“Masalah agama itu terlalu kompleks dan kontroversial ,” tulis Stewart M Hoover dalam Religion in the News: Faith and Journalism in American Public Discourse, tiga belas tahun silam.
Dalam karya berisi kajian dan analisisnya mengenai liputan-liputan agama di media massa di Amerika berikut respon para pembaca terhadap liputan tersebut, Hoover juga menyebut empat kesulitan lain. Pertama, tren sekularisasi yang membuat liputan agama di media-media massa susut. Kedua, agama seringkali dianggap urusan pribadi (private). Ketiga, perkara agama juga sering berada di luar wilayah data empiris. Keempat, prinsip pemisahan agama-negara di Amerika mendesak agama agar selalu dipisahkan dari kehidupan publik masyarakatnya.
Catatan penting profesor kajian media di Sekolah Jurnalisme dan Komunikasi Massa Universitas Colorado, Amerika Serikat, ini tampaknya masih relevan dengan apa yang dihadapi para jurnalis dan lembaga media massa Indonesia dalam menyuguhkan liputan keagamaan dewasa ini, khususnya terkait kasus-kasus aliran terduga sesat.
Dalam tiga tahun terakhir, isu aliran terduga sesat ini yang paling banyak mencuat. Survei Center for Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di 10 provinsi pada 2010 menyebutnya sebagai yang terpopuler dibanding dua isu politik keislaman lain: negara Islam dan syariat Islam. Jumlah responden yang terpapar isu aliran terduga sesat melalui media itu jumlahnya mencapai 65 persen. Hasil laporan lembaga-lembaga pemantau kasus-kasus keagamaan seperti the Wahid Institute, Jakarta, memperkuat temuan itu.
Kompleksitas dan kontroversi liputan agama seperti disebut Hoover sesungguhnya terkait erat dengan makna agama dan bahasa keagamaan itu sendiri. Bagi para pemeluknya, agama dan bahasa-bahasa yang diproduksinya, tak hanya bermakna duniawi, tapi juga transendental, berhubungan dengan kehidupan setelah kematian, dan karenanya subyektif. Ia terkait dengan sesuatu yang suci (the holy).
Bagi orang seperti Rudolf Otto, ide “yang suci” itu menempati posisi sentral dalam tradisi agama. “Tak ada agama ketika yang suci tak hidup sebagai inti paling dalam yang sesungguhnya dan tanpa yang suci tak ada agama yang layak diberi nama agama,” kata teolog Protestan dan pakar perbandingan agama terkemuka asal Jerman ini dalam The Idea of The Holy (1985).
Karena itu pemilihan diksi bahasa keagamaan yang digunakan jurnalis dan media menyimpan bobot makna semacam itu, yang jika tak sensitif dan hati-hati penggunaannya akan memberi dampak negatif bagi pembaca.
Saya masih ingat, debat mengenai istilah-istilah keagamaan ini muncul dalam sidang uji materi PNPS 1965 tentang Penodaan Agama tahun lalu –sesuatu yang menggambarkan betapa piihan kata dan istilah agama bukan perkara ringan. Sejumlah saksi ahli di sidang tersebut mengkritik penggunaan kata “sesat”, “menyimpang”, atau “penodaan”. Salah satunya Prof Frans Magnis Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsaat (STF) Drikarya. Dengan argumen negara netral atas agama dan keyakinan warganya, negara dinilai tak patut menggunakan kata “sesat” dan “menyimpang”. Pilihan kata yang cukup etis dan netral bagi Romo Magnis adalah “berbeda”.
Sejumlah kasus yang didata WI pada 2010, misalnya, juga mengindikasikan bahwa ketakhati-hatian media dalam memilih diksi dan keberimbangan dalam penyajian liputan memicu aksi-aksi kekerasan masyarakat terhadap mereka yang dituding sesat. Sering pula, liputan-liputan media itu menjadi bahan dalam proses kriminalisasi keyakinan mereka di pengadilan.
Dalam beberapa kasus, sejumlah media nasional dan lokal saya lihat agak gegabah saat membuat judul dan cara menyajikan liputannya. Pertengahan Oktober lalu, sebuah media lokal di Jawa Timur menurunkan berita: “Ajaran Padepokan Diduga Menyimpang”. Isinya seutar dugaan kesesatan Padepokan Den Bagus di Dusun Tetelan, Desa Kandang Tepus, Kecamatan senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Sumber yang dikutip, seorang pejabat militer tingkat desa dan seorang pejabat perhutani di wilayah tersebut. Anehnya, suara yang diduga menyimpang itu tak muncul dalam berita.
Ada lagi judul seperti ini untuk kasus terduga sesat di daerah lain: “Sesat Tokoh Adat Gelar Gundem Bahas Dugaan Aliran sesat” atau “Markas Kelompok Aliran Sesat di Klaten Ditutup Massa”. Dalam dua berita ini, tak dimuat pula suara mereka yang dituding sesat.
Ada sejumlah problem membaca judul dan isi liputan semacam itu. Pertama, penggunaan kata “aliran sesat” mengandaikan sikap sudah jatuh vonis terhadap keyakinan pihak yang dituding. Di sini patut dajukan pertanyaan berikut: dengan cara semacam itu, tidakkah media justru menjadi hakim yang ikut memvonis keyakinan seseorang? Benarkan mereka sesat? Apa kriteria seseorang atau ajaran tertentu dianggap sesat dan tidak? Siapa yang berwenang? Karena itupula saya setuju mereka yang dituding dan diberitakan sesat mengajukan protes atau klarifikasi baik kepada media maupun pihak-pihakpenuduh seperti dilakukan Akhmad Nurhuda, Pembina Padepokan Den Bagus.
Dengan sikap yang agak gegabah tadi, para jurnalis itu mengabaikan prinsip kedisiplinan dalam verifikasi informasi dan fakta-fakta. Kedisipilinan itu selanjutnya dapat dioperasionalkan dalam proses penyuntingan secara skeptis, memeriksa keakurasian data, dan tak berasumsi. Ringkasnya, jurnalis idealnya tak mudah percaya begitu saja dengan informasi yang didapat, termasuk dalam isu-isu keagamaan. Dalam The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel –keduanya mantan wartawan dan kini menjadi ahli media– mendudukan prinsip disiplin dalam verifikasi itu sebagai elemen ketiga jurnalisme.
Kedua, judul dan liputan semacam di atas dapat mencerminkan problem bias keagamaan atau tafsir mayoritas keagamaan yang diikuti jurnalis. Mereka memiliki latar belakang identitas keagamaan tertentudan kemungkinan dapat terjebak dalam bias di dalamnya. Dugaan ini cukup berdasar dengan hasil survei The International Journal of Press/Politics terhadap ratusan jurnalis Indonesia di 16 provinsi di Indonesia yang dirilis tahun 2010 dengan judul “The Mission of Indonesian Journalism: Balancing Democracy, Development, and Islamic Values”.
Saat ditanya identitas,39,7 persen jurnalis menyebut muslim. Mereka yang menyebut sebagai orang Indonesia 40,3 persen dan 11,7 persen sebagai jurnalis. Dalam isu-isu keagamaan, 63,5 persen jurnalis setuju fatwa MUI, 63,0 persen setuju pelarangan majalah Playboy, 63,1 persen setuju RUU Pornogifari, 64,3 persen setuju Ahmadiyah dilarang, 41,4 persen setuju pengguaan jilbab, dan 37,6 persen setuju syariat Islam.Dalam potret semacam itu, sejumlah pihak menilai sebagian besar jurnalis tak berpihak pada nilai-nilai pluralitas.
Ketiga, sikap tak memberi ruang dan suara terhadap mereka yang dituding sesat di atas jelas bersebarangan dengan peran media sebagaimana ditegaskan UU Pers No. 40 Tahun 1999, di antaranya untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Kode Etik Jurnalistik yang disepakati 29 asosiasi wartawan, menyebut pula sejumlah prinsip yang mesti dikedepankan: independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Ke depan, tantangan-tantangan semacam ini masih akan terus dihadapi media massa Indonesia. Kualitasnya masih akan ditentukan oleh sejaumana prinsip-prinsip peliputan dan peran ideal media sebagaimana dibincangkan di atas terus dikedepankan dan ditingkatkan. Dengan pemenuhan prinsip-prinsip tersebut, kita optimis media akan menjadi kekuatan penting memperkokoh demokrasi, toleransi, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. Bukan sebaliknya.[]
Sumber: pelitaonline.com