Saudaraku, akhir-akhir ini perubahan cuaca telah menjadi fakta obyektif, kasat mata dan kasat rasa. Dahulu di awal-awal tahun 2000-an kita masih hafal siklus iklim di negara kita tercinta ini. Ketika masuk bulan September hingga Februari tahun berikutnya kita mempersiapkan diri untuk masuk musim hujan. Siklus iklim itu sudah menjadi rutinitas tahunan yang sama-sama kita kenali.
Coba tengok dalam dua tahun terakhir ini, seolah cuaca sudah tidak jelas lagi masa siklusnya. Musim hujan dan musim kemarau sudah tak lagi punya siklus. Kadang hujan datang begitu saja ketika sorot matahari sedang moncer. Sebaliknya, tidak lama setelah hujan berhenti, tiba-tiba panas terik matahari memancar.
Tiga hari yang lalu, Tiongkok dilanda banjir parah akibat debit hujan yang begitu deras. Sebelumnya negara-negara Eropa juga dilanda banjir. Kemudian wabah covid-19 yang sudah hampir dua tahun ini masih eksis. Apakah semua itu ada kaitannya dengan perubahan cuaca yang direkayasa? Ada fenomena apa ini?
Coba kita tengok, adakah perubahan cuaca akhir-akhir merupakan akibat “tangan-tangan kotor” manusia yang memanfaatkannya sebagai “senjata” untuk melemahkan suatu bangsa? Beberapa tulisan dari media mainstream pernah mengangkat tema ini. Coba kita telaah…
Beritasatu.com pernah mengangkat tema ini pada Kamis, 19 Februari 2015 dengan judul; “Ilmuwan Khawatir CIA Kembangkan Teknologi Rekayasa Cuaca untuk Senjata”. Berikut kutipan berita tersebut.
CIA Gunakan Teknologi Rekayasa Cuaca untuk Senjata?
Sejumlah ilmuwan lingkungan dunia mengkhawatirkan proyek CIA yang punya keinginan untuk merekayasa cuaca sebagai senjata. Rekayasa tersebut dikenal dengan istilah Geoengineering yang tujuan utamanya untuk mengatasi pemanasan global dengan cara menghilangkan atau mengurangi kandungan karbondioksida di atmosfer.
Dalam tujuan yang sebenarnya rekayasa tersebut hanya dilakukan di sejumlah titik di permukaan bumi. Namun apa yang akan dikembangkan CIA jauh lebih besar dan dampaknya, menurut para ilmuwan, sangat mengerikan.
Alan Robock, seorang ilmuwan yang mempelajari dampak dari radiasi nuklir di tahun 1980-an, memperingatkan CIA yang mendanai Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional untuk penelitian tentang tujuan yang berbeda dari rekayasa cuaca.
Menjadikan cuaca sebagai senjata memang bukan hal baru. Dokumen pemerintah Inggris menyatakan 99 tahun lalu, satu dari enam percobaan militer di Statsiun Orford Ness di Suffolk dilakukan untuk membuat awan buatan. Tujuannya untuk mengganggu serangan udara Pasukan Jerman di Perang Dunia I.
Namun percobaan itu gagal. Tapi konsep tersebut akhirnya menjadi kenyataan pada tahun 1967, ketika Pemerintah Amerika Srikat (AS) melalui Operasi Popeye berhasil membuat awan buatan.
Dalam perang Vietnam, AS berhasil meningkatkan curah hujan di negara bekas komunis tersebut sebanyak 30 persen dengan awan buatan. Hal itu sebagai usaha untuk menghambat gerak pasukan Vietkong. Praktik ini diperkirakan berasal pada tahun 1946, saat Vincent Schaefer, seorang ahli kimia melakukan eksperimen.
Schaefer memperhatikan bahwa inti kondensasi awan dapat direkayasa dan dibuat untuk menciptakan hujan atau salju. Dari Maret 1967 hingga Juli 1972 militer AS pun diketahui menghabiskan lebih dari 3 juta Dollar AS per tahun untuk usaha rahasia ini.
Operasi Popeye ini kemudian bocor pada 1971 dan dibantah oleh pejabat pemerintahan Nixon. Kemudian pada Juli 1972 New York Times menerbitkan kisah mereka sendiri tentang operasi Popeye dengan rincian tersendiri.
Setelah rincian Operasi Popey dipublikasikan, para legislator pun mulai mendorong sebuah perjanjian internasional. Yakni perjanjian yang melarang pengunaan rekayasa cuaca dalam peperangan.
Perjanjian internasional ini melarang militer melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan “gempa bumi, tsunami, perubahan cuaca, perubahan arus laut, perubahan lapisan ozon, dan perubahan keadaan ionosfer”.
Robock mengingatkan rekayasa cuaca seharusnya digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kelangsungan hidup manusia bukan sebagai senjata.
Anomali Cuaca Sebabkan Korban Tewas pada Perang Dunia I
Kompas.com juga pernah menayangkan berita yang bersifat analitis dengan tajuk: “Anomali Cuaca Sebabkan Korban Tewas PD I jadi Lebih Banyak, Kok Bisa?”.
Sebuah penelitian baru menyebut, cuaca buruk yang tak normal memiliki dampak yang signifikan terhadap korban yang tewas pada peristiwa Perang Dunia I dan juga flu Spanyol 1918.
