Dalam membangun suatu sistem politik demokrasi diperlukan bukan saja kekuatan secara fisik tetapi juga kekuatan dalam imajinasi, atau yang disebut imajinasi politik (political imagination). Kekuatan suatu imajinasi politik ikut berkontribusi kepada munculnya daya tarik, greget (ghirah), serta kreativitas dari parpol, para pemimpin dan pendukungnya, dan tentu saja bagi publik secara umum, bahkan meluas kepada bangsa. Para pemimpin unggulan dalam sejarah politik suatu bangsa biasanya berangkat dengan modal kekuatan fisik yang acapkali tak begitu besar, tetapi mereka berhasil melakukan perubahan-perubahan besar karena mereka memiliki imajinasi yang kuat dan inspiratif.
Di negeri kita model pemimpin imajinatif tidak kurang, sebut saja para pendiri bangsa seperti Proklamator Bung Karno dan Mohammad Hatta, St Sjahrir, Tan Malaka, Sudirman, dll. Mereka bukan tokoh-tokoh yang punya modal fisik (kekayaan, parpol besar, dukungan internasional) yang besar, namun berhasil menorehkan warisan besar (legacy) yang luar biasa bagi bangsa dan negara. Khususnya dalam ummat Islam, sebagai bagian integral dalam NKRI, pun memiliki tokoh-tokoh besar yang memiliki imajinasi politik luar biasa, seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Wahid Hasyim, dll yang menjadi referensi bagi para pemimpin generasi setelah mereka.
Jika kita forward ke masa pasca-reformasi, khususnya mencermati parpol dan elite parpol Islam, saya mengatakan bahwa imajinasi politik mereka makin kering dan, karenanya, tidak lagi mampu memproduksi gagasan dan langkah-langkah strategis yang unggulan dalam menghadapi dinamika politik nasional. Kaum Muslimin di negeri ini pernah menyaksikan sosok-sosok yang memiliki imajinasi politik yang diakui dunia dan menjadi pelopor gerakan pro-demokrasi melawan rezim Orba, seperti almarhum Gus Dur. Di era pasca-reformasi, ketika parpol Islam ikut menikmati kekuasaan secara lebih bebas dan mandiri, yang terjadi justru letargi dalam pemikiran, gagasan besar, dan imajinasi politik para elitenya.
Pilkada DKI 2017 bisa menjadi salah satu indikasi terjadinya kemiskinan imajinasi politik parpol Islam dan elitenya. Di ibukota Republik ini ada 4 parpol yang bisa disebut mewakili konstituen Muslim di Jakarta, yakni PPP, PKB, PAN dan PKS. Jakarta juga dikenal sebagai kota metropolitan yang memiliki basis massa Islam sangat besar, demikian pula kiprah organisasi masyarakat sipil (OMS) berbasis Islam yang sangat aktif.
Namun demikian, fakta politik menunjukkan bahwa kekuatan parpol Islam dalam menentukan paslon Pilkada bisa dikatakan lemah. PKS, parpol Islam yang paling berhasil dalam pengkaderan dan memiliki sistem manajemen politik paling baik pun dibuat “tak berkutik.” Sebab partner koalisinya, Gerindra, menjadikan Sandiaga Uno (SU), sebagai cawagub mendampingi Anies Baswedan (AB) yang non-partisan. Apalagi PPP, PKB, dan PAN. Mereka cukup puas dalam posisi “mengamini” paslon yang ditentukan PD, Agus Harimurti (AH)-Sylviana Murni (SM).
Hemat saya kegagalan 4 parpol berbasis konstituen Islam ini bukan hanya karena mereka tidak memiliki kekuatan basis massa atau kursi di DPRD. Tetapi lebih karena para elit parpol tersebut tidak memilki imajinasi politik yang mampu membuat mereka menerobos sekat-sekat partikularisme dan menawarkan gagasan-gagasan yang inklusif sehingga menarik untuk di ‘jual’ kepada rakyat Jakarta yang jelas memiliki perspektif politik yang inklusif dan bukan sektarian. PKS, yang notabene memiliki kapasitas manajemen dan kaderisasi paling baik pun, masih tetap belum mampu meretas sekat-sekat tersebut. Parpol Islam di DKI masih belum ‘move on‘ dan tetap menggunakan formula-formula jadul partikularisme.
PKB sebagai parpol yang lahir dari gagasan besar GD dengan ciri anti-sektarian dan kebangsaan, malah terjebak dalam pragmatisme. Sama juga halnya dengan PAN yang sebelumnya diberitakan akan mengusung Rizal Ramli (RR), tokoh inklusif dan merakyat serta berkarakter pengubah permainan (game changer) itu. Elite PAN tampaknya juga tidak berdaya menghadapi tekanan pragmatisme. Apalagi sejak awal partai ini sudah diingatkan oleh sesepuhnya, Amien Rais (AR) agar tidak mendukung petahana! Sementara itu, PPP, saya kira memang tetap menjadi partai Islam konservatif, sehingga tak bisa diharapkan untuk meninggalkan ‘pakem’ lamanya.
Sejarah adalah sebuah gerak dialektik menuju ke depan. Kendati aktor-aktor sejarah berkesempatan ikut membuat sejarah, tetapi hanya mereka yang memiliki imajinasi kreatif dan berorientasi ke depan saja yang survive dan berjaya. Jika kondisi parpol Islam masih seperti saat ini sebagaimana terlihat di DKI, maka saya khawatir apakah di masa depan kekuatan Islam ini akan mampu menjadi salah satu penentu perpolitikan bangsa atau hanya menjadi pelengkap saja. Wallahu a’lam!**
Oleh : Muhammad AS Hikam
Sumber : facebook Muhammad AS Hikam