Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, dalam kitab Al-Hikam Fasal 13, Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah Assakandari mengatakan:
كَيْفَ يُشْرَقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْاَكْوَانِ مُنْطَبِعَة ٌ فِى مِرْآتِهِ؟ أَمْ كَيْفَ يَرْحُلُ إِلَى اللّٰهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ؟ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللّٰهِ وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جِنَابَةِ غَفْلَاتِهِ؟ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ؟
“Bagaimana akan dapat bercahaya hati seseorang yang gambar dunia ini terlukis dalam cermin hatinya. Bagaimana akan menuju kepada Allah, padahal ia masih terbelenggu oleh nafsu syahwat. Atau bagaimana akan dapat masuk menjumpai Allah, padahal ia belum bersih dari kelalaian. Bagaimana ia berharap akan mengerti rahasia yang halus dan tersembunyi, padahal ia belum taubat dari kekeliruannya.”
Pasal 13 tentang hati yang keruh merupakan kelanjutan hikam sebelumnya yakni pasal 12 yang menerangkan pentingnya ‘uzlah (menyendiri). Pada pasal 13 ini memperingatkan ‘uzlah jasad (tubuh) saja tidak akan ada artinya jika hatinya tidak ikut ber-‘uzlah, hatinya masih bebas dan dipenuhi empat perkara yakni:
1. Gambaran, ingatan, keinginan terhadap benda (dunia), seperti harta, wanita, pangkat jabatan dll.
2. Syahwat / keinginan yang melupakan Allah.
3. Kelalaian dari dzikir kepada Allah.
4. Dosa-dosa yang tidak dibasuh dengan Taubat.
Jadi, seorang murid yang ingin wushul kepada Allah harus membersihkan dari empat perkara tersebut.
Karena, berkumpulnya dua hal yang berlawanan pada saat bersamaan dalam satu tempat dan waktu itu mustahil (tidak mungkin). Sebagaimana berkumpulnya antara diam dan gerak, antara cahaya terang dan gelap.
Demikian pula cahaya iman berlawanan dengan gelap yang disebabkan karena selalu masih berharap kepada sesuatu selain Allah. Demikian pula mengembara menuju kepada Allah harus bebas dari belenggu hawa nafsu supaya dapat sampai kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۞
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath-Thalaq: 3)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللّٰهُ عِلْمًا مَا لَمْ يَعْلَمْ ۞
Man ‘amila bimâ ‘alima warratsahullâhu ‘ilman mâ lam ya’lam
“Barangsiapa mengamalkan apa yang telah diketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahui.”
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللّٰهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ ۞
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Imam Ahmad bin Hambal ra bertemu dengan Ahmad bin Abi Hawari dan berkata: Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah engkau dapat dari gurumu Abu Sulaiman. Jawab Ahmad bin Abi Hawari: Bacalah Subhanallah tapi tanpa rasa kekaguman. Setelah dibaca oleh Ahmad bin Hambal: “Subhanallah”.
Maka Ibnu Hawari berkata: Aku telah mendengar Abu Sulaiman berkata: Apabila hati (jiwa) manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, niscaya akan terbang ke alam malakut, kemudian kembali membawa berbagai ilmu yang penuh hikmah tanpa memerlukan lagi guru. Ahmad bin Hambal setelah mendengar keterangan itu langsung ia berdiri dan duduk di tempatnya berulang-ulang sampai tiga kali, lalu berkata: “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk Islam”.
Ia sungguh merasa puas dan sangat gembira menerima keterangan itu, lalu ia membaca sebuah hadits:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللّٰهُ عِلْمًا مَا لَمْ يَعْلَمْ ۞
Man ‘amila bimâ ‘alima warratsahullâhu ‘ilman mâ lam ya’lam
“Barangsiapa yang mengamalkan apa yang telah diketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahui”.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb