Home / Agama / Improvisasi Salik / Pilihlah Agama dengan Teks atau Tanpa Teks

Pilihlah Agama dengan Teks atau Tanpa Teks

“Beragama tidaklah sempurna tanpa menggabungkan agama tekstual dengan agama ritual spiritual”

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
اَللَّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْماً

Allãhumma shalli ‘alã muhammadinin nabiyyil ummiyyi (yang tidak bisa membaca dan menulis) wa ‘alã ãlihî wa shahbihî wa sallim taslîman

“Ya Allah, limpahkan rahmat atas Nabi Muhammad yang ummi serta keluarganya, dan berilah mereka keselamatan.”

Risalah ini bermula dari Shalawat tersebut di atas yang mana Kalimat “Nabiyyil Ummiyyi” sudah kita maklumi bersama mempunyai makna seorang Nabi yang tidak mengenal huruf atau tidak bisa membaca maupun menulis. Tapi mengapa Allah Ta’ala menurunkan seorang Nabi yang tidak mengenal huruf?

Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai sifat fathanah. Fathanah artinya cerdas atau mempunyai intelektual yang tinggi. Cerdas menurut pendapat orang-orang adalah kemampuan memahami dunia, berpikir rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif saat dihadapkan pada tantangan.

Pada masa itu, umat yang dipimpin Rasulullah SAW memang telah ditakdirkan mempunyai pikiran yang cerdas. Hampir rata-rata umat saat itu mudah untuk menghafal, baik al-Qur’an maupun Hadits-hadits Rasulullah. Walaupun untuk menghindari kelupaan mereka menulis dalam berbagai sarana, seperti pelepah kurma, kayu, batu, ataupun sarana lain yang sederhana. Inilah umat terbaik sepanjang zaman, umat yang mampu mengingat, membaca al-Qur’an tanpa teks (tulisan).

Kalau ada yang berkata “kembali kepada Al Qur’an dan hadits” dengan sering mengatakan bid’ah, ataupun kalimat “itu gak ada di zaman Rasulullah” terhadap ritual ibadah di masa sekarang, terus terang, mereka adalah orang yang gak sadar dan cenderung bodoh. Karena mereka membaca kitab al-Qur’an maupun hadits yang dicetak itupun tidak ada di zaman Rasulullah. Mereka berdalil dan bermotto dengan sesuatu yang bid’ah sebenarnya.

Di masa awal Islam, umat Nabi Muhammad Beragama Tanpa Teks. Karena hidup yang paling sederhana adalah hidup tanpa kitab, tanpa bacaan tetapi mengetahui kebenaran. Karena itulah, jumlah nabi banyak sekali, ratusan ribu dan mayoritas mereka tidak membawa kitab (teks).

Nabi Muhammad pun demikian. Beliau yang mulia tidak membawa “kitab” (teks), atau apapun yang mengandung tulisan, huruf dan simbol-simbol yang mewakili bacaan. Ketika turun dari gua Hira, tak terlihat ada buku atau kitab yang dibawanya. Sampai Beliau wafat, tidak tercatat ada proses serah terima kitab.

Al-Qur’an sebagai kitab (buku/teks), itu baru dibuat kemudian. Disusun oleh panitia khusus di masa Utsman bin Affan. Di masa Nabi, itu masih potongan hafalan. Kalaupun ada catatan, itu sifatnya parsial dan berserakan di banyak tempat. Umumnya di batu dan kayu, bukan di kertas. Artinya, kalau kitab dipahami sebagai kompilasi catatan di lembaran “kertas”, maka di masa Nabi belum ada kitab.

Jadi, kalau ada ajakan kembali ke zaman Nabi, itu sama dengan mengajak kembali ke zaman tanpa teks. Zaman tanpa buku cetak (kitab) Al-Qur’an. Zaman di mana interaksi dibangun secara langsung dengan vibrasi dari “alam ukhrawi”. Zaman di mana Allah dan para malaikat mampu diajak berbicara. Inilah makna “zaman nabi”. Bukan dalam bentuk perkembangan budaya dan teknologi. Melainkan dalam keahlian berinteraksi dengan alam-alam yang lebih tinggi (alam malakut dan rabbani).

Jadi, agama, itu sederhananya bukanlah teks. Agama sebagai teks, hanyalah kebutuhan untuk orang-orang kemudian. Seperti al-Qur’an, yang disusun dan disalin ulang pada periode kemudian. Pada periode awal, itu hanya tulisan yang berserakan. Tak ada pembukuan dan penulisan. Al-Qur’an terawal adalah “ayat” yang tersimpan dalam dada Nabi. Pada periode ini, al-Qur’an itu “ruh” yang tanazzul dalam jiwa orang suci. Bukan kumpulan tulisan.

Agama, ketika turun pada maqam materi, itu adalah “teks”, yang mana untuk mengetahui petunjuk haruslah dibaca, dimengerti untuk kemudian ditafsir dan digali maknanya. Dan itu sifatnya baharu.  Sedangkan pada maqam yang lebih tinggi, agama adalah “ruh” yang bersifat Qadim (terdahulu), yang tidak perlu dibaca, karena dia sendiri yang akan bicara agar kita mengerti. Dia sendiri yang memberi petunjuk dan pemahaman kepada kita. Agama pada level ruh adalah malaikat, Kalam Tuhan yang senantiasa berbicara.

Sebaiknya, kita semua bisa mencari seorang Guru Mursyid yang bisa membukakan makna terdalam dari Surah al-‘Alaq ayat 1 sampai dengan 5, yang akan mengantarkan kita semua mendengar dan memahami FirmanNya dari Allah Ta’ala yang tanpa perantara. Inilah yang disebut ayat-ayat Qadim, yang terdahulu tanpa permulaan, yang terakhir tanpa berkesudahan. Subhãnallãh…

Ayat Pertama

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ۞

Iqra’ bismi rabbikal-lażī khalaq(a).
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!”

Ayat Kedua

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ۞

Khalaqal-insāna min ‘alaq(in).
“Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.”

Ayat Ketiga

اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ۞

Iqra’ wa rabbukal-akram(u)
“Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia,”

Ayat keempat

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ۞

Allażī ‘allama bil-qalam(i).
“yang mengajar (manusia) dengan pena.”

Ayat kelima

عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ۞

‘Allamal-insāna mā lam ya’lam.
“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Oleh sebab itu, ulama yang sudah melewati maqam tertinggi adalah kumpulan orang “ummiy”. Orang yang cerdas (fathanah), tapi bukan dengan membaca yang tertulis. Melainkan dengan mendengar “suara hati” (ilham/wahyu). Mukasyafah (keterbukaan hijab hati)-nya sangat luas.

Agama semakin hari semakin tereduksi. Ia semakin jauh dari nabi. Agama semakin menjadi teks materi murni. Kita akan dianggap bid’ah kalau tidak merujuk kepada “teks” hasil riset Bukhari Muslim, yang merujuk kepada Nabi. Kita akan dituduh sesat, kalau tidak ikut teks al-Qur’an dalam pemahaman literal kelompok tertentu. Sehingga, ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits hanya dipahami sebatas sebagai kembali kepada buku “teks”. Bukan kembali kepada “ruh”, kepada “jibril”, kepada “al-Qur’an yang hidup”, kepada “qalam awal”, atau ke makna yang azali.

Bila telah sampai kepada maqam tertinggi ini sebagaimana yang dikatakan oleh Mursyid kami, Kyai Muhammad Arjaen, bahwa Kangjeng Nabi Muhammad tampak saking Gusti Allah kalawan lantaran Dat Ruhul Amin, senyatanya adalah ucapan maupun perilaku Muhammad SAW adalah cerminan Dia Yang Maha Suci, karena Ruhul Amin telah melekat pada diri Muhammad.

Agama perlahan mengalami proses materialisasi. Pelan-pelan kehilangan ruhiyah-nya (Tuhan yang asli). Terjebak dengan (teks) materi. Padahal, agama yang asli adalah membaca apa yang ada di “langit”. Bukan mengeja apa yang tertulis di bumi.

Era Beragama dengan Teks

Di zaman sekarang, sangatlah tidak mungkin bagi kita untuk tidak membaca kitab, baik itu Kitab Suci maupun kitab keilmuan yang lainnya. Saya membaca berbagai macam kitab dan buku namun kita haruslah berusaha keras untuk kembali kepada “kesadaran pertama”. Yaitu kesadaran ketika kita belum turun ke alam dunia namun sebenarnya kita sudah mampu berkomunikasi dengan Tuhan.

Dalam surah Al-A’raf ayat 172, Allah berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ۞

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): *”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”* Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Dari ayat ini maka kita tidak boleh lengah sedikitpun dari Syahadat Sejati ini di dalam setiap helaan nafas kita, yaitu Syahadat azali, syahadat suci, syahadat ruh di mana antara penyaksi dan yang disaksikan berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Kita sudah tahu Kebenaran hakiki, jauh sebelum kita bisa membaca. Kesadaran murni kita yang dahulu kala menjadi mutlak milik kita itu telah menjauh akibat dari banyaknya membaca banyak referensi dan jarang kita membangkitkan kembali rasa sejati itu.

Membaca itu bagus. Akan lebih bagus jika dikombinasikan dengan “kecerdasan laduni” (kecerdasan pertama). Ulama-ulama kontemporer seperti Sayyidi Syekh Ibnu Arabi dengan kitab-kitab karangannya dapat membawa kita kepada kontemplasi ke zaman Rasulullah SAW dan kita bisa merasakan nikmatnya umat ketika Sang Nabi masih hidup.

Saat ini kita telah mengalami kegersangan kitab yang otomatis kehilangan petunjuk untuk mendapatkan ilmu laduni yang didapatkan langsung dari Allah SWT, karena buku-buku di zaman sekarang ini kebanyakan hanya berisi ritual Agama Islam dan bukan Spiritual Islam atau lebih tegasnya Islam sebagai agama (ageman) ruhani.

Menurut Ibn ‘Arabi, Allah SWT telah menurunkan tiga kitab kepada manusia yaitu, (1) Al-Qur’an, (2) kitab makrokosmos atau alam semesta, dan (3) kitab mikrokosmos atau manusia itu sendiri. Pernyataan ini selaras dengan Q.S. Fusshilat [41]: 53,

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ ۞

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fusshilat [41]; 53)

Untuk kembali maju, kita harus banyak “membaca”, sekaligus “tidak membaca”. Makna membaca adalah membaca karya-karya inovatif, khususnya yang banyak berkembang di dunia ‘kafir’ Barat. Sekaligus “tidak membaca”, yaitu melakukan ‘uzlah atau menyambungkan hati dengan Tuhan. Agar diberi ragam informasi kreatif atas sebuah penelitian.

Dunia “Barat” itu dunia Yunani, dunia membaca. Dunia “Timur” itu dunia diam atau meditasi. Agama barat adalah agama membaca. Agama timur adalah agama “ummiy” (tidak membaca). Karena itu, ada fenomena menarik. Seorang Nabi akhir zaman, yang terkenal ummiy (QS. Al-A’raf: 157-158), ketika pertama kali hadir langsung meneriakkan “Iqra’” (QS Al-‘Alaq: 1).

Saat ia menerima wahyu pertama itu, tidak ditemukan ada teks religius apapun bersamanya. Jadi, apanya yang mau dibaca? Apa perintah Tuhan yang keliru? Tentu tidak. Sebab, di dunia saat itu sudah banyak berkembang teks-teks pengetahuan dari Yunani. Itulah yang harus dibaca. Tentu harus “dengan nama Tuhan” (bismi rabbik), agar pengetahuan-pengetahuan itu hidup kembali. Kemudian terjadilah “islamisasi pengetahuan”. Ilmu yang telah ada “di-dzikir-kan”, sehingga semakin berkembang. Ia memerintahkan agar agama timur yang rajin diam dan ber-‘uzlah, dikawinkan dengan agama barat yang penuh teks dan suka membaca. Lalu lahirlah Islam dalam wajah tertinggi beberapa abad kemudian.

Dalam hal ini Allah menegaskan,  “Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat” (QS.Al-Baqarah: 115). Kesempurnaan Islam lahir dari perkawinan dua kutub ini: “dengan, sekaligus tanpa teks”. Kebenaran ini sudah terbukti sebelumnya. Ketika Dzulqarnain misalnya, mampu menjembatani dunia “barat dan timur”. Karenanya ia menjadi salah satu pemimpin teragung sepanjang masa.

Ku akhiri risalah ini dengan do’a Maulana Syeikh Ibnu Arabi:

اَللَّٰهُمَّ تَصَدَّقْ عَلَيَّ بِطُوْلِ الْعُمْرِ وَصِحَّةِ الْبَدَنِ وَسَلَامَةِ الصَّدْرِ وَحُسْنِ الْعَافِيَةِ وَسِعَةِ الرِّزْقِ وَالْاَمْنِ وَالْفَرَاغِ وَالنَّجَاةِ عَنْ اَيْدِي الظُّلْمَةِ وَالْوَجْهَةِ مِنَ النَّاسِ وَالْفَهْمِ فِي الْعُلُوْمِ وَالْمَعَارِفِ وَالْقُرْآنِ وَبَقَآءِ الْإِيْمَانِ وَحَلَاوَةِ الْإِيْمَانِ وَالْعَافِيَةِ الشَّامِلَةِ لِجَمِيْعِ اَحْوَالِيْ وَاتِّبَاعِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالثَّبَاتِ عَلَى دِيْنِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allãhumma tashaddaq ‘alayya bi thûlil ‘umri wa shihhatil badani wa salãmatish shadri wa husnil ‘ãfiyati wa si’atir rizqi wal amni wal farãghi wan najãti ‘an aididz dzulmati wal wajhati minan nãsi wal fahmi fil ‘ulûmi wal ma’ãrifi wal qur-ãni wa baqã-il îmãni wa halãwatil îmãni wal ‘ãfiyatisy syãmilati li jamî’i ahwãlî wat-tibã’i nabiyyika muhammadin shallallãhu ‘alaihi wa sallama wats tsabãti ‘alã dînihî ilã yaumil qiyãmati birahmatika yã arhamar rãhimîn._

“Ya Allah, sedekahilah aku dengan panjang umur, sehat badan, keselamatan hati, keluasan rezeki, keamanan, kesempatan dan keselamatan dari tangan-tangan orang dzalim, juga (sedekahilah aku) dengan kepahaman dalam ilmu, pengetahuan, Al-Quran, ketetapan iman, manisnya iman, kesehatan yang menyeluruh dalam setiap keadaanku, mengikuti nabi-Mu, Muhammad SAW, dan tetap mengikuti agamanya hingga hari kiamat, dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.”

__________

* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Menakar Ulang Sya’ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

“Ayat shalawat, dimana terdapat perintah bershalawat kepada Nabi SAW (QS. Al-Ahzab [33]: 56), apakah turun ...