بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Riwayat Hidup dan Keluarga
1. Lahir
Abul Hasan Syadzili dilahirkan di desah Ghamarah, Maroko, pada tahun 593 H. Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah Ali, gelarnya merupakan Taqiyuddin, nama populernya merupakan Asy-Syadzili. Beliau tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut walaupun ia tidak berasal dari desa tersebut.
2. Nasab
Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya’, bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Muhammad, bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.
3. Wafat
Beliau wafat saat hendak berangkat menunaikan ibadah haji bulan Dulqa’dah tahun 656 H dimakamkan di Mesir, yaitu di daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah.
Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
1. Mengembara Menuntut Ilmu
Imam Abul Hasan Asy-Syadzili menghafal Al-Qur’an dan mulai mempelajari ilmu syari’at. Kemudian dia pergi ke Kota Tunis ketika masih sangat muda.
Beliau masuk ke Tunisia jalan menuju ke Baitul Haram, setelah itu beliau menuju Irak di Kota Baghdad bertemu dengan beberapa ‘ulama tasawuf, dan beliau bertanya tentang seorang qutub. Yaitu manusia yang mengumpulkan semua keutamaan dalam kedekatannya dengan Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Ini adalah seorang wali yang memiliki keilmuan besar, serta memiliki kedudukan yang amat besar yang dipandang oleh Allah di setiap zaman.
Ketika masuk ke Irak beliau bertanya tentang seorang wali Qutub yaitu Abdul Fath al-Watsi. Beliau bertemu dengan syeikh tersebut. Namun Imam Abul Hasan asy-Syadzili disarankan kembali ke negerinya. Akhirnya beliau kembali ke negerinya dan menemukan seorang wali Qutub bernama Syeikh Abdussalam Ibnu Masyis. Beliau seorang Syarif (keturunan Rasulullah SAW). Beliau terkenal dengan Shalawat Masyis.
Syekh Abdussalam Ibnu Masyis makamnya ada di Maroko. Saat beliau mendatangi Syekh Abdussalam yang tempat tinggalnya di gunung beliau melepaskan semua ilmunya karena ingin mendapatkan ilmu dari syeikhnya.
Sang Syeikh mengatakan Marhaban dan beliau sebut nasabnya sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai Ali (Imam abul Hasan asy-Syadzili), kamu datang dalam keadaan faqir kepada saya dan kamu akan mengambil kekayaan dunia dan akhirat.
Di antara guru-guru Imam Syadzili, Ibn Masyis-lah yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya. Atas nasihatnya pula Imam Syadzili meninggalkan Fez menuju Tunisia dan tinggal di sebuah daerah bernama Syadzili.
Di daerah yang baru ini, beliau banyak bertemu dan bertukar pikiran dengan para ulama dan para sufi. Dan tanpa diduga, masyarakat menyambutnya dengan sambutan yang luar biasa. Namun kemudian Imam Syadzili pergi ke pegunungan Zaghwan dengan ditemani oleh ‘Abdullah ibn Salamah al-Habibi dan berkhalwat di sana.
Setelah melakukan khalwat di Jabal Zaghwan itu, beliau mendapat perintah dalam sebuah penglihatan spiritual untuk mengajarkan tasawuf. beliau kemudian kembali lagi ke masyarakat dan menyampaikan dakwahnya.
Imam Abul Hasan Syadzili membangun sebuah Zawiyah di Tunisia pada 625 H, bersamaan dengan tibanya Abu Zakaria di tempat itu sebagai gubernur baru dan kelak sebagai pendiri Dinasti Hafsiyyah. Secara periodik dia memberikan ceramah ke desa-desa di daerah Tunisia. Di sini beliau mendapat sambutan yang cukup hangat sampai menimbulkan kebencian seorang hakim Tunisia; Abu al-Barra.
Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, Imam Abul Hasan Syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir. Di Mesir inilah Tarekat syadziliyah mulai berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru bumi. Dan di Mesir pulalah Imam Abul Hasan Syadzili dimakamkan, yaitu di daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah dalam perjalanannya untuk ibadah haji yang terakhir kalinya.
Beberapa hari beliau tinggal bersama Syeikh Abdussalam Ibnu Masyis melihat beberapa karamah. Lalu Imam Abul Hasan asy-Syadzili disarankan gurunya untuk pergi ke Afrika di suatu tempat namanya Syadzilah karena Allah akan menamaimu dengan nama Syadzili.
