Imam Ali as Teladan Sejati Umat Manusia
Derajat Suci Imam Ali as
Pada dimensi spiritual dan malakut, ada serangkaian keagungan Imam Ali as yang tentu sulit bagi kita untuk menjangkaunya dengan pemahaman kita yang terbatas. Pengetahuan kita tidak akan dapat meliput secara memadai hakikat-hakikat yang terpendam di kedalaman batin dan jatidirinya, yaitu hakikat-hakikat yang memancar dan kemudian mengalir dari lisannya yang mulia, hakikat kedekatannya dengan Allah, kekuatan zikirnya kepada Allah yang telah menata semua perilaku, tutur kata, dan segenap keadaanya. Meski begitu, kami tetap meyakini adanya hakikat tersebut, dan kami bangga dengan ini karena keberadaannya telah kami dengar dari sumber-sumber yang sudah terbukti kejujurannya.
Dari sisi lain, ada pula serangkaian keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang memang merupakan contoh dan teladan yang sudah menjadi pusat perhatian segenap masyarakat sejarah. Keutamaan ini menjadi barometer dan tolok ukur bagi manusia dalam berbuat sesuatu. Ia teladan bukan hanya bagi kelompok tertentu, bahkan bukan pula teladan di mata umat Islam saja. Amirul Mukminin memiliki daya tarik sedemikian besar di atas panggung sejarah tak lain karena keutamaan-keutamaan tersebut. Sebab itu, orang yang tidak menerima Islam atau pun tidak mempercayai kepemimpinan (imamah)-nya tetap terkesima dan kagum terhadap keagungan karakteristik Imam Ali as.
Atas dasar ini, karakteristik Imam Ali as adalah teladan bagi semua orang, terutama bagi kita yang sekarang memiliki pemerintahan Islam dan kita klaim sebagai sebuah pemerintahan Alawi. Ungkapan rasa cinta dan kagum kepada Imam Ali tak cukup dengan hanya menyebut Ali adalah Amirul Mukminin tanpa mengikuti perilaku yang telah beliau ajarkan kepada kita dengan lisan dan amal. Saya dan orang-orang seperti saya sebagai orang-orang yang duduk di pemerintahan ini, kami jelas memiliki tanggungjawab yang lebih besar, karena kami harus benar-benar meneladani Imam Ali as dan menjauhi perbuatan yang dibencinya.
Bisa jadi orang membanding-bandingkan siapa kamu dan siapa Amirul Mukminin; Kekuatan beliau, kemampuan, keimanan, kesabaran, dan kekuatan ruhaninya, sedangkan kamu siapa? Kata-kata seperti ini tentu saja benar. Kita jelas bukan apa-apa bagi Imam Ali as. Bahkan kita tidak patut mengatakan bahwa beliau lebih baik dan lebih mulia, sedangkan kita lebih rendah. Pembandingan ini jelas salah. Imam Ali berada di atas bintang yang tertinggi, sedangkan kita terperosok dalam kubangan lumpur yang kotor. Dari segi apa saja kita melihat, akan tetap terlihat betapa jauhnya jarak antara kita dan beliau. Namun begitu, kita tetap bisa memilih arah, jejak, dan tujuan yang telah ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Keseimbangan Dalam Kepribadian Imam Ali as
Dari aspek manapun kepribadian Imam Ali as dilihat pasti menyuguhkan keajaiban. Ini bukan ungkapan eksesif, melainkan ekspresi dari ketidak berdayaan seseorang yang selama bertahun-tahun menghayati riwayat hidup Amirul Mukminin Ali bin Thalib as. Ini adalah perasaan yang mengalir dari dalam lubuk batin manusia ketika tidak berdaya menyelam jauh ke dalam kepribadian agung beliau dengan hanya menggunakan media akal, pikiran, dan penalaran biasa. Beliau adalah keajaiban dari segenap sisi. Imam Ali as pada dasarnya adalah miniatur dari gurunya, Nabi Besar Muhammad saw. Sungguhpun begitu, pribadi agung Imam Ali yang terpampang di depan kita, Imam yang merasa kerdil dan hina di depan gurunya ini, ketika kita tatap dengan penalaran manusiawi maka yang terlihat ternyata adalah suatu kepribadian dengan level yang berada di atas manusia.
Salah satu poin yang menarik untuk dibicarakan menyangkut Amirul Mukminin as ialah keseimbangan dalam kepribadian Amirul Mukminin as. Dalam diri beliau terdapat berbagai karakter yang sepintas lalu tampak paradoksal atau saling bertentangan satu sama lain. Sedemikian harmonisnya karakter-karakter ini sehingga menyuguhkan nuansa keindahan yang amat sangat. Manusia sulit membayangkan karakter-karakter ini bisa berintegrasi dalam satu pribadi. Banyak sekali karakter-karakter seperti ini yang tertanam dalam diri Imam Ali as, bukan hanya satu atau dua karakter saja. Dan kita di sini hanya akan menyebut beberapa karakter saja.
Sekedar contoh, kelembutan dan kasih sayang jelas tidak singkrun dengan keteguhan dan ketegasan. Namun, dalam diri Imam Ali, kelembutan dan rasa kasih sayang tertanam sedemikian sempurna sehingga sulit untuk mencari tandingannya. Hal ini antara lain tergambar dalam kisah Imam Ali as ketika mendatangi rumah seorang janda yang memiliki seorang anak kecil. Di rumah itu beliau sudi membantu janda itu menghidupkan tungku api, membuatkan roti dan makanan. Usai itu beliau tak segan-segan menyuapi anak kecil janda itu dengan tangannya sendiri. Tak cukup dengan itu, beliau selalu mengajak anak yatim itu bercanda dan bermain agar terhibur. Beliau memanggul dan membawanya berjalan keluar sehingga anak yatim itu benar-benar terhibur.
Sedemikian penyayangnya Imam Ali as sehingga seorang tokoh besar saat itu berkata,”Aku melihat sendiri bagaimana beliau menyuapkan madu ke mulut anak-anak yatim dan fakir dengan jemari beliau sendiri sehingga aku berkata dalam hati betapa senangnya seandainya aku adalah anak yatim.” (Biharul Anwar juz 41 hal.29)
Karakter beliau juga tergambar dalam peristiwa Nahrawan. Saat itu ada sejumlah orang berniat melakukan aksi makar untuk menggulingkan pemerintahan Imam Ali as dengan berbagai macam dalih yang mengada-ada. Ketika mereka berada di hadapan Imam Ali as, beliau bernasihat kepada mereka, tetapi ternyata sia-sia. Argumentasi beliau juga tak didengar. Mediator pun didatangkan, tetapi hasilnya tetap nihil. Beliau lalu memberikan bantuan keuangan disertai janji menarik, tetapi hasilnya juga nol.
Suasana tetap panas dan berujung pada kondisi frontal. Imam Ali as lagi-lagi mencoba memberi nasihat, tetapi hasilnya masih saja nol. Di situ Imam Ali as akhirnya tak menemukan cara lain kecuali tindakan tegas, karena lawan-lawannya sudah terbukti berniat makar dan busuk. Mereka adalah kaum Khawarij. Khawarij seringkali digambarkan secara tidak tepat. Saya prihatin ketika dalam berbagai diskusi, syair, pidato, film, dan lain sebagainya, Khawarij digambarkan sebagai kelompok yang mengindahkan kesucian yang kering. Ini jelas salah. Kesucian apa yang bisa didapat dari mereka. Di zaman Imam Ali as banyak orang yang bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Kalau ingin mengetahui siapa Khawarij, maka contohnya ada di zaman kita sekarang, yaitu kelompok Munafikin Khalq. Anda tentu ingat.
