Sebagian kalangan sipil masih meragukan, apakah TNI betul-betul akan menarik diri dari politik dan berkomitmen pada profesionalisme. Tetapi “menarik diri” bukanlah berarti TNI akan duduk pasif, menyikapi berbagai momen besar yang berpengaruh pada kepentingan bangsa.
Profesionalisme militer Indonesia selalu menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Pertama, karena dilihat dari berbagai kriteria obyektif, militer Indonesia belum pernah dianggap betul-betul profesional. Kedua, ada warisan sejarah pahit masa lalu di mana militer terlibat mendalam dalam politik dan kegiatan bisnis, khususnya di era Orde Baru. Hal ini membuat militer tidak fokus pada tugas utamanya, sehingga tidak mendorong mereka ke arah profesionalisme.
Keterlibatan dalam politik dan kegiatan bisnis lewat konsep Dwi Fungsi itu juga menghasilkan ekses-ekses negatif. Seperti, penguasaan jabatan-jabatan sipil di pemerintahan oleh anggota militer aktif, serta kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, yang sampai saat ini masih terus membayangi upaya peningkatan citra TNI.
Oleh sebab itu, selalu ada pertanyaan –untuk tidak mengatakan keraguan– apakah militer Indonesia bisa betul-betul profesional dengan melepaskan diri sepenuhnya dari politik dan bisnis. Apalagi akan ada momen-momen penting yang krusial bagi masa depan bangsa. Misalnya, pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014. Meskipun tidak lagi aktif berpolitik lewat penerapan konsep Dwi Fungsi seperti di era Orde Baru, mengingat sejarahnya, militer tampaknya tidak akan duduk pasif, menyaksikan momen-momen besar itu berlangsung begitu saja di depan matanya.
Dari sebagian komponen-komponen sipil, masih ada keraguan pada keseriusan atau keikhlasan TNI melepaskan diri dari keterlibatan aktif di politik, ketika bisnis militer sudah mulai dipangkas. Namun dari kalangan TNI sendiri juga ada keraguan, apakah para politisi sipil betul-betul punya komitmen dan kapabilitas untuk memimpin bangsa melewati masa-masa krusial tersebut.
Tulisan ini mencoba menyegarkan kembali pengertian tentang profesionalisme militer. Ilmuwan politik Samuel P. Huntington sering dijadikan rujukan dalam membahas profesionalisme militer. Dalam karya klasiknya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957), Huntington mengajukan teori kontrol sipil yang obyektif.
Menurut teori itu, cara paling optimal dalam menegaskan kontrol terhadap angkatan bersenjata adalah dengan memprofesionalkan mereka. Hal ini berbeda dengan kontrol subyektif, yang melibatkan pembatasan-pembatasan (restriksi) hukum dan kelembagaan terhadap otonomi militer. Dalam kontrol subyektif oleh sipil, profesionalisme militer direduksi karena adanya kooptasi terhadap militer oleh kelompok-kelompok politik sipil. Sedangkan pada kontrol obyektif oleh sipil, profesionalisme militer dapat berkembang karena militer dipisahkan jauh-jauh dari politik.
Keahlian dalam Manajemen Kekerasan
Huntington mencoba meluruskan apa yang disebutnya kesalahan konsepsi dalam memandang pikiran militer. Etika militer sebelumnya –yang oleh Huntington disebut bernuansa realisme konservatif– mengagung-agungkan kepatuhan sebagai kebajikan tertinggi bagi anggota militer. Etika militer semacam ini dengan demikian bersifat pesimistik, kolektivis, condong secara historis, berorientasi kekuasaan, nasionalistik, militeristik, pasifis, dan instrumentalis dalam memandang profesi militer. Maka Huntington mencoba mengembangkan etika militer profesional dengan memandang pada nilai-nilai dan perspektif dasar, kebijakan militer nasional, dan hubungan militer dengan negara.
Korps opsir (officer) modern adalah badan profesional, sedangkan opsir militer modern adalah seorang profesional. Profesi adalah jenis kelompok fungsional yang khas, dengan ciri-ciri spesialisasi yang tinggi. Pembuat patung, wirausahawan, atau penulis naskah iklan, semua memiliki fungsi yang berbeda, namun mereka semua tidak memiliki hakikat profesional. Ciri yang membedakan profesi dengan vokasi (pekerjaan lain biasa) adalah keahlian, rasa tanggung jawab, dan kesejawatan (corporateness).
Ciri opsir modern adalah profesional dalam arti seperti profesi dokter atau pengacara (lawyer). Profesionalisme inilah yang membedakan opsir modern sekarang dengan pejuang perang ratusan tahun lalu. Keberadaan korps opsir sebagai badan profesional memberi nuansa unik bagi problem modern hubungan sipil-militer.
Ciri profesional korps opsir modern ini sering diabaikan. Bahkan banyak anggota militer sendiri tidak begitu memahaminya. Dalam masyarakat kita: pengusaha mungkin meraup lebih banyak penghasilan uang, politisi meraih lebih banyak kekuasaan, tetapi seorang profesional meraih lebih banyak rasa hormat (respect).
Publik dan akademisi juga sering menyalah-artikan ciri “profesionalisme” pada opsir militer. Sebutan “tentara profesional” atau “prajurit profesional” telah mengaburkan perbedaan antara orang yang berkarir biasa, yang profesional dalam arti bekerja untuk sekadar memperoleh uang, dengan opsir karir yang profesional dalam arti yang sangat berbeda. Yakni, sebagai seseorang yang mengikuti “panggilan jiwa yang lebih tinggi” dalam melayani masyarakat.
Keterampilan khas seorang opsir adalah pengarahan, operasi, dan pengendalian organisasi manusia, di mana fungsi utamanya adalah pengelolaan kekerasan. Keahlian militer yang spesial ini bisa dirumuskan dalam istilah Harold Laswell, “manajemen kekerasan” (management of violence). Di dalam profesi militer ini sendiri terdapat spesialis-spesialis dalam manajemen kekerasan di darat, laut, dan udara. Sebagaimana di dalam kedokteran juga ada dokter spesialis mata, THT, jantung, dan penyakit dalam.
Keahlian seorang opsir menghadirkan suatu tanggung jawab sosial khusus terhadapnya. Jika keahlian itu digunakan hanya untuk keuntungan dirinya sendiri, itu akan merusak tatanan masyarakat. Seperti juga praktik kedokteran, masyarakat menuntut agar manajemen kekerasan digunakan semata-mata untuk tujuan-tujuan yang disetujui masyarakat. Masyarakat memiliki kepentingan umum yang bersifat langsung dan berkesinambungan dalam penggunaan keahlian ini bagi perluasan keamanan dirinya.
Perilaku opsir militer dalam hubungannya dengan masyarakat dituntun oleh kesadaran bahwa keterampilannya hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang disetujui masyarakat melalui agen politiknya: negara. Sementara tanggung jawab utama seorang dokter adalah pada pasiennya, dan tanggung jawab utama pengacara adalah pada kliennya, maka tanggung jawab utama opsir militer adalah pada negara.
Tanggung Jawab Profesional TNI
Dalam aspek tanggung jawab profesional ini, menyangkut militer Indonesia, pihak TNI sudah menerima prinsip pertanggungjawaban operasional maupun pertanggungjawaban hukum. Pertanggungjawaban ini melekat pada aturan-aturan operasi militer yang harus mengacu kepada prinsip-prinsip penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang diwujudkan dalam berbagai hukum humaniter, baik yang berlaku secara internasional maupun yang telah dirumuskan dalam hukum-hukum nasional.
Sampai taraf tertentu, perilaku opsir terhadap negara diatur lewat ketentuan eksplisit di undang-undang. Sedangkan pada taraf yang lebih besar, aturan perilaku bagi opsir militer diekspresikan dalam adat, tradisi, dan spirit berkesinambungan dari profesi tersebut.
Sementara semua profesi sampai tahapan tertentu diregulasi oleh negara, profesi militer dimonopoli oleh negara. Keterampilan seorang dokter adalah diagnosa penyakit dan perawatan, dan tanggung jawabnya adalah kesehatan pasiennya. Sedangkan keterampilan seorang opsir adalah manajemen kekerasan, sedangkan tanggung jawabnya adalah keamanan militer bagi kliennya, yaitu masyarakat. Tanggung jawab dan keterampilan inilah yang membedakan seorang militer dengan jenis-jenis profesi sosial lain.
Jelas bahwa motivasi utamanya untuk bertindak bukanlah karena insentif ekonomi. Perilakunya di dalam profesi militer ini juga tidak diatur dengan imbalan atau hukuman yang bersifat ekonomi. Seorang opsir bukanlah tentara bayaran yang mentransfer jasanya ke pihak yang membayar paling mahal. Ia juga bukan warga negara-prajurit yang terinspirasi oleh tugas dan patriotisme sesaat yang gencar, tanpa hasrat permanen dan kesediaan untuk menyempurnakan dirinya dalam manajemen kekerasan.
Motivasi seorang opsir adalah kecintaan teknis pada keterampilan kemiliteran dan rasa kewajiban sosial untuk menggunakan keterampilan ini bagi kemaslahatan masyarakat. Kombinasi dari dua hal inilah yang membentuk motivasi profesional. Di sisi lain, masyarakat hanya bisa menjamin motivasi ini apabila menawarkan pembayaran yang memadai dan berkesinambungan pada anggota militernya, baik ketika mereka masih aktif bertugas maupun ketika sudah pensiun.
Pengaruh Ideologi Terhadap Profesionalisme
Dalam konteks militer Indonesia, profesionalisme TNI menurut penjabaran resmi diukur dari tiga hal, yaitu: kompetensi, akuntabilitas, dan kesejahteraan. Kompetensi TNI adalah untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman militer bersenjata, baik dari dalam maupun dari luar.
Namun, profesionalisme militer bukan cuma dipengaruhi oleh kompetensi, akuntabilitas, dan tingkat kesejahteraan para anggotanya. Ideologi negara juga memiliki dampak terhadap profesionalisme militer. Ideologi Fasisme, misalnya. Sebagai contohnya adalah kaum profesional militer di masyarakat Jerman dan Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, di mana posisi mereka menjadi dominan sebagai militerisme.
Tidak ada negara yang memiliki pengalaman yang begitu beragam dan luas dalam hubungan sipil-militer seperti di Jerman. Hubungan sipil-militer di Jerman mengalami perubahan, mulai dari periode kerajaan, Perang Dunia I, republik, dan di bawah Nazi. Korps opsirnya mencapai standar profesionalisme yang tinggi dan tak tertandingi, dan kemudian “sepenuhnya dilacurkan” di bawah Nazisme.
Sebagai kontras, hubungan sipil-militer Jepang tetap dalam pola tunggal yang relatif stabil dari 1868 sampai 1945. Dalam periode ini, militer Jepang memainkan peran aktif yang kukuh dalam politik negara. Baik di Jerman maupun di Jepang saat itu, gangguan keseimbangan sipil-militer mencerminkan kekacauan konstitusional yang lebih mendasar. Gangguan itu ikut andil dalam merusak keamanan bangsa: mendistorsi perspektif dan penilaian dari prajurit dan negarawan.
Apapun juga, profesionalisme militer –dan dalam konteks kita, profesionalisme TNI– bukanlah produk jadi yang siap pakai dan bisa diperoleh begitu saja. Profesionalisme TNI adalah suatu proses, suatu kondisi dinamis yang harus terus diperjuangkan, baik oleh jajaran TNI sendiri maupun oleh para pemangku kepentingan lain. Berbagai tantangan konkret dalam pentas politik nasional 2014 akan menjadi batu ujian, dalam upaya kita membentuk sosok TNI yang betul-betul profesional. ***
Jakarta, 6 Agustus 2013
*Satrio Arismunandar, dosen Kwik Kian Gie School of Business, alumnus Angkatan XIII Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI