Home / Ensiklopedia / Analisis / Politik Luar Negeri Jokowi Didayung Oleh Dua Karang

Politik Luar Negeri Jokowi Didayung Oleh Dua Karang

Pada rejim ini, Politik luar negeri Indonesia memasuki masa dekaden. Sebab Jokowi gagap menyikapi realitas politik internasional yang makin hari makin dinamis. Agresifitas politik luar negeri ala Cina lewat One Belt One Road (OBOR) ataupun Amerika Serikat lewat Indo Pasifik-nya,  justru tidak serta-merta membuat Indonesia bersikap resisten atau progresif dan sialnya malah cenderung mengikuti arus atas dua pengkutuban ini. 

Dunia pada umunya dan Indonesia pada khususnya kini tengah dalam cengkeraman politik global yang dimainkan oleh Cina dan Amerika Serikat (AS). Tak tanggung-tanggung, ekspansi kedua negara ini, baik dibawah komando Trump atau Xi Jin Ping, masing-masing sanggup membuat daya ledak yang luas cakupannya.

Coba bayangkan saja, baik Cina atau AS sama-sama mempertontonkan sistem ekonomi yang semakin digiring masuk sistem ekonomi kapitalisme; lalu fragmentasi politik dibanyak negara akibat intervensi; juga subordinasi kemiliteran dalam penindakan pertahanan-keamanan beberapa negara; hingga alienasi sosial budaya suatu negara.

Adapun dalam konteks politik internasional, belakangan ini, isu aktual global yang santer berkembang adalah ketika rational choice seorang Trump dengan sifat politik ofensifnya, lalu menggulirkan skema politik luar negeri bernama Indo Pasifik.

Aliansi yang diprakasai oleh AS dengan menggandeng kekuatan strategis kawasan Asia Pasifik (Jepang, India dan Australia) ini digadang-gadang sebagai kontra-skema dan strategi pembendungan serta sekaligus perimbangan kekuatan atas skema politik luar negeri Cina yang dikenal One Belt One Road atau OBOR.

Secara geopolitik, kepentingan dibalik dua skema dari negara super power ini menyasar pengendalian jalur maritim. Lebih detil, penguasaan absolut atas apa itu Sea Lanes of Trade (SLoT) dan juga Sea Lanes of Communication (SLoC) sepanjang perairan antara samudra Pasifik dan lautan teduh (Hindia).

Alih-alih ingin menggarap kerjasama multi sektor; mulai dari bidang ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan perdagangan global yang neo-liberal hingga bidang pertahanan-militer sebagai representasi penghormatan atas asas hukum internasional.  Namun tetaplah how’s to command the sea yang harum tercium sebagai national interests akibat dinamika persaingan antara OBOR dan Indo Pasifik ini.

Lantas, bagaimana sikap Indonesia? Apakah Indonesia bersikap resisten dan punya kontra skema? Atau malah Indonesia sekedar jadi proxy agent dan justru terombang-ambing dalam skema kekuatan-kekuatan global?

Pragmatisme Politik Luar Negeri Jokowi

Untuk menjawab pertanyaan diatas, alangkah baiknya kita menengok kebelakang kebijakan apa yang dipilih pemerintahan Jokowi. Dimulai dengan bagaimana sikap Indonesia memandang OBOR. Jika dirunut, usaha Cina dalam menggebor-geborkan politik luar negeri via OBOR ini sudah dapat di-identifikasi sejak Xi Jin Ping menjabat di tahun pertamanya (2013).

Di lansir dari kantor berita CNN Indonesia, Xi Jin Ping pada bulan Oktober tahun 2013, menyampaikan pidato kenegaraan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia  (DPR RI) yang disaksikan oleh ratusan pasang mata, mulai dari anggota dewan hingga tokoh nasional. Yang mengejutkan dari pidatonya itu adalah ketika salah satu poin yang menyebut “akan membangun jalan sutra di laut”.

Atas pidato kenegaraan Xi Ji Ping tersebut, praktis Jokowi sebagai presiden terpilih (2014) sudah sepatutnya mampu membaca sinyalemen politik yang meng-isyaratkan bahwa Indonesia menjadi vital peranannya dalam mensukseskan skema OBOR.

Presiden ke-7 Cina itu cerdik melihat Indonesia sebagai kawasan yang berada pada posisi silang dunia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera langsung sekaligus. Di sini artinya, Cina melalui skema OBOR memandang Indonesia sebagai kawasan strategis, sehingga mau tak mau harus memanfaatkan geostrategi Indonesia.

Geostrategi Indonesia ini diakui pula oleh Charles E. Morrison dalam bukunya yang bertajuk Asia Pasific Security Outlook 1999 yang menerangkan “Indonesia not only is Southeast Asia’s most populous country but also occupies a strategic location astride the main passages between the Indian and Pacific oceans

Jika demikian adanya, tentu hajat dari skema OBOR terletak pada geopolitical maritime based. Langkah membangun kekuatan maritim Indonesia kedepan adalah langkah awal yang selayaknya ditempuh Jokowi agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan atas skema OBOR ini, semisal menghindari dominasi pembangunan infrastruktur kemaritiman oleh Cina. Namun seribu sayang, harapan itu bak api jauh dari panggangnya.

Asumsi ini tentunya dilatarbelakangi alasan. Setelah beberapa tahun menjabat, politik luar negeri Indonesia  (Poros maritim dunia) yang digadang-gadang pemerintahan Jokowi itu tak kunjung terealisasi. Justru pembangunan darat lah yang terlihat masif.

Hal ini diperparah dengan stagnannya target pembangunan 24 pelabuhan tol laut serta 84 pelabuhan perintis di Indonesia Timur. Sementara pemerintahan Jokowi setengah hati membangun kekuatan maritim, justru saat itu Cina masuk lewat skema OBOR nya.

Puncaknya, ketika pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung masuk dalam skema mega proyek pembangunan infrastruktur kemaritiman ala OBOR. Mahar yang dibayarkan negeri Tirai Bambu itu untuk ambil alih pembangunan ini, masing-masing US$ 86,2 miliar untuk pelabuhan Kuala Tanjung dan US$69,45 miliar untuk pelabuhan Bitung.

Dengan Cina take over pembangunan dua pelabuhan tersebut, sudah jelas pemahaman pembangunan infrastruktur kemaritiman bukan berlandaskan spirit untuk menggagas Indonesia sebagai poros maritim dunia, akan tetapi hanya dijadikan ‘obyek proyek’ negara demi mengeruk keuntungan rupiah. Tapi justru Cina lah yang akan menikmati keuntungan sebesar-besarnya di masa mendatang.  Terang saja, khusus untuk pelabuhan Bitung, Cina menganggap wilayah ini begitu potensial guna melanggengkan skema OBOR karena jadi pintu masuk strategis untuk lalu-lalang dalam regional Asia Pasifik.

Setali tiga uang, pragmatisme politik luar negeri pemerintahan Jokowi pun terlihat disaat bagaimana Indonesia menyikapi politik luar negeri AS dibawah Trump yang mencanangkan Indo Pasifik nya.

Jansen Tham melalui analisisnya dalam thediplomat.com yang berjudul What’s in Indonesia’s Indo Pacific Cooperation Concept menjabarkan Indonesia memandang Indo Pasifik sebagai “ruang hidup” dimana prinsip keterbukaan dan transparansi dalam menjalani kerjasama serta menghargai hukum internasional – dijamin.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah skema Indo Pasifik ini dapat menjamin hal-hal tersebut? Mengingat Indo Pasifik ini adalah manuver AS dalam rangka Asia Pacific rebalancing strategy. Sekali lagi, kalkulasi politik Jokowi layak dipertanyakan.

Lebih daripada itu, Tham dalam analisisnya pula menyebut Retno Marsudi selaku menteri luar negeri Indonesia menganggap ASEAN sebagai organisasi sekaligus kawasan regional yang penting bagi skema Indo Pasifik.

Cara pandang demikian sejalan dengan visi kerjasama Indo Pasifik yang bakal digagas Indonesia dan akan ditindaklanjuti dalam forum East Asia Summit (EAS) bulan November mendatang. Visi Indonesia tersebut berbunyi “ASEAN should create “new economic growth centers” in the Indian and South Pacific Oceans via “an open and fair economic system”.

Ada beberapa hal yang jadi catatan ketika Retno Marsudi dengan yakinnya menggagas apa itu Indonesia’s Indo Pacific concept. Pertama, kepercayaan diri Indonesia mengatasnamakan ASEAN serta sebagai Key player ASEAN dalam satu sisi memang terasa tepat dan memang sudah sepatutunya digaungkan. Namun di sisi lain, Indonesia harus pula peka terhadap realitas politik yang terjadi di antar negara dalam kawasan ini.

Perlu diingat, Indo Pasifik tidak hanya berbicara tentang AS semata, tapi juga ada India didalamnya. New Delhi sebagai negara persemakmuran Inggris layaknya Singapura dan Malaysia – tentu mau tak mau dibawah hegemoni London.

Walau tidak secara eksplisit Inggris masuk dalam struktur Indo Pasifik, namun yang perlu diwaspadai ketika skema Indo Pasifik ini merupakan satu tarikan nafas perpaduan antara skema kapitalisme global AS dan Inggris. Di sini artinya, benturan kepentingan nasional antara negara-negara commonwealth di ASEAN dan Indonesia tidak bisa terelakan.

Kedua, tidak berhenti disitu, niatan Indonesia yang akan menerima Indo Pasifik melalui wujud ASEAN patut pula diragukan. Pasalnya, sejak 51 tahun terbentuk, permasalahan kohesifitas antar negara masih jadi masalah klasik organisasi regional ini, terutama jika bersinggungan dengan 5 negara penggagas (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina).

Permasalahan semisal teritorial, penyimpangan dalam eksplorasi sumber daya alam dan segudang masalah di kawasan lainnya, nampaknya masih jadi batu terjal dalam membangun kohesifitas yang dimaksud.

Melalui catatan diatas, jika Indonesia mantap memandang Indonesia’s Indo Pacific concept hanya sebatas sebagai kerjasama soal how’s to create new economic growth centers (sesuai visi Jokowi dalam konsep Indonesia untuk Indo Pasifik) dan   tanpa adanya perhitungan yang matang, maka tentu konsekuensi kerjasama yang berbasis interdepedensi kompleks akan terasa sulit diwujudkan.

Last but not least, politik luar negeri pemerintahan Jokowi yang bersikap seperti ini akan membuat posisi Indonesia jadi ‘pasar empuk’ bagi skema kekuatan global, baik Beijing melalui OBOR nya ataupun bagi Indo Pasifik yang digagas negeri Paman Sam. Jika diperjelas, kalau dulu bung Hatta memposisikan politik luar negeri Indonesia harus seperti mendayung diantara dua karang (AS dan Uni Sovet), kini Indonesia bukan mendayung diantara dua karang, namun didayung oleh dua karang (AS dan Cina).

Oleh: Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute dan Alumni Fakultas Ilmu Sosial-Politik Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional.

Source: The Global Review

 

 

About admin

Check Also

Politik Uang dan Uang Politik

“Dalam ranah politik, uang merupakan faktor yang sangat penting. Uang bisa memberikan pengaruh yang sangat ...