Home / Ensiklopedia / Sejarah / Raja-Raja Besar Nusantara

PRABU ERLANGGA

Jayabhaya yang sedemikian populer dan abadi dengan ramalannya, merupakan raja paling terkenal di Kediri Jawa Timur sesudah zaman Prabu Erlangga. Dalam sejarahnya, Jayabhaya tak hanya dikenal sakti dan waskita. Tetapi, juga kejam karena tega menggempur adiknya sendiri, Jayasabha.

Raja-Raja Besar Nusantara

Rentang jauh perjalanan sejarah jagat Nusantara dimulai dengan kedatangan para pengembara dari Saka Hindhustan atau India. Sejak kedatangan bangsa Saka itulah, menurut para ahli sejarah kuno, Nusantara mulai mengenal pola kekuasaan raja sebagai titisan Dewa. DR Franz Magnis Suseno SJ, dalam sebuah bukunya menyebut berdasarkan sumber data dari China, sebelum kedatangan para pengembara dari Hindhustan, Nusantara baru mengenal pemimpin lokal yang mengatur soal irigasi.

Kaum brahmana memperkenalkan konsep kerajawian Hindhu dengan berbagai pola hidupnya. Demikian pula dengan sistem perhitungan hari atau kalendernya. Karena itu, sistem penanggalan yang kini sering disebut kalender Jawa, dulu disebut Saka karena berasal dari bangsa Saka di Hindhustan. Pada sekitar abad VI dan VII, mulai dikenal sejumlah kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, dan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Saat itu, Nusantara dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa untuk kepulauan Sumatra, dan Jawa Dwipa untuk kepulauan Jawa. Istilah Nusantara baru dikenal kemudian pada zaman Majapahit.

Ketika itu, raja terkenal berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Sampai pada sekitar abad X, peradaban jaya Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa berubah total oleh letusan Gunung Merapi. Seluruh peradaban di Jawa Tengah luluh lantak, dan memaksa para raja memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur. DR Franz Magnis Suseno, SJ menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1000 Masehi. Empu Sendok, dikatakannya sebagai raja pertama di Jawa Timur.

Pada sekitar abad itu, mulai muncul raja Hindhu lain dari dinasti Warmadewa, yang berkuasa di Bali. Seperti halnya di Indhia, penganut Hindhu yang terdiri dari beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Bali Mula atau penduduk asli Bali di Tampurhyang-Batur-Kintamani dan Bali Aga atau penganut Hindhu dari Jawa, saling bertikai. Seorang raja yang berhasil mempersatukan beberapa aliran kepercayaan itu adalah Udayana Warmadewa dan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni (988-1011 Masehi). Dari raja besar itu kemudian lahir Prabu Erlangga, yang kelak di kemudian hari menurunkan Jayabhaya dan Jayasabha.

Pecahnya Daha

Gunapriya Darmapatni, ibunda Erlangga adalah putri Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, raja Daha di Jawa Timur. Daha sering pula disebut Kahuripan. Ketika raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni bernama Kameswara menjadi raja di Daha. Bertahun-tahun kemudian, Erlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada 1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi penyebab terputusnya Erlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.

Dikisahkan, Prabu Erlangga memiliki dua putra. Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha. Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Erlangga mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Erlangga dianggap telah melepaskan haknya di kerajaan Bali, dengan menjadi raja di Daha. Terpaksa Prabu Erlangga memecah kerajaannya menjadi dua, Daha atau Kediri dan Panjalu atau Jenggala, untuk dibagikan kepada dua putranya.

Garis perbatasan antara dua kerajaan itu lalu dibuat oleh Empu Barada, dengan bangunan dinding batu. Siapa pun yang berani melanggar akan terkena kutukan para dewa. Kutukan Empu Barada. Namun, beberapa tahun setelah Prabu Erlangga wafat, perang saudara tetap berkobar. Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Jayasabha akhirnya runtuh, dan Jayabhaya menjadi raja tunggal di Jawa Timur. Kerajaan Daha dan Jenggala kembali menyatu dan berpusat di Kediri.

Jayabhaya menjadi raja besar dan paling terkenal pasca Prabu Erlangga. Keadaan negara aman-tenteram, dan berbagai karya sastra lahir pada zamannya. Kehadiran karya sastra merupakan pertanda kemakmuran negara. Prabu Jayabhaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memerintah sejak 1135-1157 Masehi, berpusat di Mamenang. Saat itu, dua orang empu yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.

Kedua Empu tersebut diperintah oleh Prabu Jayabhaya untuk menyadur Kitab Baratayuda yang berbahasa Indhia ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu, Kakawin. Kehebatan kedua Empu tersebut adalah mampu menyalin setiap peristiwa dalam Kitab Baratayuda seolah-olah peristiwanya terjadi di tanah Jawa. Baratayuda menggambarkan perang saudara antara putra Prabu Erlangga. Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh itu diberi surya sengkala: Sangka Kuda Sudda Candrama (1079 Saka atau 1157 Masehi). Selain berarti angka tahun, sengkalan tersebut juga berarti beliau yang berkuda putih mempunyai hati bersih seperti bulan. Tak lain yang dimaksud beliau adalah Prabu Jayabhaya.

Pada zaman Kerajaan Surakarta, Kitab Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh disadur lagi oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ki Yosodipuro I (kakek RNg. Ronggowarsito) ke dalam bentuk tembang. Menurut Kitab Negara Kertagama, Baratayuda dalam bahasa Kakawin memang merupakan ungkapan sejarah perang saudara antara Kediri dan Jenggala. Bahkan, kitab tersebut dianggap sebagai apologi atau pembelaan Prabu Jayabhaya atas perbuatannya yang telah membunuh Prabu Hemabupati atau Jayasabha, yang tak lain adalah adiknya sendiri.

Membunuh saudara sendiri membuat Jayabhaya merasa berdosa. Apa lagi jika mengingat pesan Prabu Erlangga dan Empu Barada. Maka, karya sastra hasil gubahan Empu Sedah dan Panuluh merupakan ruwatan atas perbuatan Sang Prabu Jayabhaya. Sejak itu, Jayabhaya mulai menggiatkan kegiatan susastra, sehingga muncul berbagai ramalan ramalan yang terkenal seperti Jongko Joyoboyo dan lainnya. KOKO T.

PRABU JAYABAYA

Sesuai dengan janji saya kepada seorang teman, Madelyncute, saya berusaha membuat posting tentang Prabu Jayabaya. Niat saya hanya satu: menawarkan kekayaan ilmu Allah yang terserak dimanapun itu. Akurat tidaknya informasi tentang Prabu Jayabaya ini jangan membuat kita mayang mentoleh (ragu, bahasa Jawa) terhadap niatan kita untuk mengambil hikmah sejarah apapun yang melintasi hidup kita. Semoga bermanfaat.

Tidak banyak sumber yang bercerita tentang raja yang satu ini. Ramalan Jayabaya lebih terkenal daripada sang pemilik nama itu sendiri.

Prabu Jayabaya atau Ratu Jayabaya atau Sri Mapanji Jayabaya atau Sri Aji Jayabaya atau Sri Jayabhaya (buah cinta dari kisah romantis Raden Panji Inukertapati dan Dewi Galuh Chandra Kirana) memerintah Kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi. Raja Jawa yang satu ini disebut juga sebagai ahli nujum selain sebagai pemimpin yang mumpuni. Dia telah meramalkan keruntuhan kerajaannya sekaligus berjayanya kembali kerajaan tanah Jawa di masa depan. Disinyalir kedatangan Belanda dan Jepang telah ada di “penglihatan” sang raja.

Prabu Jayabaya mempersatukan kembali tanah Jawa yang sebelumnya terpecah belah sejak masa pasca mangkatnya Prabu Airlangga. Ratu Jayabaya terkenal karena keadilan dan kemakmuran Kerajaan Kediri dibawah pemerintahannya. Dia juga disinyalir sebagai perwujudan Batara Wishnu, dewa yang dipercayai sebagai pengatur alam semesta dalam kepercayaan Hindu. Dia dimasukkan dalam jajaran Ratu Adil yang dilahirkan dalam masa gelap pada tiap akhir perputaran jaman – Ratu Adil diidentikkan dengan tokoh yang tugasnya mengembalikan keadilan tatanan sosial negeri Jawa sekaligus harmonisasi seluruh alam semesta.

Pada jaman Ratu Jayabaya, sastra Jawa berkembang pesat didukung oleh situasi sosial, politik, dan ekonomi yang cukup kondusif. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh merupakan dua mpu sastra tersohor yang hidup di jaman raja tersebut (julukan mpu diberikan pada para ilmuwan Jawa kuno tanpa memandang ilmu yang dikuasainya; bisa ilmu sastra, ilmu perang, ilmu pertanian, dll). Mereka menulis serat Kakawin Bharatayudha yang diadaptasi dari kisah dari India.

Jangka Jayabaya sendiri (sekarang lebih dikenal dengan Ramalan Jayabaya) merupakan sebuah karya yang dinisbatkan kepada sang raja oleh sebagian orang menilik bahwa beliau hidup di jaman yang “kaya sastra” atau bahkan lantaran dialah tokoh dibalik berkembangnya sastra Jawa saat itu. Golongan ini meyakini bahwa semua “ramalan” yang terdapat dalam jangka Jayabaya tersebut adalah ide dan vision sang raja yang didiktekan kepada para juru tulisnya kemudian dirangkum dalam sebuah serat yang diberi pengantar termasuk cuplikan tentang sebagian karakter dan kisah hidup sang raja.

Ada lagi yang berpendapat bahwa Ramalan Jayabaya itu sesungguhnya bukanlah karya sang maharaja melainkan karya orang lain yang kemudian dianggap sebagai karya Jayabaya. Dikisahkan dalam Jangka Jayabaya bahwa Raja Jayabaya pernah berguru kepada seorang ulama terkemuka dari jazirah Arab yang sedang mengembara ke Asia Tenggara. Ulama itu bernama Syech Ali Syamsu Zein, dalam ‘Jangka Jayabaya musabar’ disebut Ngali Samsujen dan adapula yang menyebutnya Maulana Ali Syamsu Zein. Jadi menurut golongan ini, Jangka Jayabaya “hanya” meminjam nama sang raja sebagai judul saja sekaligus mengisahkan sekelumit perjalanan sang saja.

Dipercaya bahwa Ratu Jayabaya tidak pernah meninggal melainkan moksa atau hilang jiwa dan raga dari dunia begitu saja tanpa melewati proses kematian normal sebagai manusia biasa. Analogikan dengan Nabi Isa yang diangkat ke langit. Moksa hanya dicapai oleh orang-orang pinilih (pilihan) menurut ajaran Hindu. Desa Menang Kec. Kab. Kediri Prov. Jawa Timur dipercaya sebagai tempat moksa Sri Aji Jayabaya (sekarang menjadi kunjungan wisata bernama Petilasan Sri Aji Joyoboyo).

 

About admin

Check Also

Syaikh Jumadil Kubro; Moyang Para Wali Nusantara

“Dari data peta migrasi genetik, secara ilmiah terbukti jika leluhur Syekh Jumadil Kubro berasal dari ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *