Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling unik dari seluruh makhluk yang ada.
Sejak awal penciptaan, hanya manusia yang diberikan (dalam terjemahan al-Quran Kemenag RI diterjemahkan sebagai ‘diambil’) persaksian.
Penjelasan Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat al-A’raf ayat 172 dengan tegas menyebutkan bahwa persaksian (bukan kesaksian) Tuhan kepada Tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk yang dilibatkan dalam dimensi kesaksian itu.
Pada hakekatnya, Tuhanlah yang menyaksikan Diri-Nya Sendiri. Manusia dalam dimensi kemakhlukan, tak kan bisa menyaksikan Tuhan dengan mata dzahirnya.
Perlu kita telaah kata per-kata kalimat yang termaktub dalam ayat 172 Surat al-A’raf tersebut untuk mengeksplorasi makna utuhnya secara penafsiran bebas. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ ۞
Dalam teks Arab di atas, bunyi ayat tersebut sangatlah unik, karena ada beberapa kata yang tidak seharusnya diterjemahkan secara “pukul rata” yang hanya diambil makna generalnya saja.
Namun ternyata, terjemahan secara spesifik setiap kata pada ayat tersebut mengandung makna dan pemahaman “yang berbeda” dari terjemahan pada umumnya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat atas ijtihad para ulama terdahulu dalam menafsirkan ayat tersebut.
Jika diperhatikan, lawan bicara Tuhan (mukhathab) dalam ayat tersebut adalah satu orang. Mukhathab yang menunjukkan satu orang tersebut berada pada kata “Rabbuka” (Tuhanmu). Kata ganti “kamu” dalam kata “Tuhamu” (bukan Tuhan kalian) menunjukkan “lawan bicaraNya” adalah satu orang.
Meskipun yang dijelaskan Tuhan dalam kalimat selanjutnya menunjukkan kata ganti jamak, namun mukhathab-Nya hanyalah satu orang (dengan kata ganti tunggal). Seolah Tuhan sedang berdialog kepada seseorang untuk menjelaskan tentang sebuah persaksian ketika awal penciptaan Bani Adam untuk membangkitkan kesadaran lawan bicara-Nya. Di titik inilah awal keunikan ayat tersebut dari sekian banyak keunikan yang terhampar pada ayat tersebut.
Mengapa kami memilih kata “persaksian” daripada “kesaksian”? Apa perbedaan diantara keduanya?
Menurut kami, istilah persaksian lebih menunjukkan bagaimana sebuah proses kesaksian itu berlangsung. Sedangkan istilah kesaksian itu sendiri adalah kata benda pasif yang hanya menunjukkan obyek (produk) dari aktifitas bersaksi.
Sebelum kita melangkah lebih detail, coba kita telaah terlebih dahulu terjemahan ayat tersebut dari versi Kementerian Agama RI:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al-A’raf: 172)
Perlu diketahui, bahwa persaksian purba ini adalah awal penciptaan yang menentukan akhir kehidupannya. Jika akhir kehidupan seseorang berada pada kesadaran akan persaksian awal, maka ia tidak akan dikategorikan sebagaimana yang disebut dalam ayat tersebut sebagai “orang-orang yang lengah“. Artinya, ia mati dalam keadaan husnul khatimah. Jika tidak, maka ia termasuk dalam kategori orang yang lengah, sehingga mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzu billah min dzalik.
Penelahaan detail terjemahan ayat tersebut akan memiliki Rasa Ketuhanan yang berbeda jika direkonstruksi dari tatanan kalimatnya. Karena itu, maka akan didapat sebuah pemahaman yang berbeda dari terjemahan Kemenag RI di atas.
Jika disederhanakan dalam perspektif Nahwu-Sharaf, maka ayat tersebut, jika dipreteli akan berbentuk:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengambil keturunan mereka (anak-anak Adam) dan mempersaksikan kepada mereka atas diri mereka sendiri…”
Jadi, bukan “Tuhan mengambil kesaksian” (sebagaimana terjemahan Kemenag di atas), tapi mengambil keturunan mereka. Artinya, ayat ini menunjukkan sebuah proses; bagaimana cara Tuhan menciptakan keturunan Bani Adam, yakni diambil dari tulang sulbinya. Setelah Tuhan mengambil “sesuatu” dari tulang sulbi Adam, lalu Tuhan mempersaksikan “Kedudukan-Nya”. Lagi-lagi, di sini Tuhan menjadikan sebuah proses persaksian itu dengan cara memberikan hidup kepada “sesuatu” tadi sehingga ia memiliki kesadaran bahwa Tuhan berada pada dan meliputi segala sesuatu.
“Sesuatu” yang menjadi cikal bakal manusia, yang diambil dari tulang sulbi, yang kemudian diberi keberdayaan Tuhan sehingga mampu menyaksikan Tuhan, lalu diberilah ia nama sebagai “insan”, pada hakikatnya adalah “Tajalli Tuhan” dalam segala sesuatu.
Tajalli Tuhan dalam segala sesuatu dan meliputi sesuatu, telah diperlihatkan kepada sesuatu yang disebut insan, yang insan itu sendiri adalah juga sebuah Tajalli Tuhan yang unik dan berbeda dari segala sesuatu yang lain dimana Tuhan juga bertajalli. Artinya, kemampuan insan menyaksikan Tuhan di dalam segala sesuatu adalah juga bentuk Tajalli Tuhan itu sendiri. Jadi, Dia menyaksikan Dia sendiri. Ahad.
Tajalli Tuhan dalam diri insan telah diberitahukan oleh Tuhan di awal, ketika Dia mengambil “sesuatu” dari tulang sulbi, yang sesuatu itu kemudian hari disebut sebagai “dzurriyyah” (Keturunan Bani Adam). Hingga “sesuatu” itu lahir dan bertumbuh besar dengan membawa amanah kesadaran Tajalli Tuhan.
Seharusnya, kesadaran akan Tajalli Tuhan itu tetap langgeng lestari hingga akhir hayat si insan. Kelestarian Tajalli Tuhan dalam diri insan itu menjadi pedoman dan arah pandang bahwa Tuhan menyaksikan Diri-Nya Sendiri pada segala sesuatu. Manungso: Manunggaling Roso.
Terminologi “Tajalli Tuhan” dalam ayat ini dieksplorasi dari kata “Asyhadahum“, yang kami mengartikannya sebagai mempersaksikan mereka atau menjadikan mereka mampu bersaksi.
Kemampuan bersaksi dalam diri insan tak lain adalah lantaran adanya Tajalli Tuhan dalam diri insan itu sendiri. Tanpa “Asyhadahum“, maka insan tak kan pernah mampu menyadari bahwa Tuhan telah bertajalli dalam dirinya. Di titik inilah keunikan insan dari makhluk lainnya.
Nah, kesadaran insan akan Adanya Tuhan dalam dirinya, yang menjadikan hidup insan bersumber dari-Nya, penglihatan dan pendengaran insan dari Penglihatan dan Pendengaran-Nya, telah menjadikan insan menyadari dan menjawab pertanyaan Tuhan sendiri; “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” dengan jawaban; “Ya, kami telah menyaksikan”.
Jawaban insan tentang persaksiannya akan Tuhan mengimplikasikan dua kesadaran; Adanya Tuhan di dalam dirinya, penglihatannya, pendengarannya dan Adanya Tuhan di dalam segala sesuatu di luar dirinya. Tuhan di dalam dirinya dan Tuhan di dalam segala sesuatu di luar dirinya, bukanlah Tuhan yang berbeda dan terpisah. Itu mengindikasikan bahwa Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu.
Kalimat pertanyaan; “Alastu bi Rabbikum?” mengindikasikan sebuah kemanunggalan. “Alastu” diartikan sebagai “bukankah Aku ini” dan kata “bi” diartikan sebagai “dengan” yang bermakna kepenyertaan, serta “Rabbikum” yang diartikan sebagai “Tuhan kalian?”.
Kata “bi” dalam kalimat di atas memberikan pemahaman akan kepenyertaan Tuhan dengan insan. Artinya, Tajalli Tuhan dalam diri insan membawa kehendak aktif sehingga sang insan menyadari kehendak itu. Kehendak Tuhan yang disadari oleh insan karena lantaran Tajalli-Nya di dalam dirinya berimplikasi pada sebuah persaksian purba, sehingga apa yang disaksikannya adalah Tajalli Tuhan dalam segala sesuatu. Tuhan melihat Diri-Nya Sendiri.
Saudaraku terkasih, Surat al-A’raf ayat 172 ini bukanlah menunjukkan insan hidup sendiri dan Tuhan Hidup di sisi lain secara terpisah. Jika demikian halnya, maka Tuhan akan bermakna banyak. Kesaksian insan akan Tuhan bukanlah dalam perspektif kesaksian makhluk dengan mata dzahir. Apa yang terlihat oleh mata dzahir insan tetap saja penampakan makhluk.
Mata dzahir insan yang melihat segala sesuatu tidaklah memaknakan kesaksian purba. Kesaksian Purba akan muncul ketika mata dzahir insan melihat makhluk namun saat bersamaan ia menyadari Tajalli Tuhan di dalam dirinya sendiri sehingga penglihatannya juga akan digiring kepada kesadaran Tajalli Tuhan dalam obyek yang dilihatnya. Tajalli Tuhan dalam dirinya dan Tajalli Tuhan dalam obyek yang dilihatnya adalah bentuk Persaksian Purba.
Saudaraku terkasih, janganlah engkau lengah dari Kesaksian Purba. Kesaksian Purba adalah awal yang menentukan akhir usia sang insan. Kelestarian akan Kesaksian Purba hingga akhir hayat adalah kunci keselamatan insan, fid-din wad-dunia wal-akhirah.
Wallâhu A’lam.