Home / Agama / Kajian / Perang Masih Terus Berlanjut

Perang Masih Terus Berlanjut

”Idul Fitri disebut sebagai hari kemenangan dalam fase perang di bulan Ramadhan, namun mengapa pasca Ramadhan perang masih terus berlanjut?”.

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Ada satu kalimat di hari raya Idul Fitri yang sering muncul di berbagai media, baik perorangan maupun instansi, yakni, “minal ‘ãidîn wal-fãizîn”. Kalimat itu kemudian disambung dengan kalimat lain yang sepertinya gak nyambung-nyabung amat, yakni; “mohon maaf lahir dan bathin”.

Ucapan “minal ‘ãidîn wal-fãizîn” biasa terdengar setiap kali Idul Fitri tiba. Sudah menjadi tradisi saat Idul Fitri, umat Islam Tanah Air akan meminta maaf satu sama lain.

Mereka saling berkunjung ke tempat keluarga, kerabat, sahabat, hingga tetangga. Satu sama lain saling berjabat tangan dan mengucapkan “minal ‘ãidîn wal-fãizîn, mohon maaf lahir dan batin.”

“Minal ‘ãidîn wal-fãizîn” merupakan petikan dari bahasa Arab. ‘Ãidin berasal dari kata ‘ãidun yang artinya kembali. ‘Ãidîn merupakan bentuk ismu fãil (pelaku) yang menjadi jamak mudzakkar salim, artinya “orang-orang yang kembali”.

Sama seperti “al-ãidîn”, “al-fãizîn” juga berbentuk ismu fãil (pelaku), fãizun. Ia juga menjadi jamak mudzakkar salim sehingga menjadi “al-fãizîn” yang berarti “orang-orang yang menang”.

Pengertian “jamak mudzakkar salim” adalah bentuk kata yang menyatakan lebih dari satu dalam bentuk yang selamat dari perubahan pada struktur pokoknya dan menunjukkan arti laki-laki, disebut salim karena penanda perubahan  berupa imbuhan akhir atau sufiks sehingga disebut salim, salim berarti ‘selamat atau utuh’.

Sejarah dan asal muasal ucapan “minal ‘ãidîn wal-fãizîn”, ternyata merupakan petikan dari lantunan sya’ir pada masa Andalusia. Andalusia adalah sebuah komunitas otonomi Spanyol. Andalusia adalah wilayah otonomi paling padat penduduknya dan kedua terbesar dari 17 wilayah yang membentuk Spanyol. Ibu kotanya adalah Sevilla.

Penyair bernama Shafiyuddin al-Huli membawakan sebuah syair yang mengisahkan dendangan kaum wanita pada hari raya. Petikan dari salah satu syairnya itu terdapat kalimat “Ja’alanã minal ‘ãidîna wal fãizîna (jadikan kami dari orang-orang yang menang dan orang-orang yang beruntung).”

جَعَلَنَا مِنَ الْعَآئِدِيْنَ وَالْفَآئِزِيْنَ

Kalimat yang oleh Shafiuddin al-Huli digunakan untuk menggambarkan kaum wanita yang bersukacita pada hari raya itu sebenarnya diambil dari sejarah para pejuang Badar yang mengalami kemenangan. Perang Badar yang begitu dahsyat, antara antara umat Islam melawan Quraisy itu terjadi pada 624 Masehi atau tahun kedua hijriah.

Perang Badar sendiri terjadi pada 17 Ramadhan dan pasukan Rasulullah hanya berjumlah sedikit dibandingkan musuh. Namun berkat perlindungan dan bantuan Allah SWT, Perang Badar bisa dimenangkan oleh Rasulullah dan para pasukannya.

Kemenangan Perang Badar lantas dirayakan secara besar-besaran, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Dari kemenangan inilah, muncul ungkapan “minal ‘ãidîn wa fãizîn” yang versi lengkapnya, “Allãhummaj ‘alnã minal ‘ãidîna wal-fãizîn”.

اللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْعَآئِدِيْنَ وَالْفَآئِزِيْنَ

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (dari Perang Badar) dan mendapatkan kemenangan.”

Perang Badar merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadhan di masa awal perkembangan Islam. Untuk kaum muslimin, Ramadhan bukanlah bulan suci semata, karena di bulan ini seluruh umat Islam harus menahan diri dari rasa lapar, haus, dan juga menahan emosi.

Sepulang dari kemenangan perang Badar yang  dahsyat itu, Rasulullah SAW justru bersabda:

رَجَعْنَا مِنْ جِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى جِهَادِ الْأَكْبَرِ، قَالُوْا : وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ الْقَلْبِ . (ورواه البيهقي والخطيب)

“Kita telah berpulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang lebih besar. Lalu para sahabat bertanya; apa itu jihad besar wahai Rasulullah SAW? Lalu Rasulullah menjawab; jihad hati.” (HR. Al-Baihaqi dan al-Khatib)

Kemenangan perang Badar dirayakan oleh para sahabat selama dua hari dengan cara-cara seperti yang dilakukan orang-orang di masa jahiliyah. Keadaan itu dilihat oleh Rasulullah SAW dan mengatakan:

قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمُ الْأَضْحَى وَيَوْمُ الْفِطْرِ (أخرجه أبو داود، والنسائي، بإسناد صحيح).

“Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan Sanad Shahih)

Pertanyaannya sekarang, sejarah kata “minal ‘ãidîna wal-fãizîn” yang muncul di saat kaum muslimin mengalami kemenangan di perang Badar, dan Rasulullah SAW menyebutnya sebagai jihad kecil, lalu apakah pada jihad yang besar (di bulan Ramadhan) kaum muslimin mengalami kemenangan (juga)? Dan apakah kalimat “minal ‘ãidîna wal-fãizîn” cukup menjadi dasar untuk menyebut hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan?

Pendiri Pusat Studi Qur’an, Prof. Quraish Shihab, menyebutkan bahwa ada yang perlu diluruskan dalam menamai Idul Fitri sebagai hari kemenangan, Menurutnya ada ketidaksesuaian dalam pengartiannya.

Pasalnya, arti dari kemenangan secara umum merupakan istilah yang diberikan kepada seseorang yang berhasil dalam persaingan. “Saya bertanya kemenangan terhadap siapa ini? Siapa yang Anda lawan sehingga mengumumkan bahwa Idul Fitri itu hari kemenangan? Menang melawan nafsu Anda? Menang melawan setan? Apa benar itu?” Begitu tanya Prof. Quraish dalam podcast miliknya.

Menyebut Idul Fitri sebagai hari kemenangan, kata Prof Quraish, amatlah keliru jika selama ini penamaan tersebut merujuk dengan memahami lafadz “Fãizîn” yang berarti menang. Sebab, pada zaman Nabi, pengucapannya berupa lafadz; “Taqabbalallãhu minnã wa minkum” (semoga Allah SWT menerima (semua amal baik) dari kami dan dari kalian).

Perang yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai jihad besar, setelah pulang dari kemenangan perang badar, adalah perang melawan hawa nafsu. Namun Rasulullah SAW hanya menyebut jihãdul akbar (jihad besar) saja, tanpa menyebut kemenangan terhadap perang besar tersebut.

“Padahal perjuangan melawan nafsu, perjuangan melawan setan pertempuran itu berlanjut tidak ada hentinya kecuali setelah kita mati. Bisa jadi Anda menduga diri Anda menang padahal sebenarnya Anda sudah kalah, setan itu sangat pandai. Al-Qur’an menyebutnya memperindah yang buruk”.

وَجَدْتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُوْنَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطٰنُ اَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُوْنَۙ ۞

Wajattuhâ wa qaumahâ yasjudûna lisy-syamsi min dûnillâhi wa zayyana lahumusy-syaithânu a‘mâlahum fa shaddahum ‘anis-sabîli fa hum lâ yahtadûn

“Aku (burung Hudhud) mendapati dia dan kaumnya sedang menyembah matahari, bukan Allah. Setan telah menghiasi perbuatan-perbuatan (buruk itu agar terasa indah) bagi mereka sehingga menghalanginya dari jalan (Allah). Mereka tidak mendapat petunjuk.” (QS. An-Naml [27]: 24)

Terdapat beberapa tingkatan level setan untuk menganggu manusia. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW yang mendapat predikat maksum, kata Prof. Quraish, mengutip ayat dari surat al-A’raf, tak luput dari godaan setan sehingga Allah SWT memerintahkannya untuk meminta pertolongan agar terhindar dari godaan setan kepada-Nya.

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۞

“Jika setan benar-benar menggodamu dengan halus, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 200)

“Jadi kita belum menang ini, kita masih berjuang terus. Kenapa hari kemenangan? Kita belum menang,” tuturnya. “Jangan pernah menduga Idul Fitri itu hari kemenangan karena kalau Anda mengatakan bahwa Idul Fitri hari kemenangan, kemenangan itu menjadikan Anda berleha-leha, menjadikan Anda merasa bangga,” sambung mufassir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini.

Dia juga mengajak umat Islam untuk merenungkan kembali makna “minal ‘ãidîn wal-fãizîn” yang sebetulnya disampaikan oleh Rasulullah melalui sebuah doa berlafaz “Taqabbalallãhu minnã wa minkum” yang berarti menerima segala peribadatan pada bulan Ramadhan.

“Jadi Rasulullah itu mengajarkan kita berdoa semoga Allah menerima. Jangan pernah yakin bahwa amalan Anda sudah diterima oleh Allah. Kalau kita tidak yakin seperti itu, kita jangan yakin bahwa menang,” ujar penulis Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan ini.

Sebagaimana yang tertuang di Al-Qur’an bahwa setan itu mengalir bak darah di tubuh manusia tanpa terasa melalui perbuatan-perbuatan kecil yang tak nampak, seperti riya dan sum’ah. Maka Prof Quraish mengimbau agar senantiasa membentengi diri dengan tidak memuji diri secara berlebihan.

Ajaran Islam itu adalah kebersamaan. Walaupun umat Islam shalat sendirian, namun diajarkan tetap membaca kalimat jama’; “iyyãka na’budu wa iyyãka nasta’în”, maknanya secara bersama. “Walaupun kita shalat munfarid (sendiri). Oleh sebab itu, dalam lafaz Taqabbalallãhu terdapat minnã wa minkum (dari kami dan dari kalian), bukan minnî wa minka (dari aku dan dari kamu),” terangnya.

Sama halnya dengan lafaz “minal ‘ãidîn wal-fãizîn” yang berupa doa, Prof Quraish menyebutkan bahwa ada sekitar 20 kali kata fauz (menang) diulangi dalam Al- Qur’an. Semuanya memiliki arti pengampunan dosa dan masuk ke dalam surga. Dari sini dapat dikatakan bahwa dari awal terdapat kesalah-pahaman masyarakat dalam mengartikan “fãizîn” dengan hari kemenangan.

“Hanya sekali dalam Al-Qur’an ada kata fauz yang berbentuk ‘saya’, itu afûzu dan itu diucapkan oleh orang munafik. Dia tidak terlibat dalam perang tiba-tiba kaum Muslimin menang membawa harta rampasan yang banyak. Terus dia katakan seandainya saya ikut orang Muslim berperang niscaya saya akan memperoleh fauz (kemenangan) yang besar,” jelas Prof Quraish.

Berikut video yang diambil dari M. Quraish Shihab Podcast:

____________

Source: Dari berbagai sumber

About admin

Check Also

Maqamat Orang yang Berpuasa

”Sulthanul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani membagi puasa menjadi tiga tingkatan; Puasa Syari’at, Puasa Thariqat ...