Dalam studi yang dipublikasikan di GeoHealth tersebut, peneliti mengungkap kalau jumlah korban yang meninggal dari kedua peristiwa itu menjadi lebih banyak, akibat hujan lebat serta suhu yang turun drastis.
Seperti dikutip dari Science Alert, Selasa (29/9/2020) kesimpulan tersebut didapat setelah peneliti melakukan analisis terperinci dari inti es yang diekstraksi dari Pegunungan Alpen Swiss-Italia. Dari inti es tersebut peneliti bisa melihat lebih dekat pola iklim di seluruh Eropa antara tahun 1914 hingga 1919 dan mengaitkannya dengan Perang Dunia I serta pandemi untuk pertama kalinya.
Menurut peneliti, jejak garam laut yang terperangkap di inti es mengungkap aliran udara samudera Atlantik yang sangat tak biasa dan curah hujan pada musim dingin tahun 1915, 1916, dan 1918. Waktu tersebut bertepatan dengan puncak angka kematian di medan perang.
Total hampir 10 juta personel militer diperkirakan tewas dalam PD I. Personel militer mengalami problem terkena penyakit trench foot dan radang dingin, situasi itu diperburuk oleh kondisi lembap dan dingin yang terus menerus.
Sementara itu, medan perang yang berlumpur juga membuat sulit untuk memulihkan serta menyelamatkan tentara yang terluka. Hal inilah yang kemudian merenggut lebih banyak nyawa.
“Kami menemukan hubungan antara peningkatan kondisi basah dan dingin dengan peningkatan kematian pada pertengahan 1917 hingga pertengahan 1918 yang mencakup periode pertempuran ketiga Ypres dan gelombang pertama flu Spanyol,” tambah Christopher Loveluck, arkeolog dari University of Nottingham Inggris.
Selain memperburuk kondisi tentara, para peneliti menyebut anomali cuaca juga mengganggu perilaku migrasi burung dan berpotensi mendorong burung lebih dekat dengan manusia.
Peneliti berspekulasi, akibat cuaca, bebek mallard yang merupakan reservoir utama H1N1 akhirnya tetap tinggal di Eropa barat daripada bermigrasi ke Rusia seperti biasa.
Hal ini membuat populasi burung menjadi lebih dekat dengan personel militer, serta sipil yang sudah berjuang dengan kondisi yang tak higienis.
Sehingga, kondisi itu memainkan peran besar menciptakan lingkungan yang sempurna untuk strain influenza H1N1 yang memicu gelombang kedua flu Spanyol yang mematikan.
Sebab lebih banyak air, berarti penyebaran virus menjadi lebih cepat pula, karena bercampur dengan kotoran burung.
“Sirkulasi atmosfer berubah dan terjadi lebih banyak hujan, cuaca jauh lebih dingin di seluruh Eropa selama enam tahun. Saya tidak mengatakan bahwa anomali cuaca adalah penyebab pandemi, tetapi merupakan faktor tambahan yang memperburuk situasi yang sudah ada,” ungkap Alexander More, peneliti iklim dari Universitas Harvard.
Temuan tersebut pun bisa menjadi pelajaran penting bagi kita di tengah pandemi, serta perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Serangan Bioterorisme
Sebagaimana dikutip cnnndonesia.com, Bill Gates memperingatkan publik dunia, kini sudah waktunya untuk menghadapi bahaya yang sangat besar di seluruh dunia yaitu ancaman serangan teroris dengan memakai bahan-bahan kimia, biologi, dan sebagainya seperti virus yang bisa menyebarkan wabah penyakit atau yang dikenal dengan bioterorisme.
“Ancaman bioterorisme melebih bahaya perang nuklir dan perubahan iklim,” kata Gates dalam Konferensi Keamanan di Jerman, Sabtu (18/2/2017) waktu setempat, yang salinan pidatonya diterbitkan oleh Business Insider.
Gates menekankan pentingnya dilakukan hal tersebut di seluruh dunia untuk persiapan dalam menghadapi salah satu ancaman yang sangat besar yang disebutnya sebagai pandemi yang sudah sangat nyata di depan mata.
“Apakah itu terjadi karena faktor alam atau di tangan teroris, ahli epidemiologi mengatakan patogen udara yang bergerak cepat bisa membunuh lebih dari 30 juta orang dalam waktu kurang dari satu tahun,” katanya. Mereka mengatakan ada kemungkinan dunia akan mengalami penyebaran tersebut dalam waktu 10 sampai 15 tahun.
Dia lantas menyebut bahwa ancaman pandemi terbaru nantinya bakal lebih mematikan dari kasus wabah flu mematikan yang terjadi secara alami pada 1918 silam yang menewaskan antara 50 juta hingga 100 juta orang, “kata Bill Gates.
Saudaraku, ternyata rekayasa cuaca untuk dijadikan sebagai perang proxy bukanlah hal baru. Analisis ini bahkan dicurigai oleh para ilmuwan sudah terjadi sejak pecah Perang Dunia I. Fakta obyektif fenomena alam akhir-akhir ini sudah dan sedang kita rasakan.
Source: Dihimpun dari beberapa sumber bacaan