Ketika berbicara tentang perbudakan, bayangan kita akan tertuju pada perbudakan di Eropa dan Amerika pada abad lalu yang kengerian era terebut digambarkan dengan baik oleh Alex Haley seorang penulis AS dalam bukunya berjudul Roots. Pada era itu, orang-orang Eropa yang secara lahiriyah tampak beradab, memperbudak jutaan manusia karena warna kulit dan mereka memperlakukan para budak bak “ternak”. Akan tetapi perbudakan tidak terjadi seabad lalu di Eropa, sekarang pun ratusan ribu orang di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga hidup bak budak dan bahkan mereka diperjual-belikan.
Meski metode transaksi budak di era kini tidak seperti masa lalu, akan tetapi pasar budak dan esensi perdagangan manusia itu tetap sama. Perdagangan manusia merupakan salah satu jenis bisnis yang mendatangkan keuntungan paling besar di negara-negara Eropa. Laporan terbaru PBB tentang perbudakan manusia di Eropa, merefleksikan meluasnya bisnis ini di seluruh penjuru Eropa. Dalam laporan itu disebutkan dua faktor utama untuk penyelundupan dan perdagangan manusia di Eropa, yaitu penjualan diri dan kerja paksa. Para budak itu diperlakukan sama seperti ratusan tahun lalu. Mereka dibawa dari negara-negara miskin atau berkembang.
Komite Kriminal di parlemen Uni Eropa dalam laporannya menyinggung dimensi yang lebih luas fenomena perbudakan moderen di Eropa. Laporan itu menyebutkan bahwa di Uni Eropa tercatat sebanyak 880 ribu buruh yang dipekerjakan dalam kondisi seperti budak. Kondisi hidup para buruh itu sangat sulit dan banyak di antara mereka yang akhirnya melacurkan diri. Kelompok-kelompok mafia penyelundupan manusia di Eropa setiap tahunnya meraup keuntungan sebesar 25 milyar euro dari bisnis ini.
Lembaga-lembaga HAM Uni Eropa dan Dewan HAM PBB dalam berbagai laporan menekankan peningkatan angka perbudakan hingga 100 persen, akibat buruknya kondisi ekonomi, pengungsian, migrasi, rasisme sektarian dan etnis, serta ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah-masalah sosial.
Perubahan metode migrasi di dunia dan juga migrasi ilegal yang meluas menuju Eropa, telah menciptakan banyak peluang bagi kelompok-kelompok mafia penyelundup manusia. Berdasarkan data yang ada, sekitar 2,4 juta laki-laki, perempuan dan anak setiap tahunnya terjebak mafia penyelundup manusia. Dari hasil penyelidikan, sepersembilan dari total korban penyelundupan manusia di seluruh dunia antara tahun 2007-2010, adalah anak-anak.
Program pemberantasan penyelundupan manusia pada tahun 2010 diratifikasi di Majelis Umum PBB sehingga meningkatkan program dari berbagai negara untuk memberantas fenomena tersebut. Akan tetapi, program itu hingga kini gagal paling tidak untuk membatasi kejahatan penyelundupan manusia. Sebaliknya, memburuknya kondisi ekonomi global dan pengangguran jutaan orang, semakin mendongkrak bisnis perdagangan manusia. Banyak orang yang berniat mencari kerja di negara-negara maju, justru terperangkap jebakan para penyelundup manusia.
Mengingat sebagian besar mereka masuk ke negara-negara Barat secara ilegal, mereka tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti secara buta para penyelundup manusia. Para migran perempuan umumnya dijadikan sebagai pekerja seks. Adapun para lelaki dijadikan sebagai tenaga kerja dan diperdagangkan di pasar gelap tenaga kerja di berbagai sektor. Sebagian lain dijadikan korban penyelundupan organ tubuh. Ginjal, jantung dan organ tubuh manusia apa saja yang dapat dicangkok diselundupkan untuk dicangkok kepada para pasien kaya. Sayangnya, tidak ada tekad serius dari pemerintahan di negara-negara yang menjadi poros utama aktivitas penyelundupan manusia dan perbudakan tersebut.
Michelle Bachelet, mantan pemimpin UN Women dalam hal ini menyatakan, “Tidak ada kejahatan yang lebih buruk dan menjijikkan dari pada penyelundupan manusia. Meski demikian, kejahatan ini hingga kini masih menjadi salah satu tindak kriminal yang paling menguntungkan di dunia.”
Human Rights Watch juga menurunkan laporan mengkhawatirkan tentang kondisi ini dan menyebutkan, “Korupsi, xenophobia dan kekosongan menganga dalam politik yang diperlukan, membuka jalan bagi kelompok-kelompok penyelundup manusia khususnya anak-anak dan sementara muncul ‘halo keamanan’ yang melingkari para kriminal.”
Parlemen Eropa berulangkali menyatakan bahwa dalam perbudakan modern Eropa, para pemilik budak memanfaatkan mereka baik dari sisi finansial maupun seksual, atau menyewakan mereka [para budak] kepada pusat-pusat kefasadan atau kepada orang lain.
Cecilia Malmstrom, komisaris hubungan internal Uni Eropa, menyikapi data dan angka-angka yang terpublikasi tentang perbudakan modern di Eropa dan mengatakan, “Yang sudah jelas bagi kita hanya puncak dari sebuah gunung es dan data faktualnya pasti lebih banyak dari ini.
Dalam program penyelundupan manusia, Jerman merupakan negara yang memiliki kinerja paling lemah di antara negara-negara anggota Uni Eropa. Hans Peter Uhl, seorang politisi Jerman dalam hal ini mengatakan, “Sangat sulit dan bahkan nyaris mustahil di Jerman untuk menghukum seorang penyelundup manusia karena memaksa orang lain untuk melacur. Alasannya adalah berdasarkan UUD saat ini, korban yang harus membuktikan kebenaran tuduhannya.” Ditambahkannya, “Para korban dalam banyak kasus, takut untuk memberikan kesaksian di pengadilan. Dan biasanya di pengadilan, para korban pada detik-detik terakhir, menarik kembali kesaksian mereka karena ditekan.”
Para jaksa penuntut dan penyidik tindak kejahatan di Jerman bertahun-tahun mengatakan mereka tidak bisa mengumpulkan bukti yang cukup untuk menangkap dan memenjarakan para pelaku kejahatan perdagangan manusia. Di Jerman, untuk membuktikan bahwa para penyelundup manusia berniat menjerumuskan korban ke dunia pelacuran, diperlukan kesaksian dari para korban di pengadilan. Akan tetapi biasanya para korban khususnya dalam kasus pelacuran, enggan memberikan kesaksian. Alasannya, para pelaku mengancam akan membunuh korban dan keluarganya.
Terkait peningkatan angka perdagangan manusia di Eropa dan tidak adanya upaya serius untuk memberantas fenomena tersebut, Malmstrom mengatakan, “Dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam ini, hanya segelintir negara yang memperhatikan politik Uni Eropa di bidang pemberantasan perdagangan manusia.”
Sebagian korban perdagangan manusia terkadang dijual kepada para majikan yang mempekerjakan mereka untuk melakukan pekerjaan rumah majikan. Data yang ada menunjukkan, usia para korban beragam antara 6-12 tahun dan 13-25 tahun. Setiap tahun, jumlah mereka meningkat. Hanya di Inggris, dalam setahun terakhir sebanyak 1.200 perempuan telah dipaksa oleh majikannya untuk melacur.
Perilaku tidak manusiawi ini bertentangan dengan semua prinsip, nilai, keyakinan dan agama. Fenomena ini justru marak dan berkembang di negara-negara yang mengklaim sebagai pionir dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Negara-negara Eropa dengan berbagai macam alasan menolak menindak gembong-gembong penyelundup manusia. Akan tetapi, negara-negara itu pula yang akan berkoar paling keras tentang hak asasi manusia terhadap negara lain, jika kepentingan mereka menuntut demikian.
Eropa dan Barat akan menggunakan segala macam cara mulai dari metode diplomatik hingga militer hanya untuk membebaskan seorang warganya yang terjebak dalam insiden apapun di negara lain. Namun pada saat yang sama Uni Eropa menutup mata terhadap nasib jutaan manusia dari berbagai negara yang menjadi budak di Eropa.(IRIB Indonesia)
Sumber :indonesian.irib.ir