Home / Ensiklopedia / Analisis / Pertalian Kekeluargaan Prabu Siliwangi dengan Wali Sanga dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari

Pertalian Kekeluargaan Prabu Siliwangi dengan Wali Sanga dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.

Pangeran Arya Carbon adalah Pangeran Wangsakerta ternyata mempunyai nama lain, Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Car­bon. Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gus­ti Carbon dan Panembahan Tohpati. Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsa­kerta lebih dikenal sebagai pangeran Arya Carbon yang menyusun naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720).

Carita Purwaka Caruban Nagari didalamnya terdiri dari 39 bagian/Pupuh. Adapun ringkasan dari tiap-tiap bagian tersebut dapat dideskripsikan sebagaimana berikut.

Cirebon berada dibawah kekuasaan Susuhunan Jati Purba Wisesa, salah seorang wali di Pulau Jawa. Ia dikukuhkan menjadi Panetep Panatagama Islam (pemimpin dan penyebar agama Islam) di wilayah Sunda. Ia menjalankan pemerintahan di istana Pakungwati bersama uaknya, Pangeran Cakrabuwana, yang bergelar Sri Manggana. Uaknya itu menjadi kuwu Cirebon kedua, dan juga sebagai Manggala (Panglima Angkatan Bersenjata).

Nama Cirebon pada awalnya adalah Sarumban, lalu diucapkan Caruban, akhirnya Carbon (Cirebon). Para wali menyebutnya puseur bumi, negeri yang ada di tengah Pulau Jawa. Sementara penduduk pribumi menyebutnya Nagari Gede yang lama kelamaan diucapkan Garage dan kemudian menjadi Grage.

Kisah Awal dan Silsilah Prabu Siliwangi

Dikisahkan secara singkat perihal perjalanan hidup Prabu Siliwangi, seorang raja besar yang memerintah Pakwan Pajajaran. Ia adalah putra Prabu Anggalarang dari wangsa Galuh yang berkuasa di Surawisesa (Keraton Galuh). Pada masa mudanya, ia bernama Raden Manah Rarasa (Pamanah Rasa) dan dipelihara oleh uaknya, Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru labuhan yang menguasai pelabuhan Muara Jati. Prabu Siliwangi memperistri puteri Ki Gedeng Sindangkasih bernama Nyai Ambetkasih.

Prabu Siliwangi mengikuti sayembara di negeri Suran-taka, bawahan negeri Pajajaran, yang diselenggarakan oleh raja Singapura, Ki Gedeng Tapa. Dalam sayembara itu, ia tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.

Setelah Ki Gedeng sindangkasih wafat, Raden Pamanah Rasa dijadikan Raja Sindangkasih dengan gelar Prabu Siliwangi. Selang beberapa waktu lamanya, Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi Maharaja di Pakwan Pajajaran bergelar Pabu Dewatawisesa dan tinggal di keraton Sang Bima bersama istrinya Nyai Subanglarang.

Prabu Siliwangi adalah generasi ke-sembilan dari Maharaja Galuh Pakwan, Maharaja Adimulya. Prabu Siliwangi (9) adalah putra Prabu Anggalarang (8), putra Prabu Mundingkawati (7), putra Prabu Banyakwangi (6), putra Prabu Banyaklarang (5), putra Prabu Susuktunggal (4), putra Prabu Wastukancana (3), putra Prabu Ciungwanara (2), dan Ciungwanara adalah putra Maharaja Galuh Pakwan bernama Maharaja Adimulya (1).

Setelah Ki Gedeng Sindangkasih meninggal, kedudukannya sebagai Juru Labuhan digantikan oleh Ki Gedeng Tapa yang bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati. Ia berkuasa di sepanjang pantai Cirebon. Ki Gedeng Tapa adalah salah seorang putra Ki Gedeng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang. Adik Ki Gedeng Kasmaya, yaitu Ki Gedeng Surawijaya Sakti, semasa hidupnya menjadi raja Singapura. Ia wafat tidak berputra sehingga kedudukannya digantikan oleh keponakannya, yaitu Ki Gedeng Tapa.

Kakak perempuan Ki Gedeng Tapa ialah Nyai Rara Ruda yang tinggal di Lemah Putih dan bersuamikan Ki Dampu Awang, saudagar kaya dari Cempa. Dari perkawinannya itu, Nyai Rara Ruda mempunyai seorang putri bernama Nyai Aciputih yang diperistri oleh Prabu Siliwangi dan melahirkan seorang putri bernama Nyai Lara Badaya. Nyai Lara Badaya dibawa kakeknya ke Cempa. Di sana, ia berguru agama Islam kepada Maulana Ibrahim Akbar.

Maulana Ibrahim Akbar mempunyai dua orang putra: Ali Musada dan Ali Rakhmatullah. Ali Musada berputra Maulana Ishak yang beristri putri Blambangan dan mempunyai anak bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Susuhunan Giri. Sementara itu, Ali Rakhmatullah tinggal di Gresik dan bergelar Susuhunan Ampel Denta. Ia adalah pemimpin para wali di Pulau Jawa dan mempunyai dua orang putra bernama Makhdum Ibrahim yang disebut Susuhunan Bonang dan Maseh Munat yang disebut Susuhunan Drajat.

Hubungan Kekeluargaan Prabu Siliwangi dengan Wali Songo

Dari pernikahannya dengan Nyai Subanglarang, Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang anak, yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyai Rara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya wafat, ketiganya mendapat perlakuan yang buruk dari kalangan istana.

Pangeran Walangsungsang akhirnya meninggalkan keraton menuju ke arah timur dan tiba di pondok Ki Gedeng Danuwarsi, seorang pendeta Budhaparwa (Siwa-Budha). Setelah beberapa waktu tinggal di situ, ia memperistri putri Ki Gedeng Danuwarsi bernama Nyai Indang Geulis. Nyai Lara Santang yang sedang menyusul kakaknya tiba di tempat Ki Gedeng Danuwarsih.

Ki Gedeng Danuwarsih adalah salah seorang putra Ki Gedeng Danusenta, seorang pendeta Budha-prawa dari Gunung Diyeng yang telah lama meninggal di keraton Galuh Pakwan. Adapun adik Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Ki Danusela tinggal di Cirebon Girang dan beristrikan Nyai Arumsari, putri Ki Gedeng Kasmaya.

Pangeran Walangsungsang beserta istri dan adiknya berangkat ke Gunung Amparan Jati untuk berguru agama islam kepada Syekh Datuk Kahfi juga disebut Syekh Nuruljati yang berasal dari Mekah. Syekh Datuk Kahfi mempunyai seorang adik bernama Syekh Bayanullah dan bergelar Syekh Datuk Mahuyun yang mengikutinya di Gunung Amparan Jati. Pada masa Syekh Datuk Kahfi berdiam di Baghdad.

Menceritakan suasana dukuh Pasambangan di kaki Gunung Sembung dan Gunung Amparan Jati. Dukuh Pasambangan banyak didatangi pedagang sehingga pelabuhannya (Muara Jati) menjadi Beragam perahu yang berasal dari negeri Tiongkok, Arab, Persi, India, Malaka, Tumasik, Pase, Jawa Timur, Madura, dan Palembang berlabuh di pelabuhan ini.

Di Puncak Gunung Amparan Jati didirikanlah sebuah mercusuar yang dikerjakan oleh tentara Tiongkok di bawah pimpinan panglima besar Wa Heng Ping dan Laksamana Te-ho (Cheng-Ho) ketika mereka singgah di daerah itu untuk mencari perbekalan dalam pelayaran ke Majapahit. Pada masa itu, penguasa wilayah sepanjang pantai Cirebon ialah Ki Gedeng Jumajan.

Pada waktu menjadi Juru Labuhan, Ki Gedeng Tapa bersahabat baik dengan para pedagang dan para guru agama Islam berasal dari Mekkah. Salah seorang di antara mereka adalah Syekh Hasanuddin yang bergelar Syekh Kuro seorang ulama yang berasal dari negeri Cempa. Di Jawa, Syekh Hasanuddin mendirikan pondok pesantren di Karawang. Salah seorang muridnya ialah Nyai Subang Larang, sebelum ia diperistri oleh Prabu Siliwangi.

Syekh Datuk Kahfi tiba di Pasambangan beserta 12 orang pengikutnya –sepuluh orang pria dan dua wanita. Mereka diterima dengan ramah oleh penguasa di sana dan diberi tempat tinggal di Gunung Amparan Jati. Di Gunung Amparan Jati, ia mendirikan pondok pesantren.

Setelah berguru selama tiga tahun kepada Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah dan diperintahkan oleh gurunya untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir yang terletak di sebelah selatan Gunung Amparan Jati. Setelah menebas hutan belukar, Ki Samadullah mendirikan gubuk dan tajug di sana.

Pada Bagian ke-11 Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari diceritakan perihal Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gede Danuwarsi. Ia telah lama tinggal di Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir –kemudian disebut Lemah-wungkuk– bersama istri, Nyai Arumsari.

Setiap hari, kerjanya mencari rebon (udang kecil) untuk membuat terasi, petis, dan garam. Dari perkawinannya dengan Nyai Arumsari, Ki Danusela mempunyai seorang anak bernama Nyai Retna Riris, kelak bernama Nyai Kencana Larang. Selanjutnya, Ki Samadullah memperistri Nyai Kencana Larang.

Dukuh Tegal Alang-Alang bertambah ramai, dan banyak warga masyarakat Pasambangan yang berpindah ke daerah itu untuk berdagang dan menangkap ikan, tidak ada yang bertani. Ki Gedeng Alang-Alang oleh penduduk pedukuhan dipilih sebagai kuwu yang pertama, sedangkan Ki Samadullah ditunjuk sebagai pangraksa bumi dengan gelar Ki Cakrabumi.

Setelah tiga tahun Ki Cakra bumi tinggal di daerah itu, nama pedukuhan berubah menjadi desa Caruban Larang karena desa tersebut tinggal berbagai bangsa dengan agama, bahasa, tabiat, dan juga pekerjaan yang berbeda.

Atas saran Syekh Datuk Kahfi, Ki Cakrabumi dan Nyai Rara Santang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Nyai Indang Geulis tidak ikut serta karena sedang mengandung. Selama di Mekkah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Datuk Kahfi dan berguru kepada Syekh Abu Yazid.

Syarif Hidayat; Cucu Prabu Siliwangi dari anaknya, Nyai Rara Santang

Di Mekkah, Nyai Rara Santang diperistri oleh Maulana Sultan Mahmud yang juga disebut Syarif Abdullah, putra Ali Nurul Alim dari bangsa Hasyim yang berasal dari Bani Ismail yang dulu berkuasa di kota Ismailiyah. Juga, membawahi Banisrail (Bani Israil) di wilayah Pilistin (Palestina). Setelah menjadi istri Maulana Sultan Mahmud, ia diberi nama Syarifah Mudaim, dan kakaknya bergelar Haji Abdullah Iman.

Pada waktu Syarifah Mudaim sedang mengandung sembilan bulan, ia pergi ke Mekah bersama kakak dan suaminya disertai para pembesar sebagai pengawal untuk menjaga keselamatan mereka, antara lain Penghulu Jamaluddin dan Patih Jamalullail; para mentri antara lain Abdul Jafar, Mustafa, Kalil, al-Huddin, dan Ahmad; sedangkan Mahapatih Ungkajutra, adik raja Maulana, tidak ikut serta karena mewakili kakaknya sebagai pemangku kerajaan dan memimpin angkatan bersenjata di Mesir.

Di Mekkah, Syarifah Mudaim melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Syarif Hidayat (Syarif Hidayatullah). Setelah kelahiran itu, mereka kembali ke Mesir.

Sementara itu, setelah hampir tiga bulan lamanya tinggal di Mekkah, Haji Abdullah Iman kembali ke Jawa. Dalam perjalanan pulang, ia singgah di Cempa dan berguru syariat Islam kepada Maulana Ibrahim Akbar atau Syekh Maulana Jatiswara.

Haji Abdullah Iman dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyai Retna Rasajati dan mempunyai tujuh orang putri: Nyai Laraskonda, Nyai Lara Sajati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Cempa, dan Nyai Rasamalasih.

Setelah Syarif Hidayat berumur dua tahun, Syarifah Mudaim melahirkan putra kedua yang diberi nama Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian, Syarif Abdullah meninggal dunia, sementara pemerintahan diwakilkan kepada Mahapatih Ungkajutra dengan gelar Raja Ongkah.

Sementara itu, di Cirebon, Haji Abdullah Iman mengajar agama Islam dan membangun Tajug Jelagrahan beserta sebuah rumah besar, tempat ia tinggal bersama istri dan putrinya, Nyai Pakungwati yang lahir ketika ayahnya mengembara.

Haji Abdullah Iman juga menikah dengan Nyai Retna Riris yang kemudian berganti nama menjadi Nyai Kencana Larang, putri Ki Gedeng Alang-alang. Dari perkawinan ini, Haji Abdullah Iman mempunyai seorang putra bernama Pangeran Cerbon yang tinggal bersama kakeknya di Cirebon Girang, dan menggantikan kakeknya sebagai kuwu Cirebon Girang.

Pangeran Caruban menikah dengan Nyi Cupluk, Putri Ki Gendeng Trusmi dan mempunyai seorang putra bernama Pangeran Trusmi yang pada masa kecilnya bernama Bung Cikal, dikenal pula dengan gelar Manggana Jati. Pada masa itu, Wilayah Cirebon menjadi daerah bawahan bupati Galuh bernama Pangeran Jayaningrat, dan senopatinya bernama Arya Kiban.

Setelah Ki Gedeng Alang-Alang wafat, kedudukannya sebagai kuwu Cirebon digantikan oleh Ki Cakrabumi dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Namun, ketika Ki Gedeng Jumajan Jati wafat, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukannya sebagai raja Singapura karena ia hanya mewarisi kekayaannya. Dengan harta kekayaan itu, dibuatlah sebuah keraton yang diberi nama Pakungwati, dan menyusun kekuatan angkatan bersenjata.

Prabu Siliwangi di Keraton Pakwan Pajajaran menyambut baik langkah yang diambil oleh putranya, Pangeran Cakrabuana. Sebagai tanda dukungan, ia mengirimkan duta kerajaan yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya desertai Raja Sengara dengan membawa panji-panji kerajaan bagi putranya.

Pada saat bersamaan, Prabu Siliwangi memberi gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana. Di Cirebon, Raja Sengara memeluk Islam dan pergi naik haji yang kemudian berganti nama menjadi Haji Mansur. Haji Mansur beristrikan Nyai Kalimah dari negeri Cempa yang datang bersama istri Pangeran Cakrabuana yang kemudian bergelar Nyai Gedeng Kalisapu.

Perjalanan Syarif Hidayatullah Belajar Agama kepada Berbagai Ulama

Syarif Hidayat tumbuh menjadi seorang pemuda yang saleh dan berhasrat menjadi guru agama Islam. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syekh Tajmuddin al-Kubri (Najmuddin al-Kubra) selama dua tahun. Setelah itu, berguru kepada Syekh Ataullahi Sajili (Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandariy Asysyadziliy), seorang penganut Imam Syafi’i, selama dua tahun.

Dari Mekkah, ia pergi ke Baghdad untuk belajar Tasawuf Rasul. Setelah menamatkan pelajarannya, ia kembali ke Mesir. Di Mesir Mahapatih Ungkajutra memberi nama Syarif Hidayat dengan nama Nurdin, dan dari para guru agama serta pembesar kerajaan ia beroleh nama Ibrahim, sedangkan para gurunya di Mekkah memberinya gelar Sayyid Kamil.

Mahapatih Ungkajutra bermaksud menyerahkan tahta kerajaan kepada Syarif Hidayat. Namun, ia sungguh-sungguh berhasrat menjadi guru agama Islam, permintaan pamannya itu ditolaknya. Ia menyarankan supaya kedudukan itu diserahkan kepada adiknya, yang ketika menjadi raja dinobatkan dengan gelar Sultan Syarif Nurullah.

Untuk melaksanakan cita-citanya, Sayyid Kamil berangkat menuju Pulau Jawa dan terlebih dahulu singgah di Gujarat (India) dan negeri Pase di Sumatera. Di Pase, ia tinggal di pondok Sayyid Ishak yang pernah menjadi guru agama di Blambangan.

Setelah dua tahun berguru kepadanya, ia berlayar menuju Pulau Jawa dan singgah di Banten yang pada waktu itu telah banyak pemeluk agama Islam berkat usaha Sayyid Rakhmat –seorang wali dari Ampel Gading yang disebut juga Susuhunan atau Sunan Ampel.

Selang beberapa waktu lamanya, Sayyid Kamil dengan menumpang perahu orang Jawa Timur, tiba di Ampel Denta. Suatu ketika, di Ampel Denta tengah berkumpul para wali di bawah pimpinan Susuhunan Ampel untuk melakukan pembagian tugas para wali dalam menyebarkan agama Islam.

Susuhunan Ampel memberi tugas kepada Sayyid Kamil untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda –yang waktu itu masih menganut ajaran Budhaprawa (Siwa-Budha) –karena ibu dan uaknya berasal dari sana. Pangeran Cakrabuana telah terlebih dahulu bertindak sebagai penyebar agama Islam selain kedudukannya sebagai penguasa Cirebon.

Dalam perjalanan ke tanah Sunda, Sayyid Kamil disertai oleh Dipati Keling yang telah menjadi penganut agama Islam beserta 98 orang pengikut. Di Cirebon, Sayyid Kamil menetap di gunung Sembung dan mendirikan pondok. Di daerah ini pula ia bergelar Maulana jati atau Syekh Jati.

Ketika Syarif Hidayat menyebarkan ajaran Islam di Babadan, ia memperistri Nyi Babadan, putri Ki Gedeng Babadan yang menjadi penganutnya. Namun, dari Nyai Babadan ia tidak memperoleh putra karena meninggal lebih dulu.

Pertalian Keluarga Syarif Hidayatullah dengan Raden Patah

Selanjutnya, ia memperistri Syarifah Baghdad, adik Maulana Abdurrahman Baghdad yang disebut Pangeran Panjunan. Bersama istrinya, Syarif Hidayat tinggal di Pasambangan. Dari perkawinan ini, Syarif Hidayat mempunyai dua orang putra, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Gung Anom. Pangeran Jayakelana menikah dengan Nyai Pembaya (Pembayun), sedangkan Pangeran Gung Anom beristrikan Ratu Nyawa, keduanya putri Raden Patah, Sultan Demak yang pertama.

Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya Kertabumi dari seorang putri Tiongkok. Dialah yang membangun kesultanan Demak yang pada awalnya adalah sebuah hutan yang ditumbuhi gelagah wangi menjadi sebuah kota yang kian lama bertambah ramai.

Ketika putri Tiongkok sedang mengandung, ia diserahkan kepada Arya Damar, bupati Palembang bawahan Majapahit. Di Palembang, putri Tiongkok itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raden Praba, sedangkan ibunya memberinya nama Jimbun.

Dari Arya Damar, putri Tiongkok melahirkan lagi seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Kusen. Setelah remaja, Raden Praba –disebut juga Raden Patah– bersama Raden Kusen –disebut juga Arya Abdillah– berangkat ke Majapahit. Di Majapahit, Raden Kusen diangkat menjadi bupati Teterung, sedangkan Raden Patah dijadikan adipati Bintaro di Demak.

Setelah meruntuhkan kerajaan Majapahit dengan dukungan para wali dan para penguasa di kota-kota pantai utara Jawa dan beberapa kota di seberang laut, oleh para wali yang dipimpin oleh Susuhunan Ampel, Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan Demak pertama dengan gelar Sultan Akbar al-Pathah selaku Amirul Mukminin di Jawa Timur. Atas dorongan para wali, ia mendirikan Masjid Agung di Demak.

Anak Keturunan Syarif Hidayatullah

Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan Jati pergi menyiarkan ajaran Islam ke Banten. Di sana, ia memperistri Nyai Kawunganten, adik Bupati Banten. Melalui perkawinan ini, bupati Banten dan sebagian para pembesar serta warga masyarakat Banten menjadi penganut agama Islam.

Dari perkawinan ini, Syarif Hidayat mempunyai dua orang anak: seorang wanita bernama Ratu Winaon dan seorang pria bernama Pangeran Sabakingkin atau Pangeran Hasanuddin. Ratu Winaon bersuamikan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut.

Oleh Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayat dikukuhkan menjadi Tumenggung Negeri Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Keputusan itu mendapat dukungan para Wali dan Sultan Demak, serta diakui oleh para penguasa di seluruh pantai utara tanah Jawa.

Para wali mengangkat Susuhunan Jati sebagai Panetep Panatagama Islam di seluruh wilayah Sunda yang berkedudukan di Cirebon. Pengangkatan itu sebagai pengganti kedudukan Syekh Nuruljati yang telah lama wafat. Susuhunan Jati menempati istana Pakungwati bersama Pangeran Cakrabuana yang berkedudukan sebagai Manggala Cirebon.

Pada masa itu, Cirebon masih merupakan bawahan Pakwan Pajajaran, yang setiap tahun berkewajiban menyerahkan terasi dan garam sebagai bulubekti. Melalui musyawarah antara Susuhunan Jati dan Pangeran Cakrabuana, Dipati Keling, dengan Ki Gedeng yang berkuasa di seluruh tanah Sunda, akhirnya Cirebon memutuskan untuk tidak lagi menyerahkan bulubekti kepada keraton Pakwan Pajajaran.

Tindakan Cirebon yang tidak lagi menyerahkan bulubekti itu mendapat tanggapan keras dari Pakwan Pajajaran. Karena itu, dikirimkanlah 60 orang pasukan untuk menindak Cirebon di bawah Komando Tumenggung Jagabaya. Namun, Tumenggung Jagabaya membelot, dan ia menjadi penganut agama Islam. Dengan demikian, tindakan menghukum Cirebon itu tidak terlaksana. Apalagi tidak berapa lama setelah peristiwa itu, Prabu Siliwangi wafat.

Pada Bagian kedua puluh Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan tentang pembunuhan Pangeran Gung Anom atau Pangeran Sedang Lautan. Pangeran Gung Anom yang menikah dengan Ratu Nyawa dari Demak tidak berputra.

Suatu ketika, ia pergi ke Cirebon melalui jalan laut. Di tengah laut, dekat pantai Gebang, perahu yang di tumpanginya diserang oleh perompak. Pangeran Gung Anom beserta beserta para pengiringnya dibinasakan, mayatnya dilempar ke laut dan terdampar di pesisir Mundu.

Pangeran Gung Anom kemudian dimakamkan di Pantai Mundu dan bergelar Pangeran Sedang Lautan. Atas perintah Susuhunan Jati, gerombolan perompak akhirnya dapat dihancurkan oleh kesatuan bersenjata bala bantuan dari Cirebon di bawah komando Ki Gedeng Bungko.

Pada Bagian kedua puluh Satu Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan tentang untaian keturunan Susuhunan Jati.

Perkawinan Susuhunan Jati dengan Nyai Tepasari, Putri Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit, beroleh dua orang putra; Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin bergelar Pangeran Pasarean. Nyai Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak kedua yang memerintah selama tiga tahun. Dari perkawinan itu, Nyai Ratu Ayu tidak berputra karena Pangeran Sabrang Lor tewas dalam pertempuran laut melawan angkatan bersenjata Portugis –saat menyerang Malaka untuk kedua kalinya.

Kemudian, Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Pase bernama Ki Fadhilah (Fatahillah) yang beristrikan Nyai Pembaya (Pembayun) –janda Pangeran Jayakelana. Dari perkawinan itu, Ratu Ayu beroleh seorang putri bernama Ratu Wanawati Raras dan seorang putra bernama Pangeran Sedang Garuda.

Adapun Pangeran Pasarean memperistri janda Pangeran Gung Anom, kakak-nya, yakni Ratu Nyawa. Dari perkawinan itu, ia berputra enam orang; Pangeran Kesatriyan yang beristrikan seorang Putri dari Tuban dan bertempat tinggal di sana; Pangeran Losari yang menjadi Panembahan Losari; Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon bergelar Pangeran Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning dan beristrikan Ratu Wanawati Raras, putri Ratu Ayu dengan Ki Fadhilah; Ratu Emas yang bersuamikan Ratu Bagus dari Banten (Pangeran Sentana Panjunan), dan Pangeran Weruju.

