Oleh: Zia Ul Haq
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Beberapa kawan bertanya tentang asal-usul qashidah ‘Wakhtim Lana’ yang banyak dibaca selepas shalat tarawih di beberapa daerah wilayah Pantura. Termasuk di semua langgar di desa saya. Sejauh penelusuran yang saya peroleh, qashidah ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Qurasyi al-Madani.
Beliau adalah seorang sayyid keturunan Rasulullah, lahir di Madinah pada tahun 1130 H. Mengaji ilmu-ilmu syariat kepada Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, seorang faqih di Tanah Hijaz. Kemudian menjalani suluk dan bai’at thariqah Khalwatiyyah kepada Syaikh Mustafa bin Kamaluddin al-Bakri, keturunan Sayyiduna Abu Bakr as-Shiddiq. Syaikh As-Samman tumbuh menjadi sosok yang disegani warga Kota Nabi sebab keilmuan, ibadah, dan sifat-sifat mulianya. Selain Khalwatiyyah, beliau juga memegang kemursyidan thariqah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Muwafaqah atau lebih dikenal dengan nama Thariqah Sammaniyah.
Beliau wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 1189 H dan dimakamkan di pemakaman Baqi. Putranya, Syaikh Ahmad Thayyib, mengembangkan thariqah sang ayah di wilayah Sudan. Putranya yang lain, Syaikh Hamd Samman, membawanya ke Mesir. Sedangkan di Nusantara, konon thariqah ini dibawa oleh empat serangkai ulama Jawi, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi).
Dalam perkembangannya sebagai fenomena budaya, kita kemudian mengenal Tari Saman yang menjadi karakteristik masyarakat Aceh. Sedangkan bagi masyarakat Jawa, khususnya wilayah Pantura, mengenal qashidah “Wakhtim Lana” yang dibaca ba’da shalat tarawih. Qashidah ini disebut ‘Qashidah at-Tawassul‘, berisi pepujian kepada Allah, tawasul terhadap para shalihin, dan permohonan ampunan kepada Allah, yang konon dibaca oleh Syaikh As-Samman bersama para murid setiap ba’da shalat Jum’at. Entah bagaimana qashidah ini bisa sampai di langgar-langgar pedalaman Gunung Slamet, dan kenapa pula dibaca selepas tarawih, saya juga kurang paham. Monggo mungkin ada kawan pemerhati thariqah bisa menambahkan.
Patut diketahui, bahwa Qashidah at-Tawassul ini juga dibaca dan diamalkan oleh KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Guru Sekumpul, salah seorang pengamal dan Mursyid Thariqah Sammaniyah di Banjar, Kalimantan Selatan.
Berikut ini saya sertakan teks lengkap Qashidah at-Tawassul tersebut yang sembilan bait akhirnya masyhur sebagai qashidah Wakhtim Lana. Monggo, didownload ebooknya yang berformat pdf.
Video pembacaan “Wakhtim Lana” setelah membaca niat puasa setelah shalat tarawih:
Bacaan Qashidah at-Tawassul oleh Abah Guru Sekumpul: