nabi agung ini membungkam mulut orang-orang musyrik menggunakan belenggu yang dibuat di sebuah tempat yang bernama akal, sehingga mereka pun terdiam seribu bahasa. Bahkan Anda dapat menemukan Ibrahim membawa pemikiran syirik kaum musyrikin ke tengah jagad raya, karena mereka mempertuhankan bintang-bintang, matahari, dan bulan. Ibrahim sengaja melakukan itu untuk memutuskan hubungan kaum musyrik dengan benda-benda langit, hingga akhirnya benda-benda langit itu seakan-akan jatuh menimpa mulut kaum musyrik yang menganggap benda-benda itu sebagai Tuhan dan mereka pun hancur untuk kemudian terbukalah jalan lebar yang akan menghubungkan orang-orang yang lahir kemudian dengan Allah ta’ala.

Kemudian Ibrahim ‘alaihi salam berseru sekali lagi kepada orang-orang yang terus berpegang pada irrasionalitas: “Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata’.” (QS Al-Anbiyâ`[21]: 53).

Setelah itu, Anda dapat melihat betapa Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kaumnya lalu ia berdiri gagah menantang logika kemusyrikan mereka yang sesat dan menyimpang dari kebenaran. Ibrahim berkata:

Mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa`at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?’Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (QS al-Anbiyâ`: 66 – 67).

Sedemikian kuatnya Ibrahim berteriak mengecam kemusyrikan, hingga membuat gentar roh-roh kaum musyrik dari kalangan kaumnya sendiri dan semua orang musyrik yang lahir kemudian.

Sebagaimana yang dilakukan Ibrahim ‘alaihi salam, pada nabi agung lainnya juga melakukan hal serupa. Nabi Nuh ‘alaihi salam, Nabi Hud ‘alaihi salam.., Nabi Shalih ‘alaihi salam, Nabi Syu’aib ‘alaihi salam, Nabi Musa ‘alaihi salam, dan seterusnya, semua mereka yang mendapatkan limpahan shalawat dan salam dari hadirat Allah itu telah menunaikan satu risalah yang sama dan menempuh satu jalan yang sama meski warna yang mereka tampilkan memang berbeda sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di sekitar mereka. mereka selalu mengikuti manhaj “Akal Samawi” dan selalu menyebarluaskan “rasionalitas”.

Sebaliknya, barisan para ahli kufur dan kemusyrikan selalu menghabiskan hidup mereka di dalam penjara sempit yang bernama hawa nafsu dan hasrat. Kaum musyrikin selalu menjadi tawanan pemahaman dan pemikiran nenek moyang mereka sendiri. Orang-orang musyrik itu terus menyebarkan kesesatan di bawah naungan perasaan yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran sesat sembari menebarkan ke-tidak-logis-an dan irrasionalitas ke mana-mana di sepanjang masa.

Ustadz Sa’id Nursi selalu menekankan pentingnya kita untuk terus membaca kitab alam semesta, meneliti cakrawala, dan menelisik pentas jagad raya. Anjuran beliau itu merupakan bentuk ungkapan dari sebuah konsep pemahaman yang diwariskan oleh para pelaku rasionalitas, yaitu para nabi, orang-orang suci, para waliyullah, dan para ulama muslimin. Dengan beragam bentuk garis-garis haluan yang berbeda antara satu sama lain karena mengikuti zaman yang mereka lewati, kandungan risalah dan jalan yang diikuti para pelaku rasionalitas itu selalu tunggal dan tidak pernah berubah, yaitu: penelitian berkesinambungan terhadap bumi dan langit, penggalian terhadap segala sesuatu dan semua kejadian, dan penyerahan total segala sesuatu kepada sang Pemilik yang sejati. Setelah itu dilanjutkan dengan upaya menanamkan keberterimaan semua bentuk rasionalitas itu ke dalam hati yang pada gilirannya akan membuat setiap ilmu material yang dimiliki manusia menjadi penuntun ke arah makrifat. Pada tahap inilah setiap ilmu berubah menjadi mata air yang dapat menghilangkan dahaga ruhani. Dengan demikian, maka dalam kondisi spiritual seperti itu terjadilah pembagian “jatah” yang adil antara penghuni bumi dan penghuni langit.

