Home / Budaya / Kebangsaan / Quo Vadis Kewarganegaraan Ganda?

Quo Vadis Kewarganegaraan Ganda?

Belum sebulan duduk di kursi panas Menteri, Arcandra Tahar harus rela bangun dan memberikan kursi tersebut kepada Luhut Panjaitan. Arcandra Tahar adalah menteri dengan masa jabatan tercepat selama masa jabatan Jokowi. Jelas saja, baru dilantik pada 27 Juli 2016 sebagai menteri ESDM menggantikan Sudirman Said sudah meninggalkan jabatan pada 15 Agustus 2016 (secara terhormat).

Lepasnya jabatan sebagai Menteri ESDM bukan karena tindakan kriminalitas, korupsi ataupun tindakan asusila. Rumor yang beredar di masyarakat adalah Archanda memiliki dua kewarganegaraan atau Dwi-kewarganegaraan yaitu Amerika Serikat dan Indonesia.

Pertanyaan berikutnya adalah lalu mengapa? Apakah ada yang salah?

Archandra, kata Hendro Priyono (mantan Kepala BIN), terkenal di Amerika Serikat sebagai seorang yang genius, yang memiliki 6 hak paten internasional di bidang ESDM dari penemuan-penemuan teknis dari hasil risetnya sendiri.

“Apa kita tidak bangga punya anak bangsa seperti ini? Soal dwikewarganegaraan, loh emangnya salah kenapa orang mempunyai dwikenegaraan, bukan tindak pidana! Hanya jika hal itu diketahui, maka dia harus ditanya mau terus jadi WNI atau tidak? Kan dia sudah pilih jadi WNI, terus apa lagi?”, kata Hendro seperti yang dilansir dari bbc.com.

“Archanra juga dihadapkan pada dua pilihan, memilih paspor yang mana, Indonesia atau Amerika. Dia sudah memilih Indonesia, maka paspor AS-nya harus diserahkan kepada pihak pemberi paspor yaitu imigrasi AS” tambahnya.

Sebenarnya yang menjadi kontroversi adalah rumor yang beredar di masyarakat adalah bahwa Archandra telah menjadi warga negara Amerika Serikat pada tahun 2012 melalui naturalisasi, tanpa melepas status sebagai warga negara Indonesia. Karena memang di Amerika meperbolehkan atau melegalkan seseorang memiliki dua kewarganegaraan.

Bila dilihat juga, dalam aturan UURI No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara, pada pasal 22 ayat 2 (a) disebutkan bahwa Menteri adalah Warga Negara Indonesia. Secara aturan kementrian sebenarnya Archandra masuk dalam kategori tersebut karena ia masih memiliki status sebagai warga negara Indonesia, dan status tersebut belum dicabut oleh negara. Tetapi inilah Indonesia, Negara yang rakyatnya senang mencari kaki orang lain untuk menjatuhkannya ketika melihat orang lain sukses. Kita lebih memilih senang mengkritisi, mengejek, membuliying bahkan menuntut orang lain dari pada mencari jalan keluar untuk kebaikan kita bersama, untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan serta utang yang melilit kita.

“Negara miskin tapi sombong dan songong itu salah satunya adalah Indonesia, negara yang terkuat di dunia yang bernama Amerika saja memperbolehkan warganya berwarganegara ganda, Eropa pun begitu, banyak menterinya yang berwarganegara ganda. Mungkin semboyan Indonesia harus dicari, biar miskin asal sombong, biar goblok asal mencolok”, tulis Muhammad Amin dalam akun facebooknya yang kemudian menjadi viral di media sosial facebook.

Archandra dikatakan bukan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan aturan Undang-Undang Kewarganegaraan No 12 Tahun 2006 mengenai kehilangan kewarganegaraan pada pasal 23 dikatakan bahwa Indonesia tidak menganut dwikewarganegaraan, dan apabila sesorang yang adalah WNI jika di saat yang bersamaan dia memperoleh kewarganegaraan negara lain atas kemauannya sendiri atau secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing maka ia akan kehilangan kewargaegaraan. Berdasarkan akan hal ini maka Archandra bukan lagi sebagai warga negara Indonesia.

Bukan menjadi persoalan bila akhirnya ia diturunkan dari jabatannya sebagai menteri secara terhormat. Masalahnya setelah jatuh, ia dirumorkan merupakan titipan dari partai yang berlambangkan bulan sabit (Lihat Archandra titipan partai dan WN Amerika Serikat). Apakah ini upaya menutupi ketidakteliian istana dalam memilih atau ada hal lain?