Kenali Khawarij secara lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang hanya menampilkan kulit luar agama, ayat-ayat al-Quran, menghapal al-Quran dan Nahjul Balaghah. Mereka terkesan berpegang teguh pada bagian-bagian internal agama, tetapi kenyataannya menolak hakikat dan prinsip dari agama itu sendiri. Mereka fanatik pada cara ini. Mereka menyebut-nyebut nama Allah, tetapi kenyataannya mereka diperbudak oleh setan. Kelompok Munafikin juga demikian. Pada saat tertentu mengaku konsisten pada agama, tetapi ketika ada kesempatan untuk merongrong revolusi, melawan Imam Khomaini dan pemerintahan Republik Islam, mereka tak segan-segan bekerjasama dengan AS, Zionis, Saddam, dan siapa saja yang mau bekerja dan melayani ambisi mereka. Khawarij adalah manusia jenis ini.
Amirul Mukminin bertindak tegas di depan mereka, dan inilah sosok Ali as,”Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS:48:29)
Dua karakter yang berbeda telah tertuang dalam diri Imam Ali as dengan begitu indah. Sosok manusia dengan kelembutan dan kasih sayang sedemikian rupa tidak sampai hati menyaksikan nasib anak yatim sehingga berkata,”Aku tidak akan pergi sebelum aku dapat membuat anak ini tertawa.” Namun, ketika berhadapan dengan manusia-manusia pandir yang jahat dan tak segan-segan membunuh orang yang tak berdosa, beliau berdiri tegak menghadang.
Contoh lain ialah menyangkut wara’ dan pemerintahannya. Ini sungguh menakjubkan. Apa arti wara’? Wara’ ialah orang yang senantiasa menghindari segala syubhat yang menebar aroma penentangan terhadap ajaran agama. Bertolak dari sini, apa lantas arti pemerintahan? Apa mungkin orang yang berada dalam pemerintahan bisa menjadi orang yang wara’? Kita sendiri sekarang berada dalam pemerintahan, sehingga terasa penting sekali ketika karakteristik ini tertanam dalam diri seseorang. Secara umum, orang yang berada dalam pemerintahan selalu mengadapi berbagai macam persoalan. UU yang dijalankan sudah pasti membawa banyak keuntungan, tetapi bukan tak mungkin seseorang akan terjebak pada perbuatan zalim terhadap orang lain. Bagaimana seorang manusia dapat menjaga ketakwaan sedemikian rupa di depan persoalan-persoalan rumit dan tak terkirakan itu?
Sepintas lalu pemerintahan tidak akan pernah harmoni dengan ketakwaan. Tapi Amirul Mukminin ternyata dapat memadukan keduanya dengan sempurna, dan ini sungguh menakjubkan. Beliau tidak pernah terikat pada orang. Beliau dapat dengan mudah mencopot bawahannya jika memang dinilai lemah dan tidak layak. Muhammad bin Abu Bakar, anak tirinya, beliau perlakukan seperti anak sendiri dan sangat beliau cintai. Muhammad bin Abu Bakar juga memandang Imam Ali as seperti ayahnya sendiri. Muhammad adalah putera bungsu Abu Bakar dan merupakan salah satu murid dan pengikut setia Imam Ali. Dia besar di bawah asuhan Imam Ali as.
Imam Ali as pernah mengirim Muhammad ke Mesir sebagai gubernur wilayah ini. Tetapi di kemudian hari beliau melayangkan surat kepada Muhammad berisikan pernyataan sebagai berikut,”Puteraku, aku menilai kamu tidak layak menjabat di Mesir. Karena itu kamu aku tarik lagi dan aku gantikan dengan Malik al-Asytar.” Muhammad bin Abu Bakar tentu saja kecewa dengan keputusan ini. Tapi ini tidak dipedulikan oleh Imam Ali as, walaupun Muhammad adalah salah satu pribadi besar, cukup berjasa dalam Perang Jamal, antusias dalam membaiat Imam Ali, serta merupakan putera Abu Bakar dan adik Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ketokohan Muhammad bukannya tak bernilai di mata Imam Ali a, tetapi beliau tetap tidak mementingkan masalah kekecewaan Muhammad bin Abu Bakar. Inilah bentuk ketakwaan dan kewara’an dalam memerintah. Ketakwaan seperti ini sangat diperlukan bagi manusia dan penting sekali bagi mentalitas pejabat pemerintah. Imam Ali as telah memperagakan sifat wara’ ini dengan sedemikian sempurna.
Contoh lain ialah kekuatan di sisi keteraniayaannya. Pada zamannya, tak ada orang yang lebih perkasa dan pemberani di banding Imam Ali as. Sampai akhir hayatnya, tak ada satupun orang yang mengaku berani berhadapan dengan Imam Ali. Namun demikian, beliau ternyata adalah orang yang paling teraniaya pada zamannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling teraniaya sepanjang sejarah Islam. Keperkasaan dan keteraniayaan adalah dua karakter yang bertolak belakang satu sama lain. Orang kuat sepertinya mustahil akan teraniaya, tetapi beliau ternyata malah teraniaya.
Contoh berikutnya adalah kezuhudan di sisi progresifitas dan antusiasme untuk menggalang pembangunan dan kemakmuran. -Mungkin dalam kitab Nahjul Balaghah masalah zuhud adalah tema yang paling menonjol- Imam Ali as adalah sosok yang paling zuhud dan tak berminat kepada kenikmatan duniawi. Tetapi di saat yang sama, sepanjang 25 tahun kehidupannya sejak sepeninggal Rasulullah saw sampai masa pemerintahannya, Imam Ali as tak jarang mengucurkan uang pribadinya untuk menggalang kemakmuran. Beliau menggalakkan perkebunan, pertanian, dan pengairan. Ajaibnya, semua itu beliau lakukan hanya di jalan Allah Swt.
Patut diketahui, Imam Ali as pada zamannya adalah salah satu orang yang paling besar penghasilannya. Beliau sendiri pernah berkata, “Sedekahku hari ini seandainya aku bagi-bagikan kepada Bani Hasyim niscaya akan menjangkau seluruh anggotanya.” (Biharul Anwar juz 41 hal. 43).
Keadilan Imam Ali as juga sangat patut diteladani. Ketika kita mengatakan keadilan melekat pada diri Imam Ali as, maka makna awalnya yang dapat dimengerti ialah bahwa beliau menerapkan keadilan sosial di tengah masyarakat. Ini memang keadilan, tetapi keadilan yang lebih bermutu lagi ialah keseimbangan. “Langit dan bumi ditegakkan berdasarkan keadilan.” (‘Awali al-Laali juz 4 hal.103). Alam ciptaan tegak berdasarkan keseimbangan. Inilah kebenaran. Keadilan dan kebenaran pada akhir adalah satu makna dan satu hakikat. Karakteristik Imam Ali as adalah manifestasi keadilan dan keseimbangan. Dalam diri beliau, segala kebaikan telah ditata pada tempatnya masing-masing dengan begitu rapi dan indah.
Keutamaan beliau yang lain ialah keseringannya beristigfar. Doa-doa, munajat, dan istigfar beliau sangat menarik. Beliau adalah pejuang yang terbiasa dengan medan laga dan kancah politik. Hampir lima tahun beliau berkuasa atas negara-negara besar pada masa itu. Wilayah pemerintahan beliau pada masa sekarang mencakup sekitar 10 negara. Dengan wilayah teritorial sedemikian luas beliau menjalani kesibukan yang sangat padat. Beliau adalah seorang politisi besar dan handal. Saat itu, beliau pada dasarnya adalah orang yang memerintah dunia. Beliau menggerakkan roda-roda besar dalam semua lini politik, medan laga, masalah sosial, hukum dan hak masyarakat. Semua ini jelas banyak menyita waktu. Kondisi demikian dapat mencetak setiap orang menjadi manusia berdimensi tunggal. Begitu pula orang yang hanya berkecimpung dalam doa dan ibadah. Kondisi kita juga demikian. Kita berbuat sesuatu di jalan Allah. Tetapi Imam Ali as tidak berkata dan berbuat demikian. Sebaliknya, beliau adalah pekerja keras dan gigih sekaligus pengabdi Allah yang sejati. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)