Kemudian beliau masuk ke Tunisia belajar bersama gurunya. Selepas gurunya wafat Imam Abul Hasan Syadzili pergi ke suatu tempat yang menjadi tempat khalwatnya di gunung. Beliau mendapat isyarat dari Allah untuk turun bercampur dengan manusia. “Ya Allah, bagaimana aku bisa bercampur dengan manusia?” Lalu muncul sebuah isyarat dari Allah, “Aku yang akan melindungimu”. Demikian isyarat yang diterimanya dari Allah.
Ketika Imam Abul Hasan Syadzili turun bercampur dengan manusia beliau mendapat fitnah oleh Abdul Mubarak karena mendengar kata-kata buruk tentang tasawuf . Kemudian beliau berhaji, sebelum ke berhaji masuk ke Mesir. Gurunya dulu bilang kamu nanti akan pergi ke Afrika dan kamu akan diuji.
Beliau masuk ke Tunisia sebelum ke Mesir bersama murid-muridnya termasuk Imam Abul Abbas al-Mursyi yang menjadi khalifah beliau. Ketika memasuki Askandaria, ada Sultan yang menahan para ulama sufi karena fitnah. Beliau pun difitnah dan harus ditahan. Beliau mendapat surat penahanan itu. Imam Abul Hasan asy-Syadzili mengatakan, “orang yang kamu tahan dalam lindungan Allah Ta’ala”. Benar saja, ketika beliau meninggalkan Sultan itu 20 langkah, sultan itu tidak bisa bergerak dan berbicara.
Setelah itu, banyak orang mencari beliau agar memaafkan Sultan. Lalu beliau memaafkan Sultan itu dan akhirnya Sultan itu bisa bergerak dan berbicara. Kemudian beliau berhaji. Sesudah pulang haji kembali ke Tunisia. Beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan beliau berkata; “wahai Ali, pergilah ke Mesir karena engkau akan mendidik 40 orang yang jujur”.
Lalu beliau mulai mengajar dan dihadiri para ulama, bahkan orang yang dulu mengkritik beliau pun mengikuti majelisnya. Beliau berhaji berkali-kali tapi selang seling setahun haji, setahun enggak. Beliau pada tahun itu berazam buat haji dan meminta murid-muridnya membawa perlengkapan dan kain kafan, lalu ia mengatakan pada muridnya; “kamu akan tahu nanti apa yang terjadi”.
“Maka kalau sama guru tasawuf jangan banyak bertanya. Apapun yang diperintahkan kita patuh aja,” kata Syeikh Ahmad Al-Misri.
Imam Abul Hasan asy-Syadzili meminta dibawakan kain kafan dan memberi muridnya nasehat untuk jangan lupa membaca Hizib Bahar. Kemudian beliau memanggil murid khususnya yaitu Imam Abul Abbas Al-Mursyi, lalu diturunkan ilmunya. Lalu beliau kembali mengumpulkan muridnya dan berkata; “kalau aku meninggal malam ini, inilah khalifah saya, kalian kalau ada apa-apa bertanya ke beliau”.
2. Guru-Guru Beliau
Menimba ilmu hadits dan meriwayatkan dari:
1. Abu Al Fath Al Wasithi
2. Abdul Salam bin Masyis
3. Syeikh Najmudin Al Ash Fahani
3. Murid-Murid Beliau
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti:
1. Syeikh Kabir Abul Abbas Ahmad Al Mursyi Al Anshari
2. Ash-Shqli
3. Muhammad Al Qurtubi
4. Abu Hasan Al biya’i
5. Abu Abdillah Al Biya’i
6. Al Wajahani
7. Al Jazar Makinuddin
8. Al Asmar
9. Al Bumi
10. Al Laqani
11. Syeikh Jibril
Karya-karya Beliau
Secara pribadi, Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari atau nama lengkapnya Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari (658 – 709 H) adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibnu Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibnu Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran, Tareqat ini dipengaruhi oleh Al-Ghazali dan Abu Talib al-Makki atau al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid Al-Ghazali“. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya Al-Ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara Kitab Qut al-Qulub, karya Abu Talib al-Makki, mewarisi anda cahaya.”
Selain kedua kitab tersebut, Tareqat ini juga mengadopsi ajaran al-Muhasibi, Khatam al-Auliya karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atha’illah.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashar, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal di kalangan ahluth thariqah baik di kalangan Syadziliyyah sendiri maupun di luar itu. Semua Hizib tersebut diijazahkan dan diajarkan langsung oleh Abul Hasan asy-Syadzili. yang kemudian dikumpulkan dan disusun ulang oleh Syaikh Ibnu ‘Athaillah.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota Tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighatsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandeglang, yang dikaitkan dengan Tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah SWT.
Para ahli mengatakan bahwa hizib bukanlah doa yang sederhana. Ia bukan hanya merupakan mantra magis yang menyebutkan Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah al-A’dzham). Hizib apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural. Dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah SWT.
Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dan doa, para Syekh Tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Ahzab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi, mereka tidak menyetujui jika murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah SAW. Sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar.
Satu hal yang menarik dari filosofi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi, tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat yang semuanya bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Syâdzilî (w. 656H/1258 M) sebagai pendirinya, Tarekat ini cukup dikenal dengan hizibnya. Beliau adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf searah dengan al-Ghazali, yakni pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Tarekat ini dinilai oleh kebanyakan kalangan bersifat moderat dan menawarkan konsep zuhud (al-zuhd) yang lebih moderat.
Imam Abul Hasan Syadzili tidak menganjurkan pada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Mereka tidak harus hidup menyendiri dan bahkan dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat dalam masyarakat di tengah-tengah kesibukan mereka. Bertarekat itu tidak berarti menghalangi upaya-upaya modernisasi. Konon, tarekat ini banyak digemari oleh kalangan usahawan-usahawan berduit dan berdasi, yang merasa pas dengan ajarannya dan tertarik menjadi pengikut Tarekat Syadziliyah.
Imam Abul Hasan Syadzili senantiasa mengajarkan kepada pengikutnya agar menggunakan nikmat Allah secukupnya baik dalam hal pakaian, makanan, kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana. Hal demikian akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenal rahmat Ilahi.
Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzhaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT, sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Al-Syâdzilî berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat Islam saat itu, seperti apa yang dirisaukan oleh para modernis-rasionalis sekarang.
Dia berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Dia menawarkan tasawuf yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencapai makrifat, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini. Seperti yang dikatakan al-Syâdzilî bahwa seorang sufi tidak hanya beribadah tetapi juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaniahnya.
Di samping itu, tareqat ini mempunyai lima prinsip dasar yang harus menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya. Lima prinsip ini, yakni:
1. Bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan ramai.
2. Mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
3. Berkhalwat.
4. Ridha kepada ketentuan Allah.
5. Senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Ajaran Imam Abul Hasan Syadzili dalam Tareqat Syadziliyyah ini kemudian diteruskan oleh muridnya, Abû al-Άbbâs al-Mursî (w. 686 H.). Setelah itu, diteruskan lagi oleh Ibn Athâillâh al-Iskandari (w. 709H.).
Tareqat Syadziliyah, berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Syria dan Indonesia khususnya di Tanah Jawa. Tareqat Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Imam Abul Hasan Syadzili tidak meninggalkan karya berupa buku maupun risalah tasawuf, tetapi menyusun rangkaian doa yang berasal dari pengalaman mistis berupa hizb yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia Islam. Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Imam Abul Hasan Syadzili) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr atau al-kabir dan lain-lain.
Saat ini, dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di Indonesia diajarkan hizb al-Syadzili itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat maqbul dan Syeikh Abu Hasan al-Syadzili mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan Nabi SAW dalam penglihatan spiritual.
Karâmah
Menurut Aqidah Islam Ahlus Sunnah Wal-Jamaah bahwa para wali memiliki keistimewaan atau kemuliaan (karâmah) di dunia adalah suatu kenyataan (Haq).
Berikut ini adalah karamah-karamah Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili:
1. Mengerti Isi Hati Seseorang
Di dalam kitab Jâmi’ul Karâmatil Auliyâ’ karya Al-‘Allamah Syekh Yusuf bin Ismail Nabhani menceritakan;
Suatu ketika, Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili menerangkan sebuah arti zuhud dalam sebuah majelis rutin pengajiannya, sementara ada pengikut yang hadir dengan pakaian yang jelek dan kumal, sehingga terbersit ucapan dalam hati si fakir miskin itu: “pakaian Syekh Abul Hasan bagus dan rapi, bagaimana mungkin berbicara tentang zuhud dari dunia, bukan beliau Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili”.
Tiba-tiba Syaikh Abul Hasan menoleh kepada si fakir miskin itu seakan mengetahui apa yang dikatakan dalam hati si fakir miskin itu seraya berkata:
“Kamu bukanlah orang yang zuhud, pakaian yang kamu kenakan ada unsur kesenangan duniawi, karena kamu menggunakan pakaian-pakaian itu dengan tujuan menarik orang di sekitarmu agar terkesan dirimu orang fakir, sehingga di sangka wali Allah”.
Syaikh Abul Hasan melanjutkan, “Berbeda denganku, aku memakai pakaian bagus dan rapih, maka orang beranggapan bahwa aku orang yang kaya raya dan bukan orang zuhud, juga bukan wali Allah”.
Maka seketika si fakir miskin berdiri dan mendekati Syaikh Abul Hasan lalu ia berkata;
“Wallahi…, memang saya berkata, bahwa aku orang zuhud tetapi di dalam hati, sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT, maafkanlah saya wahai guru”.
Mendengar pengakuan si fakir tersebut, Syaikh Abul Hasan terharu kemudian ia memberikan kepadanya sebuah pakaian yang bagus dan baru. Lalu syaikh Abul Hasan mendoakannya:
“Semoga Allah SWT memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan dan semoga hidupmu penuh berkah serta husnul khâtimah di akhir hayatmu”.
2. Menjadi Wali Sejak Usia Enam Tahun
Menurut suatu riwayat bahwa Nabi Khidir AS pernah datang kepada Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili untuk menetapkan “wilayatul ‘adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang memiliki kedudukan tinggi) di saat beliau menginjak usia enam tahun.
3. Selalu Melihat Lailatul Qadar
Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili diberikan anugerah oleh Allah SWT selalu menjumpai turunnya Lailatul Qadar semenjak usia baligh hingga wafatnya. Seperti yang diterangkan dalam kitab Kasyful Asrâr li-Tanwîril Afkâr karya Mustafa bin Muhyiddin Asy-Syadzili, Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili berkata:
1. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Ahad, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29 bulan Ramadhan.
2. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Senin, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21 bulan Ramadhan.
3. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Selasa, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27 bulan Ramadhan.
4. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-19 bulan Ramadhan.
5. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Kamis, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25 bulan Ramadhan
6. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Jumat, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-17 bulan Ramadhan.
7. Apabila awal puasa Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23 bulan Ramadhan.
Untaian Nasehat Beliau
Berikut adalah di antara nasehat-nasehat Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili:
“Bila kamu mendapat kesulitan dalam biaya penghidupan, maka ketahuilah bahwa Allah ingin mencintaimu, maka bersikap tegarlah dan jangan merasa jengkel”.
“Barangsiapa bersabar atas cobaan Allah, menjauhi kemaksiatan dan yakin akan janji dan ancaman Allah SWT, berarti ia adalah imam meskipun sedikit sekali pengikutnya”.
“Tasawuf ibarat pelatihan diri untuk menghamba kepada Allah”.
“Bila kamu ingin senantiasa berkata jujur, maka perbanyaklah membaca surat Al-Qadr”.
“Bila kamu ingin mendapat keikhlasan dalam setiap keadaanmu, maka perbanyaklah membaca surat al-Ikhlâsh”.
“Bila kamu ingin mendapat kemudahan dalam rizki, maka perbanyaklah membaca surat an-Nâs”.
Saudaraku tercinta, kututup artikel ini dengan mengajak para pembaca sekalian untuk bersama-sama membaca Surat al-Fatihah yang dikirimkan khusus untuk beliau. Semoga Allah SWT mensucikan rahasia maqamnya yang tinggi dan menganugerahkan kepada kita pantulan cahaya yang telah Allah limpahkan kepada beliau, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
أَلْفَاتِحَةَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللّٰهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى رُوْحِ خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخِ أَبِى الْحَسَنِ ابْنِ عَبْدِ للّٰهِ الشَّاذِلِيّ وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَذَوِي الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، أَنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُعْلِيْ دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَنْفَعُنَا بِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ وَنَفَحَاتِهِمْ وَبَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اَلْفَاتِحَةَ أَثَابَكُمُ اللّٰهُ …
Al-fâtihata ilâ hadhratin nabiyyil mushthafâ rasûlillâhi muhammadin shallallâhu ‘alaihi wa sallam, wa ilâ rûhi khushûshan sayyidinasy syaikh ‘abil hasani ibni abdillâhi asy-syadziliy wa ushûlihim wa furû’ihim wa dzawil huqûqi ‘alaihim ajma’în, annallâha yaghfiru lahum wa yarhamuhum wa yu’lî darajâtihim fil-jannah, wa yanfa’unâ bi asrârihim wa anwârihim wa ‘ulûmihim wa nafahâtihim wa barakâtihim fid-dîni wad-dunyâ wal-âkhirah, al-fâtihata atsâbakumullâh…
Source: Dikutip dari Buku “Riwayat Hidup Para Wali dan Shalihin”, Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher.