Home / Agama / Kajian / Pilihlah yang Paling Memberatkan Nafsu

Pilihlah yang Paling Memberatkan Nafsu

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sahabatku terkasih, hawa nafsu itu selalu mengajak seseorang kepada keburukan. Karena itu, hawa nafsu akan menghambat seseorang untuk mencapai kebenaran (al-Haqq).

Ketika seseorang merasakan beban berat di dalam dirinya yang disebabkan hawa nafsunya ketika berada pada dan untuk mencapai sesuatu, maka bisa jadi sesuatu itu punya nilai kebenaran yang tinggi.

Hal itu sudah dituliskan oleh Guru kami, Syaikh Ahmad Ibn ‘Athaillah as-Sakandari, sehingga bisa kita jadikan pedoman untuk mendeteksi adanya nilai kebenaran dalam banyak hal. Beliau menuliskan dalam Kitab al-Hikamnya:

إِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ أَمْرَانِ فَانْظُرْ أَثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَاتَّبِعْهُ فَإِنَّهُ لَا يَثْقَلُ عَلَيْهَا إِلَّا مَا كَانَ حَقًّا

“Apabila ada dua perkara yang serupa, maka pandanglah yang paling memberatkan nafsu, lalu ikuti yang paling memberatkan itu. Sebab tidak ada yang memberatkan nafsu kecuali pasti benar.”

Manusia seringkali menghadapi dilema ketika berhadapan dengan dua masalah yang sulit untuk diputuskan. Dilema itu muncul disebabkan oleh karena dua-duanya benar atau dua-duanya wajib atau dua-duanya tidak baik, atau dua-duanya boleh dilakukan.

Dilema tersebut tidaklah muncul dari sebab dua perkara antara wajib dan haram, antara sunnah dan makruh, antara boleh dan tidak boleh. Dua perkara yang bertentangan itu tidakah setara. Maka, tak akan menimbulkan dilema.

Lalu, dalam hal-hal yang serupa ini, perkara mana yang harus anda ambil?

Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah memberikan tuntunan untuk mengambil keputusan dengan melihat yang paling memberatkan nafsu kita. Sebab, mengambil hal yang meringankan nafsu, jika yang kita putuskan adalah dua perkara yang nilainya sama, sulit terlepas dari penyimpangannya. Tetapi, jika kita memutuskannya dengan melihat yang memberatkan beban nafsu kita, kebenaran akan memihak kita.

Dalam perjalanannya, para penempuh Jalan Ilahi (salik) seringkali dihadapkan pada masalah-masalah seperti itu. Kiat paling sederhana dan mapan adalah memilih yang bukan pilihan selera nafsu kita. Nafsu akan menuntun kepada perkara yang nilai kebenarannya lebih ringan atau lebih sedikit.

Jangankan pada sesuatu yang sudah jelas sedikit nilai kebenarannya, pada sesuatu yang sudah jelas besar nilai kebenarannya sekalipun, jika kita berangkat dari niat yang tidak ikhlas, niat menuruti selera hawa nafsu, maka praktek kebenaran itu menjadi tidak benar. Bahkan cenderung bisa dijadikan selimut untuk membungkus hawa nafsu. Itu lebih berbahaya lagi!

Contohnya orang berdakwah itu benar, apalagi yang disampaikan kebenaran. Namun menjadi tidak benar bila ketika berdakwah dasarnya adalah hawa nafsu; seperti popularitas, materi, pencarian legitimasi atau pujian-pujian. Memilih yang bukan selera nafsu kita, berarti memilih selera Allah SWT, memprioritaskan Allah SWT, mencari wilayah yang diridhai-Nya.

Kata hati paling dalam adalah muatan kebenaran. Maka Rasulullah SAW, bersabda:

يَا وَابِصَةُ اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa”. (HR. Ahmad no.17545)

Al-Munawi mengatakan:

(اِسْتَفْتِ نَفْسَكَ) اَلْمُطْمَئِنَّةُ الْمَوْهُوْبَةُ نُوْرًا يُفَرِّقُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَالصِّدْقِ وَالْكِذْبِ إِذِ الْخِطَابُ لِوَابِصَةِ وَهُوَ يَتَّصِفُ بِذَلِكَ

“‘mintalah fatwa pada hatimu‘, yaitu hati yang tenang dan hati yang dikaruniai cahaya, yang bisa membedakan yang haq dan yang batil, yang benar dan yang dusta. Oleh karena itu disini Nabi berbicara demikian kepada Wabishah yang memang memiliki sifat tersebut”. (Faidhul Qadir, 1/495).

Wabishah bin Ma’bad bin Malik bin ‘Ubaid Al-‘Asadi radhiallahu ’anhu, adalah seorang sahabat Nabi, generasi terbaik yang diridhai oleh Allah. Beliau juga dikenal ahli ibadah dan sangat wara’. Maka layaklah Nabi bersabda ‘mintalah fatwa pada hatimu‘ kepada beliau.

Kata hati adalah ungkapan sejati yang bisa menepis selera nafsu kita. Penglihatan dari hati akan menghempaskan keberatan-keberatan dalam menilai kebenaran. Hawa nafsu yang menggoda tak akan bisa mempengaruhi cara pandang yang menjadikan pilihan yang benar menjadi berat.

Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah menambahkan:

مِنْ عَلَامَةِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ اِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ

“Di antara tanda-tanda menuruti hawa nafsu adalah cepat-cepat melakukan amal baik yang sunnah, tetapi malas untuk mengerjakan amal yang wajib”.

Kebiasaan spiritual yang buruk seseorang tergesa-gesa meraih hal-hal yang ajaib di balik ibadah; ingin segera diberi karomah, ingin segera dibuka hatinya, ingin ditampakkan fenomena-fenomena hebat, dan sebagainya. Semua itu akibat dari nafsu tersembunyi di balik ibadah, khususnya ketika menjalankan hal-hal sunnah.

Sedangkan ketika menjalankan ibadah wajib, hanya dinilai sebagai kewajiban yang harus digugurkan, manakala sudah selesai. Atau sekadar menjalankan kewajiban. Padahal Allah SWT, mewajibkan suatu amal ibadah tertentu, semata saking agung, mulia dan besarnya nilai ibadah tersebut.

Sahabatku terkasih, demikian jernihnya sifat kebenaran itu. Karena itu, cara memandangnya harus dengan kejernihan. Dengan begitu, hawa nafsu yang memberatkan pada pilihan kebenaran yang lebih besar akan tereliminir dengan ringan. Semoga Allah SWT memberkatimu…, âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...