Di tahun 2015 Presiden Jokowi sebagaimana yang dikutip dari dunia.news.viva.co.id melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa akan mempertimbangkan dwikewarganegaraan bagi para diapora yang tersebar diseluruh belahan dunia.

“kita harus mengelola aset (diaspora) yang ada dengan baik melalui kerjasama yang kuat. Kami akan memeriksanya (dwikewarganegaraan) dan saya juga telah menyampaikan hal ini kepada menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jika Presiden mengatakan demikian, hal ini sudah mnuju ke arah yang jelas “, kata Retno

Sebenarnya masalah kewarganegaraan tidak hanya terjadi pada Archandra saja, para diaspora lainnya yang berada di Amerika, Australia, Singapore, China dan negara Timur Tengah lainnya juga memiliki masalah yang serupa. Saat ini jumlah diaspora Indonesia menduduki posisi ketiga terbesar di dunia, jumlah terbesar pertama adalah China dan berikutnya adalah India. Sebagaimana yang dilansir dari goodnewsfromindonesia.org, jumlah diaspora Indonesia adalah sebanyak 7 juta diapora. Data tersebut menurut Mohammad Al-Arief Presiden IDN-Global, wadah yang menangungi diaspora di seluruh dunia.

Selain itu ada pula kasus Gloria yang gagal menjadi petugas paskibraka pada hari kemerdekaan Indonesia yang ke 71 di Istana negara dikarenakan memiliki kewarganegaraan ganda. Pertanyaannya apa alasan bentuk penolakan tersebut? Apakah karena nasionalisme atau sentimen? Dan bila karena alasan nasionalisme mengapa para penghancur bangsa dan koruptor tidak dihilangkan kewarganegaraannya? Apakah menjadi menteri dan petugas paskibraka adalah sebuah tindakan kriminal berat atau genosida? lalu seperti apakah tindakan nasionalis tersebut? Apakah dengan melarang mereka untuk berjuang demi bangsa adalah sifat nasionalis?

Aturan Khusus

Banyak pertimbangan dan keraguan yang terjadi di istana dalam melegalkan dwi kewarganegaraan. Alasan yang dapat saya terima adalah dengan mengisinkan dua kewarganegaraan maka banyak warga negara lain (asing) yang akan menjadi warga negara Indonesia, karena melihat potensi pasar di Indonesia.

Alasan ini, bagi saya adalah masuk akal. Karena jelas bahwa ketika warga negara asing masuk ke Indonesia kemudian menjadi warga negara Indonesia dan mendapatkan hak-hak yang sama seperti warga negara Indonesia asli maka lahan, sumber daya akan dikuasai oleh mereka.

Tetapi apakah tidak ada cara lain? Bukankah untuk pengadaan barang bisa mencapai 12,1 triliun dengan gaya merubahnya menjadi siluman, dan apakah ini sulit?

Di Jerman, mereka tidak menerapkan dwikewarganegaraan tetapi mereka memiliki aturan khusus. Seperti dilansir dari dw.com, Jerman tidak memberikan dua kewarganegaraan kepada warga negara asing. Tetapi Jerman menerapkan aturan khusus, yang memberikan dua kewarganegaraan Jerman kepada warga keturunan Jerman yang tinggal di Eropa Timur dan Rusia, Anak yang orang tuanya memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, dan semua migran dari negara anggota Uni Eropa. Selain dari itu, hanya boleh memiliki satu kewarganegaraan. Selanjutnya bagi anak-anak migran yang lahir di Jerman selagi berusia dibawah 18 tahun masih memiliki dua warganegara tetapi setelah berusia 18 tahun harus memilih satu kewarganegaraan.

Bila belajar dari Jerman, sebenarnya Indonesia dapat melakukan aturan khusus bagi warga negaranya sehingga kasus Gloria ataupun Archandra tidak terulang lagi. Bukankah Jokowi setahun yang lalu telah mengatakan ingin secepatnya menerapkan dwi kewarganegaraan bagi para diaspora?

Setidaknya Aturan Khusus dapat kita berikan pada para diapora dan keturunan diaspora, seperti yang dilakukan oleh Jerman.

Oleh: Semprianus Mantolas
Source: Kompasiana

About admin

Check Also

Noam Chomsky; Tentang Agama dan Politik

“… Jangan lupa, bahwa rakyat Palestina sedang dihancurkan dalam program sistematis AS-Israel yang menghancurkan Gaza ...