Perang Melawan Portugis di Sunda Kelapa dan Banten

Suatu ketika, di bangsal Pakungwati, Susuhan Jati Purba sedang berkumpul dengan para pembesar istana. Tiba-tiba datanglah Ki Fadhilah menghadap kepada Susuhunan Jati. Selaku panglima angkatan bersenjata Demak, ia diperintah oleh Sultan Demak untuk menyerang Banten dan Kalapa.

Hal itu dilakukan setelah diketahui bahwa Kerajaan Sunda mengadakan perjanjian persahabatan dengan pihak Portugis di Malaka. Kalapa dan Banten adalah dua pelabuhan utama kerajaan Sunda, bandar perdagangan antar-bangsa, yang memberi kemakmuran kepada warga masyarakat kerajaan Sunda.

Dengan restu dari Susuhunan Jati, angkatan bersenjata Demak diperkuat oleh kesatuan bersenjata Cirebon yang semuanya berjumlah 1967 orang di bawah komando panglima tertinggi Fadhilah (Fatahillah) disertai para pendamping dari Cirebon, antara lain, Pangeran Cirebon, Dipati Keling, Dipati Kuningan, dan Dipati Cang Kuang.

Tempat pertama yang dituju ialah Banten, karena selain letaknya lebih jauh ke pusat kerajan Sunda, juga di Banten telah terjadi huru-hara yang dilakukan oleh para pengikut Pangeran Sabakingkin yang telah lama bermukim di sana sebagai penyiar ajaran Islam.

Banten dapat ditundukkan pada 1526, dan Sunda Kelapa ditundukkan 1527 setelah melalui pertempuran sengit yang menewaskan Raja Sanghiyang, raja yang berkuasa di Sunda Kalapa, beserta istrinya.

Setelah Sunda Kalapa diduduki oleh angkatan bersenjata Demak dan Cirebon, datanglah kesatuan bersenjata Portugis setelah menemui musibah diserang badai di lautan. Mereka tidak mengetahui bahwa situasi di Sunda Kalapa telah berubah.

Kedatangan kesatuan bersenjata Portugis itu untuk melaksanakan isi perjanjian persahabatan yang disetujui bersama antara wakil Portugis dan Kerajaan Sunda beberapa tahun sebelumnya (1522). Lalu, pecahlah pertempuran sengit.

Pihak Portugis di bawah komando Prangko Bule telah mempergunakan meriam besar yang belum pernah dialami oleh pihak angkatan bersejata Demak dan Cirebon. Kendatipun demikian, orang Portugis dapat dihalau, dan mereka yang tersisa karena terbunuh dan luka berat melarikan diri, pulang ke Malaka.

Leluhur Syarif Hidayatullah

Pada Bagian kedua puluh tiga Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan tentang silsilah Susuhunan Jati dari pihak ayah.

Suatu ketika Susuhunan Jati sedang berkumpul di tengah bangsal di keraton Pakungwati yang dihadiri oleh para pembesar wilayah dan para wali beserta para senopati. Dalam pertemuan ini, Susuhunan Jati mengatakan bahwa isi Al-Quran itu seperti samudera luasnya, tak ada duanya di dunia ini. Hukum yang terdapat di dalamnya adalah ucapan dan gubahan Yang Mahakuasa, yang senyata-nyatanya.

Selanjutnya, Susuhunan Jati menceritakan leluhur dirinya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Ia berkata bahwa dirinya (19) adalah putra Syarif Abdullah (18), Syarif Abdullah adalah putra Ali Nurul ‘Alim (17) yang beristri putri Mesir, Ali Nurul Alim adalah putra Jamaludin (16) dari Kamboja, Jamaludin putra Amir (15), Amir putra Abdul Malik (14) dari India, Abdul Malik putra Alwi (13) dari Mesir, Alwi putra Muhamad (12), Muhamad putra Baidilah (11), Baidilah putra Ahmad (10), Ahmad putra al-Bakir (9), al-Bakir putra Idris (8), Idris putra Kasim al-Manik (7), Kasim al-Manik putra Jafar Shadiq dari Parsi (6), Jafar Shadiq putra Muhamad Bakir (5), Muhamad Bakir putra Zaenal ‘Abidin (4), Zaenal ‘Abidin putra Sayyid Husen (3), dan Sayyid Husen adalah putra Sayyidina Ali yang beristrikan Siti Fatimah az-Zahra (2) putri Nabi Muhammad SAW (1).

Pada Bagian kedua puluh empat Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan tentang silsilah Susuhunan Jati dari pihak ibu. Susuhunan Ampel Denta ayah Susuhunan Bonang yang berasal dari Cempa adalah uak Syarif Hidayat. Sedangkan Pangeran Cakrabuana adalah uak dari ibunya (Nyai Rara Santang) karena keduanya adalah putra Prabu Siliwangi.

Adapun Nyai Subang Larang (ibu Rara Santang) yang lahir pada 1404 adalah putri Patih Singapura, Ki Ageng Tapa dari istri Nyai Ratna Kranjang. Nyai Ratna Kranjang adalah putri Ki Ageng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang dukuh wilayah Wanagiri.

Pada usia 14 tahun, oleh uaknya Nyai Lara Ruda -istri Ki Dampu Awang, ia dibawa ke Malaka selama dua tahun. Ketika kembali ke pulau Jawa, ia berguru kepada Syekh Kuro di Karawang selama dua tahun. Pada 1422, Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siliwangi di Singapura yang letaknya di sebelah utara Gunung Amparan Jati.

Setahun kemudian, ia melahirkan Raden Walangsungsang (1423), Nyai Lara Santang (1426), dan Raja Sengara (1428). Pada 1440, Nyai Subang Larang meninggal di keraton Pakwan. Setahun setelah Nyai Subang Larang wafat, pada 1442, Raden Walangsungsang meninggalkan keraton Pakwan dan tinggal di Kebon Pesisir.

Istri-Istri Syarif Hidayatullah

Pada 1448, Syarif Hidayat dilahirkan di Mekkah, dan setahun kemudian (1449), lahirlah adiknya, Syarif Arifin atau Syarif Nurullah.

Pada 1470, Syarif Hidayat tiba di Cirebon, dan setahun kemudian menikah dengan Nyai Babadan di Babadan. Nyai Babadan meninggal pada 1477, dan tidak sempat mempunyai anak.

Setahun kemudian (1478), Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Pakungwati, putri uaknya.

Pada 1481, Syarif Hidayat menikah dengan Ong-Tien yang meninggal pada 1488. Dengan putri Ong-Tien ini, Syarif Hidayat mempunyai seorang putra yang meninggal ketika baru lahir di Luragung.

Pada 1475, Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Kawunganten dan berputra dua orang; Ratu Winaon (1477) yang kemudian menjadi istri Pangeran Raja Laut, dan Pangeran Sabangkingkin (1478) yang kemudian berkuasa mewakili ayahnya sebagai Sultan di Banten pada 1552 dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Lalu Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Tepasari, Putri Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit, beroleh dua orang putra; Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin bergelar Pangeran Pasarean.

Pangeran Pasarean menjadi Dipati Cirebon pada 1528 atas nama ayahnya ketika Syarif Hidayat sedang berkeliling tanah Sunda menyebarkan agama Islam. Pangeran Pasarean yang dilahirkan pada 1495 adalah putra kedua Syarif Hidayatullah dari istri Nyai Tepasari, Putri Ki Gedang Tepasan dari Majapahit. Putra pertama dari perkawinannya itu adalah seorang putri bernama Ratu Ayu yang lahir pada 1493.

Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor pada 1511, namun Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia pada 1521 dengan tidak berputra. Kemudian Ratu Ayu bersuamikan Fadhillah (Fatahillah) pada 1524. Dari perkawinan itu, Ratu Ayu mempunyai seorang putri bernama Wanawati Raras yang lahir pada 1525.

Pangeran Pasarean beristrikan Ratu Nyawa, putri Raden Patah, janda dari Pangeran Gung Anom. Dari perkawinan itu, lahirlah enam orang putra; Pangeran Kesatriyan yang lahir pada 1516, Pangeran Losari (1518), Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon, Putri Ratu Ayu; Ratu Emas, dan Pangeran Weruju.

Sumber: Dikutip dari Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, karya Pangeran Aria Cirebon, tahun 1720.

Download Ringkasan Terjemahan Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari:

About admin

Check Also

Panggil Saya Ustadz: Downgrading versus Branding

“Urgensi gelar kebesaran Islam bukanlah semata bertujuan branding, tapi sebuah dakwah yang didasari atas sense ...