بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sosok manusia memiliki nuansa yang lembut di dalam hatinya, yakni berupa Qalbu dan Hawa (Nafsu). Qalbu merupakan tempat untuk akhlak yang terpuji sedangkan Nafsu adalah untuk tempat akhlak yang tecela. Kita perlu lebih mengenal diri serta memahami posisi jiwa kita saat ini, apakah sudah terbentuk karakter nafsul muthmainnah atau masih pada nafsul lawwâmah atau nafsul Ammârah.
Nafsul Lawwâmah memiliki karakteristik terkadang timbul semangat untuk berbuat baik, tetapi terkadang muncul keinginan untuk berbuat maksiyat. Sering mencela diri sendiri dan meyesali diri. Merupakan pusat dari kesenangan, penyebab ketergelinciran dan kerakusan.
Nafsul Lawwâmah memiliki sembilan sifat jelek yang perlu diwaspadai, yaitu: Al-Laum (suka mencela), al-Hawâ (senang menuruti hawa nafsu), al-Makr (menipu), al-Ujub (membanggakan diri), al-Ghibah (menggunjing), ar-Riya (pamer atas amal dan prestasi), adz-Dzhulm (menganiaya/tidak adil), al-Kidzb (dusta), al-Ghaflat (lalai).
KH. Asrori Al-Ishaqi (alm) menambahkan tentang penyakit-penyakit syahwat: Cinta kedudukan dan jabatan, Cinta kemuliaan dan kehormatan, Sombong, hasud dan nggerundel/pendendam.
Nafsul lawwâmah merupakan pusat dari hawa nafsu. Meskipun demikian, nafsul lawwâmah masih memiliki potensi sifat-sifat yang baik, yaitu keyakinan akan kebenaran syariat Islam (meskipun masih belum menjadi komitmen), penyerahan diri, tauhid, dan makrifat (pengenalan akan Tuhan).
Pendidikan Jiwa (Nafs)
Upaya untuk mendidik nafsul Lawwâmah dapat ditempuh dengan usaha sebagai berikut:
- Mengetahui dan merasakan sifat-sifat nafsul Lawwâmah
- Berlatih untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut
- Insaf dan sadar untuk istiqâmah dalam meninggalkan sifat-sifat tercela
- Sabar menghadapi hal ahwal (masa pancaroba)
- Tetap tekun berlatih (takhalli)
- Tahalli (menumbuhkan sifat-sifat positif) dan dzikir
- Lahir sikap mental (akhlaq yang permanen)
- Naik ke maqam Nafsul Mulhimah yang memiliki tujuh sifat positif yang dominan: As-Sakhawât (dermawan), al-Qana’at (menerima/tidak rakus), al-Hilm (lapang dada), at-Tawadlu’ (rendah hati), at-Taubah (bertaubat), ash-Shabr (sabar/tahan uji), at-Tahammul (tahan menjalani penderitaan)
Membersihkan Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ۞
“ Sungguh beruntung orang yang menyucikannya(jiwa itu)”. (QS. Asy-Syams: 7-10)
Tujuan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) adalah dalam rangka meraih keridha’an Allah dengan niat ibadah agar dapat meraih kebahagiaan dan kebersihan jiwa. Melalui tazkiyatun nafs maka setiap pribadi akan terdidik untuk mengetahui hak dan kewajiban serta tugas dan tanggungjawab sebagai hamba. Hal ini akan melahirkan jiwa yang sehat bebas dari cela dan berakhlaq mulia.
Metode yang dilakukan yaitu dengan: Taubat, Mujâhadah (berjuang) dan Riyâdlah (olah raga jiwa), Takhalli (membersihkan diri dari sifat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat yang mulia), Tajalli (Mukâsyafah, pencerahan).
Agar bisa meningkat, peringkat prestasi jiwa kita maka diperlukan Mujâhadah, sehingga seiring bertambahnya usia ada peningkatan (naik kelas) dari dari Nafsul Ammârah (Lathîfatun Nafs), Nafsul Lawwâmah (Lathîfatul Qalb), Nafsul Mulhimah (Lathîfatur Rûh), Nafsul Muthmainnah (Lathîfatus Sirr), Nafsur Râdliyah (Lathîfatul khafiy), Nafsul Mardhiyyah (Lathîfatul Akhfâ), Nafsul Kâmilah (Anâ). Sebagaimana firman Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi SAW melalui Hadits Qudsiy:
بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغَافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبٍّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا ۞ (الحديث القدسى)
Banaitu fî jaufi ibni âdama qashran wa fîl-qashri shadran wa fish-shadri qalban wa fil-qalbi fuâdan wa fil-fuâdi syaghâfan wa fisy-syaghâfi labban wa fî labbin sirran wa fis-sirri anâ
”Aku jadikan pada rongga manusia itu sebuah istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam shadr itu ada qalbu (qalb), di dalam qalb itu ada fu’âd, di dalam fu’âd itu ada syaghâf, di dalam syaghâf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, dan di dalam sir itu ada Aku (Anâ)”. (Hadits Qudsi)
Al Hakim At Tirmidhi (255-320 H), tokoh sufi dari Khurasan menjelaskan berbagai tingkatan batin dalam diri manusia (pengalaman maqamat):
1. Shadr (Az-Zumar: 22), Fungsi sebagai sumber cahaya islam (muslim). Hati terluar, tempat bertemunya hati dan diri rendah (hawa nafsu). Wahana penyimpanan ilmu yang dapat menjadikan orang mampu mengamalkan syari’ah. Ilmu dalam shadr diperoleh melalui belajar (nasehat dan membaca), kadang bisa hilang dan lupa (naik turun/yazîd wa yanqush).
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ۚ ۞
Afaman syarahallâhu shadrahû lil-islâmi fahuwa ‘alâ nûrim mir rabbih
“Adakah sama barangsiapa dibukakan Allah Ta’ala Dadanya kepada agama Islam adalah dia beroleh cahaya dari pada Tuhannya. ” (QS. Az-Zumar: 22).
2. Qalb (Al-Mujâdalah: 22), Fungsi sebagai sumber dari cahaya keimanan (mu’min) dan rumah taqwâ. Tempat kreativitas positif, sumber ilmu yang bermanfaat yang berasal langsung dari Allah SWT. Puncak keimanan yang bersifat konstan disebut dengan ‘Yaqîn’.
أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ ۞
Ulâika kataba fî qulûbihimul îmân
“Merekalah yg disurat Allah didalam hatinya iman”. (QS. Al-Mujâdalah [58]: 22)
3. Fu’ad (An-Najm: 11), Fungsi sebagai sumber cahaya ma’rifah dan tempat penglihatan bathiniyyah. Pengetahuan hakikat spiritual dan kearifan bathiniyyah. Qalb kemampuan untuk mengetahui, fu’âd untuk melihat maka keduanya saling melengkapi. Pusat kesadaran menyadari kehadiran Allah (ihsân).
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ ۞
Mâ kadzabal fuâdu mâ ra’â
“Tiada bohong fuadnya pada barang yang dilihatnya”. (QS. An-Najm [53]: 11).
4. Syaghâf (Yusuf: 30), Kemurnian cinta yang sangat mendalam dan murni, inti cahaya cinta yang menyebar ke luar menjadi rahmatan lil-‘âlamîn. Hakikat cinta yang sejati hanya bisa dipahami melalui syaghâf.
قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا ۖ ۞
Qad syaghafahâ hubbâ
“Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam”. (QS. Yusuf [12]: 30).
5. Lubb (Az-Zumar: 21), Fungsi sebagai sumber cahaya tauhid (Muwahhid). Inti saripati hati sebagai wadah yang mampu menerima rahmat Allah. Akal yang murni yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir.
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۞
inna fî dzâlika ladzikrâ li-ulil-albâb
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang berakal”. (QS. az-Zumar [39]: 21).
Jiwa (nafs) merupakan asap hitam dan sebagai sumber keinginan untuk berbuat jelek dan hawa nafsu lainnya. Jika tidak dikendalikan dengan berbagai Mujâhadah, maka nafsu akan berhembus memenuhi shadr, akibatnya shadr tidak mampu menjalankan fitrahnya, bahkan sebaliknya ia akan dikuasai oleh nafs untuk melakukan hal-hal jelek.
Prinsip Mujâhadah menurut Abu Ali Ar-Rudzbary adalah mencegah jiwa dari kebiasaan-kebiasaannya dan memaksanya untuk menentang hawa nafsunya sepanjang waktu. Mujâhadah bagi kaum ‘awwâm adalah pelaksanaan kewajiban dan menjauhi larangan, sedangkan mujâhadah bagi kaum khawâsh adalah mensucikan kondisi spiritual.
Ibrahim bin Adam melakukan mujâhadah melalui:
1. Menutup pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan
2. Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati
3. Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan
4. Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga
5. Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kesederhanaan
6. Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Oleh: M. Zahri Johan
Source: Kawan Islam