Dalam ayat-ayatnya yang jelas, Al-Qur`an banyak menuntun kita ke arah jalan kebenaran ini serta menunjukkan kepada kita bahwa rasionalitas adalah hubungan antara pikiran dengan kekekalan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfa`atnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan,” (QS Qâf 50: 6 – 11).

Al-Qur`an selalu menarik perhatian manusia ke arah langit, bumi, dan rezeki. Ia selalu mengajak kita menuju penggunaan akal, pemikiran, dan perenungan dalam iman serta makrifat. Ia selalu menegaskan akan arti penting dari segala sesuatu yang dapat diindra, sebagaimana pula ia selalu mengajak kita untuk meneliti bumi yang menjadi tempat kita hidup. Allah berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada,” (QS al-Hajj [22]: 46).

Dalam ayat ini, Al-Qur`an menunjukkan akar dari kekurangan dan kerugian yang menurutnya adalah hati yang telah tumpul ketajaman penglihatan batinnya. Al-Qur`an selalu mengecam siapapun yang tidak menggunakan akal dan mata batinnya, sehingga membuat mereka tidak mau merenungi ayat-ayat yang terhampar di langit dan bumi yang sebenarnya dapat mereka ketahui. Selain itu Al-Qur`an juga memperingatkan manusia akan arti penting dari “niat” dan “penglihatan”, karena penglihatan semata tidak akan memberi faedah apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya,” (QS Yusuf [12]: 105).

Al-Qur`an al-Karim mengandung banyak contoh rasionalitas dari berbagai sisi yang semuanya berhimpun di dalamnya. Al-Qur`an —-bersamaan dengan seruannya kepada manusia untuk mempelajari kitab alam semesta—-memiliki banyak contoh istimewa yang menunjukkan berbagai hal besar serta memperkaya pemikiran dengan segala kandungannya, komprehensivitas risalahnya, magi lafalnya, gaya bahasanya, dan kebenarannya…

Ya. Satu-satunya landasan al-Qur`an adalah wahyu, akan tetapi jalan yang dilaluinya tidak pernah meninggalkan cakrawala akal manusia. Ia selalu mengetuk pintu orang-orang yang diajaknya bicara seraya mengukuhkan setiap makna dan pemahaman yang dimilikinya melalui akal, logika, dan pemikiran; untuk kemudian berlanjut ke dalam hati dengan gaya bahasa yang menarik perhatian. Al-Qur`an selalu berbicara untuk mengontrol segala bentuk pembangkangan terhadap akal, perasaan, dan emosi, seraya terus mengajak semua orang yang mempelajarinya agar menggunakan rasionalitas. Jadi, Al-Qur`an al-Karim memang hanya bersandar pada sumber wahyu, tetapi ia juga selalu berinteraksi dengan umat manusia melalui rasionalitas dalam segala hal.

Di dalam Al-Qur`an semua ini selalu berlangsung sama; baik ketika ia menyampaikan ratusan masalah yang saling berkait, berkelindan, dan bersijalin antara yang satu dengan yang lain sehingga tidak lagi dapat diketahui ujung pangkalnya, maupun ketika ia memberi solusi terhadap masalah kecil-parsial; baik ketika ia menunjukkan kejernihan, ketulusan, dan pengaruh kuat dari kandungan maknanya, ketika ia membuat hati manusia menjadi siap beralih dari keimanan menuju ketenangan, maupun ketika ia meyakinkan jiwa-jiwa manusia yang ragu.

Dari perspektif ini kami ingin mengatakan bahwa semua orang yang mempelajari semua hal dan kejadian yang mampu membaca dan kemudian menyandarkan semua itu kepada prinsip tauhid, mereka itulah orang-orang yang sedang berada di jalan rasionalitas. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang selalu mendengar seruan Al-Qur`an al-Karim, menyimak dengan baik, dan menikmatinya adalah orang-orang yang berada di jalan akal. Sebaliknya, siapapun yang tidak mampu menembus kedalaman wujud dan kejadian sehingga mereka tetap berada di luarnya, mereka tidak berada di jalan akal. Mereka sama dengan orang-orang yang tidak mau mendengar Al-Qur`an, enggan menyimak, dan tidak pernah dapat menikmatinya, mereka adalah orang-orang yang tidak pernah dapat memetik manfaat dari cahaya akal dengan baik.

Ya, “rasionalitas” adalah: membaca wujud dan segala entitas seraya memikirkan dan menakar kandungannya. Setelah menakar kandungannya, dilanjutkan dengan mengaitkannya dengan keimanan, makrifat, dan sang Pencipta. Sedangkan “irrasionalitas” adalah: menyandarkan segala sesuatu dan setiap kejadian kepada berbagai sebab yang berbeda, kepada alam semesta, atau kepada hal-hal lainnya.

“Rasionalitas” adalah: ketidakbutuhan sang Pencipta dalam wujud dan keesaan-Nya dari sekutu, tandingan, atau penolong. Sedangkan “irrasionalitas” adalah: paham syirik dan kufur dengan berbagai bentuknya yang bermacam-macam.

“Rasionalitas” adalah: posisi para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia untuk menyampaikan berbagai hal dan kejadian serta menafsirkan segala entitas lalu mengaitkannya dengan hakikat tunggal. Sedangkan “irrasionalitas” adalah: sikap menolak kenabian dan risalah-risalah ilahiah.

Semua itu dapat diperluas lagi sesuai dengan beberapa catatan yang terdapat dalam Rasail an-Nur, sehingga menjangkau seluruh sendi keimanan. Tapi menurut hemat saya, apa yang saya sampaikan ini cukup sampai di sini saja, karena sekarang saya ingin beralih ke beberapa buku karya para pemikir muslim untuk memperluas topik yang sedang kita bicarakan ini.

Dari perspektif lain, akal bermakna: pemahaman, persepsi, dan pengerahan pikiran. Dengan pengertian ini, maka akal menjadi jalan penting untuk memahami berbagai hal yang masuk ke dalam pengertian akal itu sendiri, dan juga dari berbagai daya hidup yang dimiliki jiwa manusia. Dengan akal kita dapat memahami berbagai hal yang dapat kita pahami, mengetahui berbagai hal yang dapat kita ketahui, mengukur, serta menarik hasil dan kesimpulan.

Lawan dari akal adalah kebodohan, kedunguan, dan ketidak-mampuan mempersepsi. Orang-orang bodoh, dungu, dan tidak mampu mempersepsi selalu terhimpit di tengah jalan irrasionalitas tanpa tujuan dan maksud yang jelas. Mereka tidak mampu memahami kitab alam semesta, tidak mampu berinteraksi dengan berbagai hal, tidak mau mendengarkan al-Qur`an, dan tidak pernah sanggup mempersepsi rahasia di balik taklif yang diemban manusia. Jadi amat mustahil bagi mereka untuk dapat memahami agama, inti agama, serta tujuan dan maksud dari penciptaan. Konon Rasulullah pernah bersabda, “Orang bodoh adalah musuh kita…”. Sebagaimana Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata di dalam sebuah syairnya yang indah:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Orang bodoh adalah musuh kita. Orang sengsara yang merampok kita.”

Jadi berarti orang cerdas adalah kekasih kita. Karena semilir embusannya sejuk menebarkan semerbak harumnya.
Jika akal marah kepadaku, lalu ia mengumpat dan memaki diriku, maka aku akan menganggukkan kepalaku dan diam saja,

Karena akal adalah anugerah dari Allah yang selalu mencurahkan anugerah-Nya padaku selamanya.

Sedangkan jika seorang bodoh memasukkan manisan ke dalam mulutku, maka dengan pemberiannya itu ia telah membuatku sakit dan terserang demam.

Sebagaimana Jalaluddin Rumi, demikian pula yang dilakukan oleh banyak tokoh spiritual lain yang menganggap Akal Samawi yang berlandaskan nilai-nilai “akhirat” adalah pilar kokoh yang dapat menopang semua hasrat jasmani. Itulah sebabnya, semua kecenderungan fisik yang dimiliki manusia tidak akan pernah dapat berjalan sendirian, kecuali hanya jika ia mengandalkan pilar-pilar ini.

Berdasarkan perspektif ini, akal adalah laksana gembok besi yang dipakai untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan, serta sekaligus menjadi kunci ajaib bagi kebahagiaan manusia. Akal adalah tali kekang bagi hasrat manusia dan sekaligus menjadi gembok yang mampu mengunci mulut hasrat tersebut. Akal adalah sayap malaikat yang mengantarkan jiwa membumbung menuju alam keabadian.

Ketika nafsu selalu memerosokkan manusia ke arah masalah dan keruwetan yang tak ada ujungnya dengan berbagai bentuk kebatilan dan keburukannya, maka yang menjadi lawannya adalah akal, sebab akal adalah kekuatan samawi yang mampu menghentikan permainan nafsu. Ketika hati telah bergantung, berbekal, dan mengambil sumber nutrisi dari hal-hal yang dihasilkan oleh akal dan selalu mengambil bekal darinya, maka pastilah ia tidak akan membiarkan ada satu musuh pun yang tidak dikalahkannya. Tapi ketika akal terputus hubungannya dengan hati, lalu ia berubah dari Akal Langit (al-‘Aql as-Samâwi) menjadi Akal Tanah (al-‘Aql at-Turâbi), maka pasti akan menjadi pengkhianat yang akan memberi petunjuk kepada musuh, memperturutkan kebusukan syahwat, mendukung kedengkian, kebencian, serta akan bergabung dengan kekuatan buta.

Selain itu, akal yang rusak juga akan selalu melawan keluhuran, tenggelam dalam pertikaian, berusaha memakaikan jubah kebenaran ke tubuh kebatilan, dan selalu mengira bahwa kesalahan adalah kebenaran, sehingga ia akan selalu meninggalkan pertikaian dan perpecahan karena mengira bahwa merendahkan orang lain adalah kemenangan yang membanggakan.

Akal yang rusak akan senantiasa berusaha setiap saat untuk membunuh hati manusia untuk kemudian menegakkan nafsu di atasnya. Saban hari ia akan melakukan hal-hal buruk yang menyenangkan setan sehingga akan membuat ruh yang suci meledak disebabkan bubuk mesiu yang ditaburkannya.

Akal yang telah sedemikian rusak seperti itu pasti akan menjadi salah satu begundal hawa nafsu. Akal semacam ini, menurut pernyataan Jalaluddin Rumi adalah: “sumber prasangka dan duga-duga, sehingga ia harus mempersembahkan kurban di hadapan sang Mustafa s.a.w. lalu dikatakan padanya: ‘Hasbunallâh, agar ia kembali ke jalan menuju Allah”.

Seorang penyair bernama Fadhuli[3] rahimahullah menggubah sebait sajak mengenai akal yang busuk ini sebagai berikut:

Kudambakan dari akalku isyarat dan petunjuk
Tapi akalku menunjukkan padaku kesia-siaan dan kesesatan

Seorang penulis asal Belanda Aramsus menegaskan dalam “Madh li-l-Junûn“: “Tidak ada faedah dan manfaat yang dapat diharapkan dari akal seperti ini.” Maksud dari kalimat ini adalah untuk menghina akal yang buruk.

Kami masih ingat sebuah ringkasan bijak yang berbunyi: “Jika hal-hal yang bernilai rusak, maka bahayanya jauh lebih besar daripada hal-hal yang berbahaya.” Kami menyatakan: Sesungguhnya kedalaman akal inilah yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk hidup lainnya serta permata murni yang dapat membawa manusia menuju maqam “juru telaah firman Allah ta’ala“.

Akal-lah yang menjadi pengajar dan dalil pertama bagi manusia untuk yang akan menaikkannya ke kehidupan nurani dan ruhani, sehingga membuat manusia bagai malaikat selama ia mendapat asupan nutrisi dari Akal Samawi, selama ia masih membaca buku alam semesta, dan selama ia masih mampu mengubah hasil telaahnya menjadi makrifat.

Adapun ketika manusia terputus dari Allah ta’ala dan mengaitkan diri dengan alam atau nafsu, maka ia pasti akan berubah menjadi ular pengigit atau kalajengking penyengat manusia, ia pasti akan berubah menjadi racun yang membunuhnya, alih-alih menjadi obat mujarab kehidupannya yang kekal.

Oleh: Fethullah Gulen

__________________

[1] Mephisto – Faust: tokoh dongeng “Mephistopheles” muncul pada akhir abad keenam belas Masehi di antara drama tragedi Eropa sebagai bentuk Iblis yang sedang mendekati setan.

Dalam drama karya Marlowe, sosok Faust (sekitar tahun 1588) mewujud menjadi iblis bernama “Mephistopheles” yang selalu menyesatkan manusia karena dendamnya setelah terusir dari surga. Sementara itu, Gothe memberi sifat baru kepada Fauts melalui “Mephistopheles”.

Di satu sisi, ia menjadikan tokoh ini sebagai simbol Iblis yang melakukan berbagai hal terhadap manusia serta memiliki kemampuan untuk menguasai dan mampu memahami segala sesuatu. Di sisi lain, ia juga menjadikan tokoh ini sebagai simbol pembangkangan terhadap segala sesuatu dan penghancur segalanya. Gothe mengakhiri tragedi yang dibuatnya dengan kekalahan “Mephistopheles” yang menampilkan kehausan Faust yang tak pernah ada habisnya terhadap keabadian dan perbuatan yang berkesinambungan.

Setiap perbuatan yang terinspirasi oleh dongeng Faust selalu bergantung pada sosok “Mephistopheles”. Sebenarnya Faust adalah kepribadian intrinsik bangsa Barat.

[2] Pada mulanya pembuatan patung-patung Wadd, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah dengan niat baik untuk menghormati mereka sebagai para tokoh masyarakat, namun lambat laun patung mereka disembah. (penerj-)

[3] Nama lengkapnya adalah Abu Fadhli Muhammad bin Sulaiman Fadhuli al-Baghdadi al-Bayati at-Turkmani. Ia dilahirkan di Hillah atau Karbala, Irak. Ia wafat tahun 1556 M dan dimakamkan di Najaf. Ia tidak pernah diketahui pernah meninggalkan Irak. Ia menguasai ilmu-ilmu eksak seperti astronomi, fisika, dan aljabar, serta ilmu-ilmu syariat seperti hadits, ushul, manthiq, dan kalam.

Di samping menguasai Bahasa Turki sebagai bahasa ibu, Fadhuli menguasai dengan baik Bahasa Persia dan Bahasa Arab serta memiliki kitab-kitab diwan (kompilasi sajak) dalam kedua bahasa ini. Para ahli berbeda pendapat tentang dugaan yang tertuju padanya sebagai penganut syi’ah yang muncul disebabkan karyanya yang banyak menampilkan kecintaan terhadap Ahlu Bait Rasulullah s.a.w., khususnya Sayyidina Husein a.s.. Pengaruh tasawuf sangat kental terasa dalam syair dan pemikiran Fadhuli.

Konon, kompilasi saja dua bait miliknya yang berjudul Laila wa Majnun yang terkenal adalah sebuah sebuah karya tasawuf. Pendapat ini kian diperkuat oleh pernyataannya dalam syair bahwa akarnya adalah ilmu. Syair tanpa ilmu adalah bagai ruang hampa yang kosong.

Madah gubahannya yang berisi pujian terhadap Rasulullah s.a.w. merupakan satu di antara syair-syair yang sangat terkenal dalam tradisi tutur masyarakat di seluruh kawasan timur dunia Islam.

Fadhuli merupakan salah seorang di antara beberapa penyair yang paling berpengaruh dalam sastra Turki dengan menggunakan dialek Adzariyah – Turkmaniyah (Badihah) dan dialek Jaghtaiyah. Pengaruhnya dalam sastra dengan dialek Jaghtaiyah menandingi kehebatan Ali Syir Nawa`i, sementara pengaruhnya dalam syair dengan dialek Utsmani tidak ada tandingannya.

Ia telah memberi pengaruh terhadap para tokoh Utsmani di masanya seperti Khayali dan Yahya Thasylijah Li, serta beberapa tokoh generasi berikutnya seperti Ruhi al-Baghdadi, Baqi, Naili, Nadim, Syekh Ghalib, dan masih banyak yang lainnya.

 

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...