Apa kesan yang terbenam di benak anda ketika melihat citra natural resources, data Migas di Kompas (2/11), atas wilayah Indoensia yang dikerubungi perusahaan-perusahaan berbendera asing, terutama Amerika Serikat (AS)? Itulah kenyataannya, bahwa kita tidak lagi dapat menganggap Negara dan rakyat negeri ini adalah tuan rumah dan berdaulat atas tanah serta dan berbagai kekayaan yang dikandungnya. Semua kekayaan yang sejatinya menjadi modal kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, ada di tangan tuan-tuan koorperasi transnasional, terutama anak-anak Paman Sam.
Tribun News (4/11) dalam laporan journalist citizen nya memaparkan desas-desus agenda kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia. Mampirnya sang Nyonya Clinton itu disinyalir kuat ada dalam agenda utama memperpanjang kontrak Freeport. Yaitu tambang emas terbesar negeri ini di wilayah Papua. Hal ini persis pengalaman Barack Obama saat mengunjungi negeri Rayuan Pulau Kelapa ini. Sang Presiden Negara Adidaya itu berkunjung tidak lebih dari menjaga agar kepentingan ekonomi AS tetap langgeng disini. Dan secara khusus momentumnya saat itu adalah perpanjangan kontrak Blok Natuna D Alpha.
Jika kita diberitahu secara jujur, kandungan emas pulau Cenderawasih itu cukup membuat bangsa ini percaya diri untuk menyatakan bahwa kita adalah Negara terkaya didunia, dan semestinya ada dalam kemakmuran yang nyata. “Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia, dikeruk dan diolah PT Freeport. Ia mengasilkan 7,3 Juta ton tembaga dan 724,7 Juta ton emas. Jika konversikan ke mata uang rupiah, dengan harga emas mentah anggap Rp. 10.000 per gram, dikali 724,7 Juta ton atau 724.700.000.000.000 gram emas, maka Freepot telah menambang kekayaan negara ini senilai Rp. 7.247.000.000.000.000.000, atau 7.247.000 triliun rupiah. Jika biaya produksi penambangan anggap 90% dan margin laba 10% saja, maka telah dihasilkan uang Rp 724.700 triliun. Begitulah yang ditulis Bernard Simamora dalam opininya di Pelita Indonesia.
Belum lagi dengan cadangan gas alam terbesar di dunia yang diperkirakan dikandung Blok Natuna D Alpha, hingga 202 Triliun kaki kubik. Tentunya akan lebih percaya diri lagi kalau kita menghitung kandungan jenis dan dibelahan lain negeri ini. Hal yang membuat pandangan mata para kapitalis itu seperti melihat panorama surga bocor menimpa negeri ini.
Pertanyaannya, siapa yang punya kuasa mengelola dan menikmati nilai ekonominya? Tentunya tuan-tuan Amerika beserta sejawatnya melalui kooperasi-kooperasi transnasional itu. Dan rakyat negeri ini hanya menonton dengan tatapan kosong belaka.
Dengan kekayaan yang dikandung sebesar itu, masih saja Wamen Kementrian Energi Pemerintah SBY takut melanggar aturan dan kebijakan WTO. Sikap inlander seperti inilah membuat pemerintahan kita tidak berdaya memproteksi kekayaan negeri ini, hingga dapat dinikmati sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana dalam acara Bali Democracy Forum (BDF) mengingatkan dua hal harus diwaspadai Indonesia terkait kemenangan kali kedua Obama. pertama, untuk menangkis kritikan Romney bahwa Obama tidak berhasil mengeluarkan AS dari krisis ekonomi maka Obama akan mengambil tindakan yang lebih agresif dalam membuka pasar luar negeri, pelaku usaha AS dan kepentingan pelaku usaha AS di luar negeri. “Bagi Indonesia bisa jadi pemerintah AS akan menekan Indonesia dalam proses renegosiasi dengan Freeport. Bila nantinya pemerintah Indonesia memperpanjang Kontrak Karya Freeport maka hal tersebut merupakan indikasi tekanan yang dilakukan oleh Pemerintahan Obama terhadap pemerintahan SBY,” tutur Hikmahanto.
Kedua, lanjut dia, Indonesia harus mewaspadai perlakuan istimewa AS terhadap Indonesia selama ini. Bisa jadi untuk memanfaatkan posisi Indonesia di kawasan dan negara berpenduduk Islam terbesar.”Bukannya tidak mungkin pemerintah AS akan mengambil manfaat kemitraan strategis dengan Indonesia untuk penanganan potensi konflik di Laut Cina Selatan, konflik Iran-Israel dan masalah yang muncul di negara ASEAN seperti Rohingya,” lanjutnya, sebagaimana diberitakan Irib Indonesia.
Pastinya negeri ini tidak akan menemukan kewibawaan dan menuai harapan bagi kesejahteraan rakyatnya, tanpa terbangun kesadaran mental bahwa kedaulatan adalah posisi kunci sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Harusnya tidak ada penghianatan atas hak rakyat yang sejatinya dikuasai secara utuh dan bermartabat.