Home / Agama / Kajian / Prasangka Buruk dan Sinis Imam Syafi’ie kepada Gurunya

Prasangka Buruk dan Sinis Imam Syafi’ie kepada Gurunya

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

Nasehat Mbah Buyutku: “Ora ånå wóng kang ingaranan uríp, kêjabanê kang mikír sartå trêsnå marang wóng kang ringkíh lan nandhang påpå cintråkå. Biså mèlu ngrasakakê kasusahanê sartå lårå lapanê wóng liyå. Kanthi pangråså kang mangkono mau atêgês biså nggadhúh kêkuwatan kang tanpå watês, pêrlu kanggo mitulungi sapådhå-pådhå kang kahananê luwíh nrênyúhakê katimbang dhiri pribadinê. “Pakarti mono darbèk kita dhêwê, nanging wóhê pakarti mau dadi kagunganê Kang Gawê Urip”, mangkono sabdanê sawijinê Pujånggå kalokå.”

Artinya: “Tiada orang disebut hidup, kecuali yang peduli serta belas kasih kepada sesama yang tak berdaya dan menderita. Dapat merasakan penderitaan serta kesengsaraan orang lain. Dengan dimilikinya rasa seperti itu, berarti mampu memelihara kekuatan yang tiada batasnya, diperlukan untuk menolong sesama yang keadaannya lebih mengenaskan ketimbang diri pribadinya. Perbuatan adalah milik kita sendiri, namun buah dari perbuatan kita menjadi milik Tuhan. Begitulah sabdanya salah satu Pujangga terkenal.)”.

Di hari Jum’at yang mulia dan penuh berkah ini, mari kita renungkan sebuah kisah hikmah dari seorang Imam yang mulia yaitu Imam Syafi’ie:

Persangkaan buruk tidak hanya terjadi pada orang awam bahkan bisa saja menimpa pada orang yang berilmu.

Hal ini pernah terjadi pada Imam Syafi’ie yang pada awalnya selalu sinis kepada orang saleh yang kaya. Bahkan kepada salah satu gurunya, Imam Maliki. Pengarang Kitab Muwattha‘ ini seorang ulama yang kaya raya di Madinah, bajunya selalu bagus, karpet di rumahnya mewah.

Melihat itu semua, sang Imam sempat janggal dan su’udzdzan kepada gurunya. “Orang saleh kok memiliki harta banyak.” Kata Imam Syafi’ie.

Imam Maliki tenang aje alias stay cool kalau kata pemuda ‘zaman now‘ dengan buruk sangka muridnya.

Setelah belajar kitab Muwattha’ kepada Imam Maliki, Imam Syafi’ie bertanya, “Aku sudah selesai belajar denganmu wahai Syaikh. Lalu kepada siapa lagi aku akan belajar?”

“Seandainya Imam Abu Hanifah masih hidup, belajarlah kepadanya. Tapi karena beliau sudah wafat, belajarlah kepada sahabatnya. Namanya Muhammad bin Hasan Al-Saibani di Irak,” jawab Imam Maliki.

Imam Syafi’ie patuh pada perintah Imam Maliki. Ketika akan pergi belajar ke kediaman Muhammad bin Hasan di Irak, Imam Maliki memberikan beberapa dinar kepada Imam Syafi’ie sebagai bekal untuk belajar. Kalau istilah zaman sekarang mungkin beasiswa. Bila dihitung dengan kurs rupiah sekarang, uang yang diberikan oleh Imam Maliki senilai kurang lebih enam puluh juta rupiah.

Akibat menerima beasiswa dari Imam Maliki, Imam Syafi’i mulai berpikir, “Guru-guruku yang miskin tak pernah memberiku bekal seperti ini. Jangan-jangan orang saleh yang punya uang banyak itu memang lebih baik.”

Kendati demikian, Imam Syafi’ie masih janggal pada orang saleh yang kaya. Dalam pikirannya, idealnya, orang saleh tak perlu memikirkan dunia dan hidup sederhana.

Sesampai di rumah Muhammad bin Hasan, Imam Syafi’ie melihat di meja tamu rumah Muhammad bin Hasan, ada kepingan-kepingan emas. Muhammad bin Hasan biasa menghitung hartanya di ruang tamu.

Imam Syafi’ie semakin janggal. Ternyata calon gurunya lebih kaya dari Imam Maliki. Gelagat tidak senang Imam Syafi’ie bisa dibaca oleh Muhammad bin Hasan.

“Kamu tak senang ada orang saleh yang kaya?” Tanya Muhammad bin Hasan.

“Benar. Saya kurang suka.”

“Ya sudah kalau begitu kuberikan saja hartaku ini kepada orang yang ahli maksiat. Bagaimana?”

“Waduh. Jangan begitu, Syaikh. Malah bahaya nanti kalau uangnya diberikan ke ahli maksiat.”

“Bila demikian. Berarti tak apa-apa kan bila ada hamba Allah yang saleh kaya?” Tanya Muhammad bin Hasan lagi.

Imam Syafi’i mikir-mikir. Lalu dia bilang, “Iya. Tidak masalah, Syaikh. Daripada diberikan kepada ahli maksiat malah digunakan hal-hal yang berdosa. Malah jadi berabe.

Setelah kejadian itu, Imam Syafi’ie tak lagi memiliki pikiran buruk kepada orang saleh yang kaya. Dia menyadari pikirannya yang keliru.

Kisah ini tertulis dalam Kitab Minan Al-Kubro.

Mari kita renungkan bersama:

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) mencatat sebuah riwayat tentang nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnya:

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: ثَنَا عَبْدُ اللّٰهِ بْنِ أَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِيْ أَبِيْ، حَدَّثَنِيْ حُسَيْنُ ابْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: ثَنَا سَهْل بْنِ أَسْلَم، قَالَ: كَانَ بَكْر بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ إِذَا رَأَى شَيْخًا، قَالَ: هَذَا خَيْرٌ مِنِّي، عَبْدُ اللّٰهِ قَبْلِي، وَإِذَا رَأَى شَابًّا، قَالَ: هَذَا خَيْرٌ مِنِّي، اِرْتَكَبْتُ مِنَ الذُّنُوْبِ أَكْثَرُ مِمَّا ارْتَكَبَ، وَكَانَ يَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَصَبْتُمْ أُجِرْتُمْ، وَإِنْ أَخْطَأتُمْ لَمْ تُأثَمُوْا، وَإِيَّاكُمْ وَكُلُّ أَمْرٍ، إِنْ أَصَبْتُمْ لَمْ تُؤْجَرُوْا، وَإِنْ أَخْطَأتُمْ أَثَمْتُمْ، قِيْلَ: مَا هُوَ؟ قَالَ: سُوْءُ الظَّنِّ بِالنَّاسِ، فَإِنَّكُمْ لَوْ أَصَبْتُمْ لَمْ تُؤْجَرُوْا، وَإِنْ أَخْطَأْتُمْ أَثَمْتُمْ.

“Abu Bakar bin Malik bercerita kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menceritakan, (ia berkata): ayahku menceritakan kepadaku, Husein bin Muhammad menceritakan, ia berkata: Sahl bin Aslam bercerita, ia berkata: “Ketika Bakr bin Abdullah (al-Muzani) melihat orang (yang lebih) tua (darinya), ia berkata: “Orang ini lebih baik dariku. Ia telah menyembah (beribadah kepada) Allah lebih dulu dariku.” Ketika ia melihat orang (yang lebih) muda, ia berkata: “Orang ini lebih baik dariku. Aku telah berbuat dosa lebih banyak darinya.” (Kemudian) Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata: “Berpeganglah kalian pada perkara (amal) yang jika kalian benar, kalian mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian tidak mendapatkan dosa. Berhati-hatilah dengan setiap perkara yang jika kalian benar, kalian tidak mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian mendapatkan dosa.” Seseorang bertanya (kepada Bakr al-Muzani): “Apa itu?” Bakr al-Muzani menjawab: “Prasangka buruk (su’udzdzan) terhadap manusia. Karena sesungguhnya, meskipun kalian benar, kalian tidak akan mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian mendapatkan dosa.” (Imam Abu Na’îm al- al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 120).

****

Imam Bakr al-Muzani menawarkan cara pandang yang menarik ketika bergaul dengan orang lain. Tidak melulu mulia-hina dan baik-buruk. Apalagi yang dihadapi adalah manusia. Makhluk hidup yang terus berkembang kejiwaannya. Bukan makhluk statis yang berpikir dan berpendapat sama sejak lahir sampai mati. Karenanya, menilai manusia harus menilai seluruhnya. Jikapun harus menilai kesalahannya, nilailah dengan maksud memperbaiki, bukan sekedar menghardik dan mengutuk.

Berprasangka buruk kepada seseorang, menurut Imam Bakr al-Muzani, ialah perbuatan yang harus dihindari. Karena tidak ada gunanya jika dilihat dari sudut pandang pahala, dan sangat dekat dengan dosa. Lebih lagi, ini hanyalah “prasangka” (dzann), bukan fakta yang benar-benar terjadi, sehingga mengandung dua kemungkinan, “benar” dan “salah.” Apalagi jika prasangka buruk itu sudah disebarkan kepada orang lain, tarafnya bisa naik menjadi fitnah jika prasangka itu salah.

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...