Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Posting kali ini masih berkaitan dengan artikel yang telah diposting kemarin, berjudul “Syaitan Inderawi dan Syaitan Maknawi“. Pada artikel tersebut telah dipaparkan bahwa ada empat macam khawãthir (bisikan-bisikan) dalam diri manusia; (1) Khãthir rabbãniy, (2) Khãthir malãikatiy, (3) Khãthir nafsiy, dan (4) Khãthir syaithãniy.
Masih dari sumber kitab Al-Futûhãt Al-Makkiyyah Bab 55 karya Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi yang membahas tentang khawãthir (bisikan-bisikan) dalam diri manusia, bilkhushus tentang Khãthir syaithãniy.
Suatu ketika Iblis datang kepada Nabi Isa ‘alaihis salãm dalam bentuk fisik seorang yang sudah tua. Hal itu terjadi karena syaitan tidak mungkin bisa masuk ke dalam batin para nabi ‘alaihimus salãm dan karena khawãthir (bisikan-bisikan) yang ada di dalam diri para nabi seluruhnya bersifat rabbãniy (bisikan Tuhan), malaikatiy dan nafsiy. Karenanya, syaitan dalam kisah Nabi Isa ‘alaihis salãm ini adalah syaitan inderawi yang berasal dari bangsa jin.
Syaitan tidak bisa sedikit pun masuk ke dalam qalbu para nabi. Begitu pula dengan para wali yang keilmuannya tentang Allah SWT terjaga. Para wali juga memiliki penjagaan yang sama dengan para nabi terhadap apa yang dilontarkan syaitan, tetapi bukan penjagaan dari masuknya syaitan ke dalam diri mereka (dalam bentuk syaitan maknawi).
Para wali terpelihara melalui petunjuk yang diberi secara khusus oleh Allah SWT sehingga mereka terjaga dari apa yang dilontarkan oleh syaitan. Hal ini karena para wali bukanlah pembawa syari’at, sedangkan para nabi datang dengan membawa syari’at. Karena itu, batin para nabi selalu terjaga dengan kemaksuman.
Berkatalah Iblis kepada Nabi Isa ‘alaihis salãm, “wahai Isa, katakanlah tiada tuhan selain Allah!”. Saat itu Iblis sudah merasa puas karena Nabi Isa ‘alaihis salãm pasti akan menaatinya dengan mengatakan kalimat tersebut. Namun, apa yang diucapkan Nabi Isa ‘alaihis salãm ternyata di luar ekspektasi Iblis dengan berkata, “Aku akan mengatakannya tapi bukan berdasarkan pada perintahmu, bahwa tiada tuhan selain Allah!”. Iblis kecewa dan akhirnya pergi.
Dari perkataan tersebut dapatlah kita ambil sebuah pemahaman tentang perbedaan antara “mengetahui sesuatu” dengan “mengimani sesuatu”, dan bahwa keselamatan hanyalah terletak pada iman.
Iman adalah apa yang kau ketahui dan pernah kau katakan berdasarkan perkataan rasulmu yang pertama –misalnya Nabi Musa ‘alaihis salãm– lalu kau katakan kembali berdasarkan perkataan rasulmu yang kedua, yakni Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan pengetahuanmu sendiri atau perkataan yang pertama. Saat itu engkau akan disaksikan sebagai orang yang beriman dan tempat kembalimu adalah kebahagiaan.
Namun, jika kau tidak mengatakannya berdasarkan perkataan Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam, bahkan cenderung kau lebih menampakkan seakan-akan engkau mengatakannya berdasarkan perkataan beliau, maka engkau adalah seorang munafik. Point-nya hanyalah “…seakan-akan…”. Pahamilah kalimat tersebut.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surat An-Nisã’ [4] ayat 136, khususnya pada kalimat “Wahai orang-orang yang telah beriman…“. Kalimat tersebut Allah tujukan kepada para ahli kitab yang mengatakan apa yang mereka katakan berdasarkan perintah dari nabi mereka, baik itu Nabi Isa ataupun Nabi Musa ‘alaihimas salãm atau kepada mereka yang mengimani perkataan tersebut dari kitab-kitab terdahulu.
Karenanya, Dia berfirman kepada mereka, “Wahai orang-orang yang telah beriman…“, kemudian melanjutkan dengan kalimat, “berimanlah kepada Allah…“. Dengan kata lain, katakanlah “tiada tuhan selain Allah!” berdasarkan perkataan Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam. Bukan berdasarkan pengetahuan kalian tentang kalimat tersebut, bukan pula berdasarkan keimanan kalian kepada nabi kalian yang pertama. Maka kalian akan menghimpun dua keimanan, dan kalian akan diberi dua ganjaran.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا ۞
“Wahai orang-orang yang telah beriman, berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya (Nabi Muhammad), Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapa yang kufur kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir sungguh dia telah tersesat sangat jauh”. (QS. An-Nisã’ [4]: 136)
Syaitan sudah cukup puas dengan membuat manusia tersamar dalam hal ini, sehingga mereka tidak bisa membedakan antara apa yang datang dari sisi Allah SWT –yang benar-benar dari-Nya– (rabbãniy) dengan apa yang sampai kepadanya lewat malaikat (malãikatiy), dirinya sendiri (nafsiy) atau syaitan (syaithãniy).
Semoga Allah SWT menjadikan bagimu petunjuk yang dengannya engkau bisa mengetahui tingkatan-tingkatan khawãtir-mu, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
اَللّٰهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ الْخَوَاطِرِ النَّفْسِيَّةِ وَاحْفَظْنَا مِنَ الشَّهَوَاتِ الشَّيْطَانِيَّةِ وَطَهِّرْنَا مِنَ اْلقَاذُرَاتِ اْلبَشَرِيَّةِ وصَفِّنَا بِصَفَآءِ اْلمَحَبَّةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ، وَأَرِنَا اْلحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهٗ وَأَرِنَا اْلبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهٗ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allãhumma ajirnã minal khawãthirin nafsiyyah, wahfadzhnã minasy syahawãtisy syaithãniyyah, wa thahhirnã minal qãdzurãtil basyariyyah, wa shaffinã bishafãil mahabbatish shiddîqiyyah, wa arinal haqqa haqqan warzunat tibã’ah, wa arinal bãthila bãthilan warzuqnã ijtinãbah, yã arhamar rãhimîn
“Ya Allah, selamatkanlah kami dari bisikan-bisikan (khawãthir) diri sendiri, lindungilah kami dari syahwat-syahwat syaitaniy, sucikanlah kami dari segala kekotoran manusiawi, murnikanlah kami dengan kemurnian cinta yang tulus, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan anugerahkanlah kami kekuatan untuk mengikutinya, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan anugerahkanlah kami kekuatan untuk menjauhinya, wahai Yang Maha Penyayang dari para penyayang”. (Doa Khatam Khawajikan, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili, dalam Kitab Tanwîrul Qulûb fî Mu’ãmalati ‘Allãmil Ghuyûb)
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
___________
Sumber: Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi, Al-Futûhãt Al-Makkiyyah, dialihbahasakan oleh Harun Nur Rosyid, Al-Futûhãt Al-Makkiyyah, Risalah tentang Ma’rifah Rahasia-rahasia Sang Raja dan Kerajaan-Nya, Darul Futuhat, Sleman, Yogyakarta, tahun 2019.