Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah Kitab Suwasit. Kitab yang di tulis dengan menggunakan bahasa Sunda kuno di dalam selembar kulit Macan putih yang di temukan di desa Pajajar Rajagaluh Jawa Barat.
Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti mandraguna, arif dan bijaksana. Memerintah Rakyatnya di kerajaan Pakuan Pajajaran Putra Prabu Anggalarang atau Prabu dewa Niskala Raja dari kerajaan Gajah dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Keraton Galuh di Ciamis Jawa Barat.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan Singapura (sebelum bernama kota Cirebon).
Setelah Raden Pamanah Rasa dewasa dan sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh Ki Gedeng Sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk mengabdi kepada ayahandanya Prabu Angga Larang/Dewa Niskala.
Setelah itu Raden Pamanah Rasa menikahi Putri Ki gedeng Sindangkasih. Yang bernama Nyi Ambet Kasih. Ketika itu Kerajaan Gajah dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasannya. Wilayahnya terbentang luas dari Sungai Citarum Di Karawang yang berbatasan langsung dengan kerajaan Sunda, sampai sungai Cipamali berbatasan dengan Majapahit.
Silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maharaja Adimulia.
MAHA RAJA ADI MULYA / RATU GALUH AJAR SUKARESI Menikahi Dewi Naganingrum / Nyai Ujung Sekarjingga berputra:
|
PRABU CIUNG WANARA berputra:
|
SRI RATU PURBA SARI berputra:
|
PRABU LINGGA HIANG berputra:
|
PRABU LINGGA WESI berputra:
|
PRABU SUSUK TUNGGAL berputra:
|
PRABU BANYAK LARANG berputra:
|
PRABU BANYAK WANGI berputra:
|
PRABU MUNDING KAWATI / PRABU LINGGA BUANA berputra:
|
PRABU WASTU KENCANA (PRABU NISKALA WASTU KANCANA) berputra:
|
PRABU ANGGALARANG (PRABU DEWATA NISKALA) menikahi Dewi Siti Samboja / Dewi Rengganis berputra:
|
SRI BADUGA MAHA RAJA PRABU SILIHWANGI/PRABU PAMANAH RASA (1459-1521M)
Pada suatu Hari Prabu AnggaLarang Geram karena banyak dari penduduknya di Muara Jati yang beragama Hindu pindah ke agama baru yang dibawa oleh Alim Ulama dari Campa (Kamboja) bernama Syekh Quro. Agama tersebut bernama Islam. Maka di utuslah beberapa orang kepercayaannya untuk mengusir Ulama itu dari tanah Jawa.
Konon kabarnya, Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-Qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya.
Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali RA. dan Siti Fatimah putri Rasulullah SAW.
Sebelum Beliau datang ke tanah Jawa sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro pertama kali menyebarkan agama Islam di negeri Campa Kamboja, lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampailah ke Pelabuhan Muara Jati yang saat itu syahbandar di gantikan oleh Ki Gedeng Tapa karena Ki Gedeng Sindangkasih telah wafat.
Disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana ayah dari Prabu Anggalarang dan oleh masyarakat sekitar. Mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.
Sampailah para utusan itu di depan pondokkan Syekh Quro, utusan itu menyampaikan perintah dari Rajanya agar penyebaran agama Islam di Muara Jati aarus segera dihentikan. Perintah dari Raja Gajah tersebut dipatuhi oleh Syekh Quro. Namun, kepada utusan Prabu Anggalarang yang mendatangi Syekh Quro, beliau mengingatkan, meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya. Tapi kelak, dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Wali Allah.
Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro.
BerangkatLah Syekh Quro bersama Nyi Subang Larang dengan menggunakan perahu kembali ke negeri Campa Kamboja.
Sebagai seorang putra Raja beliau tidak betah tinggal diam di istana, Raden Pamanah Rasa kerap mengembara menyamar menjadi rakyat jelata dari daerah satu ke daerah lainnya, menolong yang lemah dan memberantas keangkaramurkaan. Gemar bertapa dan mencari kesaktian.
Di dalam salah satu pengembarannya, ketika beliau hendak beristirihat di Curug atau air terjun, curug itu bernama Curug Sawer yang terletak di daerah Majalengka, Raden Pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih pertempuran pun tak terelakkan.
Raden Pamanah Rasa dan Siluman Harimau Putih yang diketahui memiliki kesaktian tinggi itu pun bertarung sengit hingga setengah hari, namun kesaktian Prabu Pamanah Rasa berhasil memenangi pertarungan dan membuat siluman Harimau Putih tunduk kepadanya.
