Kudeta militer akhirnya terjadi di Mesir pada 3 Juli 2013 setelah berakhirnya ultimatum yang diumumkan militer untuk presiden Mursi untuk menyelesaikan krisis politik Mesir. Presiden, bersama seluruh rombongan seniornya antara lain Amir Ikhwanul Muslimin Mohammad Badie dan wakil Muris, Khairat al-Shater, dilarang meninggalkan Mesir, ujar penasehat keamanan nasional, Essam el-Haddad, seperti dilansir Reuters. Setelah kudeta, otoritas Mesir menahan pejabat tingkat dua Ikhwanul Muslimin yang dekat dengan Muhammad Mursi, antara lain Kepala Partai Kebebasan dan Keadilan, Saad al-Katatmi yang merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin, dan wakil gerakan Islamis, Rashad Bayoumi dipenjara. Disamping itu, berdasarkan laporan media massa setempat, Al-Ahram dan Al-Arabiya, sebanyak 300 anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap. Kudeta tersebut menghasilkan “outcome” berupa kurang lebih 35 orang tewas, ratusan terluka dan ribuan menjadi pengungsi ke beberapa negara di sekitar Mesir.
Beberapa waktu sebelum kejatuhannya, Mursi menyerukan sebuah pemerintahan koalisi untuk mengatasi krisis politik. Sementara itu, partai-partai oposisi menolak untuk bernegosiasi dengan presiden dan sebaliknya menemui kepala angkatan bersenjata, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi. Para pemimpin militer bertemu dengan pemimpin oposisi utama, Mohammed El Baradai, pemimpin Kristen dan gerakan protes pemuda, Tamarod (pemberontak) yang mempelopori protes anti-Mursi. Sementara itu, Partai Kebebasan dan Keadilan, lengan Ikhwanul Muslimin, menolak untuk bertemu Sisi dan mengatakan hanya mengakui presiden terpilih.
Pasca kudeta, Kepala militer Mesir mengumumkan kepala Mahkamah Konstitusi Adly Mansour sebagai Presiden baru Mesir dan Mohammad El Baradei sebagai Perdana Menteri yang baru. Disamping itu, konstitusi yang telah diajalani pemerintahan Mursi akan dibatalkan. Pemilihan presiden dan parlemen baru akan dilakukan dimana kabinet teknokrat tetap akan berjalan selama masa transisi. Namun, pengangkatan El Baradei sebagai Perdana Menteri mendapatkan penolakan dari pemimpin Tamarod (pemberontak), An Nour.
Yasser Haddara, seorang pembantu presiden, mengatakan Mursi masih bekerja di barak Garda Republik di Kairo, namun belum jelas apakah dia bebas untuk pergi. Pesan presiden untuk pendukungnya adalah melawan kudeta militer dengan cara damai dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pemerintah Mesir, ujar Haddara.
Banyak kalangan tokoh masyarakat Mesir menyerukan agar keabsahan Presiden Muhammad Mursi dikembalikan untuk menghindari tragedi kemanusiaan yang sedang mengancam negara itu. Menurut Prof Dr Sahar Khamis, pakar komunikasi dari University of Meryland, AS, dalam diskusi interaktif di jaringan televisi Al Jazzera mengecam langkah kudeta yang dilakukan militer terhadap Mursi yang merupakan presiden terpilih dalam pemilu paling demokratis pertama di Mesir, karena akan menimbulkan prahara politik dan konflik berdarah-darah berkepanjangan. Menurut wanita berkerudung dan tidak berafiliasi dengan parpol manapun di Mesir ini, dengan alasan apapun, militer tidak boleh campur tangan dalam masalah politik. Militer itu digaji rakyat dan diberi alat perang untuk mempertahankan kedaulatan negara, bukan untuk bermain politik.
Penilaian senada diutarakan analis politik Fahmy Howeidi, kudeta militer adalah preseden buruk bagi masa depan demokrasi, dan malah sebaliknya militer Mesir telah merusak amanah konstitusi negaranya. Prof Dr Syeikh Yusuf Qardhawy, ulama kharismatik yang sangat berpengaruh di Mesir dan dunia Islam yang bermukim di Qatar, juga mengutuk sikap militer yang melengserkan Mursi. Menurut Cendekiawan berpengaruh yang kini memimpin Persatuan Ulama Islam Se-Dunia, agar militer secara legowo meminta maaf kepada rakyat dan membatalkan peta jalan militeristik serta memulihkan posisi Presiden Mursi.
Perkembangan Mesir diprediksi berbagai kalangan telah mengarah kepada terjadinya “civil war” seperti yang terjadi di Suriah. Civil war tersebut kemungkinan akan terjadi antara Ikhwanul Muslimin yang menyerukan pendukung Mursi di seantero Mesir untuk terus melawan penguasa baru Mesir dan dalam setiap unjuk rasanya selalu bertema tuntutan ‘Pengembalian Keabsahan Presiden Mursi’. Namun, sebaliknya oposisi yang nota bene kemungkinan di dukung sejumlah negara maju juga menyerukan pendukungnya agar berhimpun di Bundaran Tahrir, Kairo. Dalam beberapa kali aksi unjuk rasa kedua kubu yang berseberangan ini, selalu diwarnai dengan adanya jiwa-jiwa yang melayang.
Tidak Akan Terjadi di Indonesia
Kudeta militer Mesir terhadap Presiden Mesir di berbagai pemberitaan atau informasi yang ditulis di media sosial (medsos) telah “dipelesetkan” oleh berbagai kalangan di Indonesia untuk melakukan hal yang sama (kudeta) di Indonesia. Kelompok ini menilai kudeta di Mesir terjadi karena ada keterlibatan militer, dan militer melakukannya karena mereka peduli dengan nasib rakyat Mesir yang “tidak bahagia” dibawah kepemimpinan Mursi. Oleh karena itu, kelompok ini menilai jika militer Indonesia peduli dengan nasib rakyatnya, seharusnya memelopori kejadian seperti di Mesir.
Kudeta membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama dan yang utama adalah situasi ekonomi dan politik yang sudah amat akut. Kedua, gelombang delegitimasi terhadap pemerintah sudah begitu besar dan sulit untuk dibendung lagi. Ketiga, proses politik yang konstitusional tidak lagi dapat menyelesaikan krisis yang sedang dihadapi oleh negara tersebut. Keempat, kaum intelektual, khususnya mahasiswa sebagai kekuatan moral, sudah mulai bergerak, baik atas dasar kemauan sendiri atau pun ada kelompok-kelompok politik dan/atau militer yang menggerakkan serta melindunginya seperti yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966. Kelima, adanya penyatuan kekuatan antara kelompok intelektual, massa rakyat golongan miskin kota, kelompok-kelompok buruh, kekuatan kepentingan ekonomi dan politik, ditambah dengan kekuatan militer yang kemudian mengatasnamakan “kekuatan rakyat” atau people power.
Partai-partai politik yang ada di parlemen saat ini, kelompok sekretariat gabungan pendukung SBY-Budiono maupun PDI-P, Hanura dan Gerindra, tentunya tidak ingin sistem pemilu lima tahunan yang reguler untuk memilih anggota legislatif dan presiden terganggu oleh isu kudeta. Kudeta justru merusak sistem pemilu yang reguler ini dan menyebabkan kita melangkah mundur. Kudeta hanya akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan demokrasi, sipil maupun militer, untuk mengembalikan sistem politik menuju ke era otoriter.
Apapun yang terjadi di Mesir tidak akan terjadi di Indonesia, antara lain karena, pertama, kekuatan aparat penegak hukum, militer dan intelijen tidak akan pernah mendukung langkah kudeta kelompok manapun. Kedua, situasi ekonomi di Indonesia cukup baik, walaupun ditandai penurunan cadangan devisa. Ketiga, segala macam “perselisihan politik” masih dapat diselesaikan melalui jalan demokratis. Keempat, upaya delegitimasi terhadap pemerintah hanya dilakukan oleh “kelompok kecil dan itu-itu saja” serta gerakan “people power” hanya merupakan onani politik saja.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia.
Sumber: www.theglobal-review.com