Harimau Putih itu memberi sebuah pusaka yang terbuat dari kulit Macan, dengan pusaka itu beliau bisa terbang laksana burung, menghilang tak terlihat oleh mata (ajian Halimun), berjalan secepat angin (Ajian Saepi Angin) dan bisa mendatangkan bala tentara Jin.
Harimau itupun memutuskan untuk mengabdi kepada Raden Pamanah Rasa sebagai pendamping beliau.
Dengan tunduknya Raja siluman Harimau Putih, maka meluaslah wilayah kerajaan Gajah.
Siluman Harimau Putih beserta pasukannya selanjutnya dengan setia mendampingi dan membantu Raden Pamanah Rasa. Salah satunya kala kerajaan Gajah menundukkan kerajaan-kerajaan yang memeranginya. Siluman Harimau Putih juga turut membantu Raden Pamanah Rasa saat kerajaan Pajajaran diserang oleh pasukan Mongol pada Masa kekaisaran Kubilai Khan.
Karena jasa-jasa anaknya yang begitu besar dalam kejayaan kerajaan Gajah, maka diangkatlah Raden Pamanah Rasa sebagai Raja kedua di kerajaan tersebut.
Prabu Pamanah Rasa pun selanjutnya mengubah nama kerajannya menjadi kerajaan Pajajaran. Yang berarti menjajarkan atau menggabungkan kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.
Seiring meluasnya wilayah kerajaan Gajah, Prabu Pamanah Rasa kemudian membuat senjata sakti yang pilih tanding. Beliau menyuruh Eyang Jaya Perkasa untuk membuat senjata pisau berbentuk harimau sebanyak tiga buah, dalam tiga warna, yaitu Kuning, Hitam, Putih.
Senjata pertama yang berwarna hitam, dibuat dari batu yang jatuh dari langit yang sering disebut meteor, yang dibakar dengan kesaktian Prabu Pamanah Rasa dalam membentuk besi yang diperuntukkan untuk membuat senjata tersebut. Senjata Kedua dibuat dari air api yang dingin, yang warnanya kuning dibekukan menjadi besi kuning, Senjata ketiga dari besi biasa yang direndam dalam air hujan menjadi putih berkilau. Senjata itu selesai dalam waktu tujuh hari.
Semalam penuh Pangeran Pamanah Rasa memikirkan nama untuk senjata sakti tersebut, tepat ayam berkokok ditemukan nama untuk ketiga barang tersebut, pisau pusaka itu di beri nama KUJANG (Senjata Berbentuk Harimau), dikarenakan pusaka itu ada tiga, maka kujang tersebut di beri nama KUJANG TIGA SERANGKAI, yang artinya BEDA-BEDA TAPI TETAP SAMA.
Senjata itu berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di gagangnya. Ukiran harimau di gagang Kujang konon sebagai pengingat terhadap pendamping setianya, siluman Harimau Putih. Dan pusaka itu yang kini menjadi lambang dari propinsi Jawa Barat.
Beberapa tahun kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta rombongan para santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang dan serta didalam rombongan adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.
Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum, yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai keluar masuk para pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang. Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut, Pura Dalem.
Mereka masuk Karawang sekitar 1416 M. yang mungkin dimaksud Tangjung Pura, dimana kegiatan pemerintahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem. Karena rombongan tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, sehingga aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola (1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro menyampaikan dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunya (sekarang Mesjid Agung Karawang). Dari uraiannya mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar Karawang.
Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti, Syekh Abdilah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (Sayidina Usman bin Affan).
Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama Islam di Muara Jati, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya. Untuk menutup pesantren Syekh Quro dengan paksa.
Utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di depan pesantren Raden Pamanah Rasa tertambat hatinya oleh alunan suara merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, ”Saat melantunkan Ayat-ayat Al-Qur’an,”
Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa, menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya.
Beliau pun menyampaikan keinginannya untuk mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya.
Pinangan tersebut diterima tapi, dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berdzikir. Selain itu, Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja.
Seterusnya menurut cerita, semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.
Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa kaget, ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa dengan tulus dan ikhlas mengucapkan dua Kalimah Syahadat.yang makna pengakuan pada Allah SWT, sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan, Muhammad adalah utusannya.
Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa atau Prabu Silihwangi masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu, Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama Islam yang sebenarnya.
Setelah itu Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran, untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M, pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin oleh Syekh Quro.
Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu:
- Raden Walangsungsang/Kian Santang (1423 Masehi)
- Nyi Mas Rara Santang (1426 Masehi)
- Raja Sangara (1428 Masehi).
Nama Silihwangi pun dikenal sebagai raja yang mencintai rakyatnya. Dia meminta agar pajak hasil bumi tidak memberatkan rakyat. Dia juga mengatur pemerintahan dengan cukup baik sehingga Pajajaran disegani. Kemudian Prabu Silihwangi menikahi putri Prabu Susuktunggal Raja dari kerajaan Sunda, yang bernama KENTRING MANIK MAYANG SUNDA.
Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. Pada tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Raden Pamanah Rasa atau Jaya Dewata.
Demikian pula dengan Prabu Susuktunggal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jaya Dewata).
Dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Prabu Siliwangi memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sana menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Prabu Jaya Dewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Silihwangi yang memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521).
Pada masa inilah Pakuan Pajajaran mencapai puncak perkembanganya. Gemah Ripah Loh Jinawi, daerah kekuasaanya sepertiga pulau Jawa yang terbentang luas dari Ujungkulon sampai ke dataran tinggi Dieng Jawa Tengah. Wilayah ini kala itu di sebut tataran Sunda.
Singkat cerita setelah Prabu Silihwangi di tinggal Nyi Subang Larang ke Rahmat Allah, istri yang paling di cintainya. Beliau mulai melupakan Islam yang pernah di ikrarkannya, beliau lebih memilih kembali memeluk agama yang di anut leluhurnya (Sunda Wiwitan).
Sedangkan Raden Walangsungsang yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran berkeinginan untuk berguru agama Nabi Muhammad saw. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir Walangsungsang dari istana.
Pangeran Walangsungsang lahir di keraton Pajajaran bertepatan dengan Tahun 1423 Masehi. Pada masa mudanya ia memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik, kurang lebih 17 tahun lamanya ia hidup di Istana Pajajaran.
Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama nabi kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati Cirebon.
Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama Resi Danuwarsi. Kemudian beliau pergi menuju Gunung Dihyang di Padepokan Resi Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Resi Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Kerajaan masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha.
Tapi mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang Jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih.
Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putri satu-satunya yang bernama Endang Geulis. Darinyalah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Kanjeng Sunan Gunung jati.
Begitupun Rara Santang adik Walangsungsang yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi, Rara Santang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran.
Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rara Santang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang.
Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela. Sementara itu, perjalanan Rara Santang telah sampai ke Gunung Tangkuban-Perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati.Rara Santang diberi pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rara Santang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rara Santang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi.
Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi yang juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita, yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah Rara Santang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang di nikahkan dengan Endang Geulis putri dari Resi Danuwarsi.
Sesuai dengan petunjuk Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup. Endang Geulis dan Rara Santang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.
Di bukit Ciangkup tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang Naga, Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang menenemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua.
Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran.
Atas petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi
nama baru bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.
Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh.
Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan.
Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”.
Raja Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kepada Walangsungsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pusaka.
Di dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara.
Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan Nabi Muhammad dari Zainal Abidin.
Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim dengan mengucapkan syahadat.
Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin Ampal.
Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan.
Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan sebutan Ki Cakrabumi. Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan kesaktian Golok Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya bekerja membabat hutan, pohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur mendengkur.
Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan.
Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada disana.
Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di Mekkah kemudian mereka berkenalan dengan patih dari Mesir yang sedang mencari permaisuri untuk rajanya, dari perkenalan itu akhirnya raja Mesir menikah dengan Nyi Rara Santang dengan maskawin sorban Nabi Muhammad saw, Rara Santang tinggal di Mesir bersama suaminya dan Kian Santang pulang kembali ke pulau Jawa, ketika Rara Santang sedang hamil tersiarlah kabar bahwa Raja Mesir wafat saat berkunjung ke negeri Rum di kerajaan saudaranya, kesedihan Rara Santang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan.
Rara Santang di karuniai anak kembar yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Ketika Mereka berdua dewasa, tahta kerajaan Mesir di turunkan kepada Syarif Hidayatullah tapi beliau menolaknya dan memberikanya pada adik kembarnya Syarif Arifin, Syarif Hidayatullah lebih memilih berdakwah ke pulau Jawa di tanah leluhurnya, setelah sampai di Muara Jati beliau bertemu dengan Walangsungsang, uwaknya yang telah berganti nama Pangeran Cakrabuana, kemudian di Nikahkanlah Syarif Hidayatullah dengan putri Uwaknya yang bernama Nyi Mas Pakung Wati.
Kemudian Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Waliyullah dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana sebagai Raja di keraton Pakung Wati kemudian digantikan Sunan Gunung Jati, beliau lalu mendirikan kesultanan Cirebon sebagai pusat penyebaraan agama Islam di tataran Sunda, pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai oleh Syarif Hidayatullah dengan membentuk Dewan Dakwah Sembilan Wali atau Wali Songo sebagai tokoh Ulama penyebar agama Islam di Jawa.
Dan kemudian Syarif Hidayatullah diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Ciamis), Sunda Kelapa, dan Banten.
Di kisahkan, setelah kerajaan-kerajaan kecil bawahan Pakuan Pajajaran berhasil di taklukkan oleh Kesultanan Demak dan Cirebon, dan rakyat Pajajaran hampir seluruhnya masuk Islam dan para pejabat tinggi Pajajaran kebanyakan lari ke daerah Banten yaitu daerah Badui kabupaten Rangkas dan ada yang ke Garut serta ke Cirebon.
Rakyat dan pembesar kerajaan Pajajaran yang tidak mau masuk Islam dan masih setia mengikuti ajaran terdahulunya yang masih bertahan di kerajaan Padjajaran, keadaan itu membuat Prabu Siliwangi bersedih hati, ketenangan, kedamaian dan ketentraman batinnya yang selalu bergejolak tentang iman, karena Prabu Siliwangi bersih keras mengikuti ajaran terdahulunya dan Prabu Silihwangi tidak mau mengikuti ajaran istrinya meski secara hakiki Prabu Siliwangi telah masuk Islam melalui istrinya yang kedua yaitu Nyi Subang Larang anak Ki Gedeng Tapa. Diantara istri dan putra putrinya Prabu Silihwangi merasa berdosa tidak meneruskan ajaran Islam yang pernah diikrarkannya pada sumpah perkawinannya dengan Nyi Subang Larang dengan maskawin berupa tasbih dipondok pesantren Syekh Quro di Karawang.
Prabu Siliwangi merasa malu dengan istri dan putra putrinya serta cucunya yang menjadi waliullah Sunan Gunung Jati, anak dari Rara Santang apa lagi pada waktu itu Prabu Silihwangi terkalahkan pasukan Islam dan rakyat Pajajaran hampir seluruhnya masuk Islam.
Pada suatu hari berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Gunung Jati. Yang bermaksud ingin mengajaknya kembali memeluk Islam.
Dalam hatinya, ia merasa malu kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun Pajajaran dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika itu, negara dan rakyat Pajajaran lenyap dan sirna ke alam ghaib, Pusaka Ecis itupun berubah pula menjadi rumput ligundi hitam.
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang datang kaget karena kerajaan Pajajaran beserta rakyatnya telah hilang berpindah ke alam Ghaib dan berubah menjadi hutan belantara, sebelum pergi beliau berucap “Rakyat Pajajaran yang bersembunyi di hutan seperti Harimau”
Seketika itu pula perkataan Waliullah di kabulkan oleh Allah swt. Rakyat Pajajaran selamanya akan menjadi Harimau sampai Rumput ligundi itu di Cabut.
Kegagalan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan kakeknya, Prabu Silihwangi. Membuat Pangeran Walangsungsang Harus Turun tangan mengislamkan ayahandanya, Prabu Silihwangi. Dengan ilmu Saepi Angin hanya dalam sekejap beliau melesat ke Pajajaran yang telah berubah menjadi Hutan Belantara.
Berkat kesaktian Ajian Trawangan Walangsungsang berhasil menemukan ayahandanya, Prabu Silihwangi yang menggunakan Ajian Halimun. Namun usaha Kian Santang pun sia-sia untuk merubah pendirian ayahandanya, sang Prabu tetap bersikukuh tidak mau memeluk Islam. Akhirnya sang Prabu beserta pengikutnya merubah wujud mereka menjadi Harimau sebagai bukti bulatnya tekad sang Prabu untuk tetap mengikuti Ajaran Leluhurnya.
Prabu Siliwangi pun memilih menghilang atau ngahyang di kawasan Hutan Sancang, saat terdesak oleh kejaran putra Sulungnya Pangeran Walangsungsang yang bersikeras mengajak ayahandanya untuk masuk Islam.
Kerajaan Pajajaran dan Prabu Silihwangi menghilang bukan berdasarkan perang melawan anak dan cucunya melainkan hanya semata-mata tidak ingin membanjiri darah dengan anak cucunya apa lagi Prabu Siliwangi adalah ayah yang bijaksana dan Raja yang penuh wibawa pada rakyatnya.
Sekian, apabila ada kesalahan saya mohon maaf, apabila terkandung kebaikan semata-mata karena Allah swt dan semoga bermanfaat untuk kita semua..
Hikayat ini di tulis Berdasarkan:
- Kitab Suwasit
- Babad tanah Karawang
- Naskah Martasinga
Sumber: Kisah dan Babad