“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang tanpa pengakuan dan penyematan dari orang lain yang lebih berkompeten semisal gurunya sendiri”.
Oleh: Nur Hasan*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Istilah-istilah seperti ulama, imam, syekh, dan kiai merupakan istilah untuk orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi dalam bidang ilmu agama Islam. Begitu pula ustadz, istilah ini tidak bisa disematkan kepada sembarang orang sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.
‘Ustadz’ merupakan bahasa serapan yang asal mulanya dari bahasa Persia. Kemudian diserap ke dalam bahasa Arab. Ustadz memiliki arti “pengajar” atau orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan mengajarkannya.
Ustadz juga mencakup posisi mudarris (pengajar), mu’allim (orang yang mentransformasikan ilmu, membuat orang yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu), dan juga sebagai muaddib (orang yang mengajarkan etika dan moral) sehingga orang menjadi berakhlak mulia. Selain itu juga mancakup posisi seorang murabbi (guru spiritual).
Namun dalam tradisi yang ada di Timur Tengah, Sudan misalnya, gelar ustadz disematkan kepada mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di universitas (jami’ah). Gelar ini biasanya hampir setara dengan profesor atau guru besar. Misalnya, al-Ustãdz al-Duktûr Fulãn bin Fulãn, artinya Prof. Dr. Fulan bin Fulan.
Dengan demikian, tidak pantas disebut ustadz jika belum menguasai sebuah ilmu beserta perangkat-perangkatnya, apalagi dalam bidang ilmu agama Islam. Ustadz ini merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di negara-negara Timur Tengah dan Arab, jadi bukan hanya sekadar guru biasa.
Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang mempunyai kekayaan bahasa yang luar biasa. Ustadz biasanya disematkan kepada siapapun yang mengajarkan ilmu keagamaan, misalkan pengajar ngaji di mushalla, pengajar ngaji baca tulis Al-Qur’an di TPQ, dan pengajar di sekolah agama, atau mereka yang mengajarkan agama pada khalayak umum.
Bahkan, akhir-akhir ini gelar ustadz pun disematkan oleh banyak media kepada para penceramah. Padahal penguasaan mereka dalam bidang agama jauh di bawah standar.
Ini terjadi tidak lain karena adanya pengikisan terhadap makna asli dari istilah tersebut. Walaupun tidak terlalu bermasalah, tetapi setidaknya kita harus berlatih untuk memaknai suatu kata ataupun istilah berdasarkan makna aslinya agar tidak mudah tertipu atau salah dalam belajar agama.
Jadi, ustadz bisa disematkan kepada seseorang melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi hanya sekadar ikut audisi di layar televisi. Jago ceramah pun belum tentu bisa dikategorikan sebagai seorang ustadz, kiai, apalagi imam ataupun ulama.
Oleh karena itu, setiap kata memiliki tempat sesuai dengan maknanya masing-masing, termasuk sebuah gelar. Apalagi itu gelar yang bersifat sakral dalam Islam.
Karena gelar-gelar tersebut dalam agama Islam bersifat spiritual, maka akan berakibat pula pada tanggung jawab spiritual. Tanggung jawab spiritual tidaklah main-main. Karena jika tidak memiliki kompetensi spiritual terhadap gelar-gelar tersebut, itu artinya mengandung kedustaan spiritual.
Jika dahulu ada Nabi yang diangkat oleh Allah SWT, maka ada ‘nabi’ yang tidak diangkat oleh Allah SWT, alias nabi palsu. Nabi palsu adalah salah satu klaim diri sendiri yang berasal dari jenis penyakit hati. Ia bukan berasal dari citarasa spiritual (dari Allah SWT), tapi dari motivasi yang hanya bertujuan tertentu yang selain Allah SWT.
Nabi palsu adalah nabi yang muncul atas klaimnya sendiri sebagai nabi. Ia berbicara atas nama kenabian palsu, ayat-ayat palsu, dan prilaku-prilaku baik yang palsu. Jika seperti itu keadaannya, bukan malah mendapat Cahaya Allah, tapi malah mendatangkan kegelapan akut yang semakin lama semakin menjerumuskannya ke lembah kesesatan. Na’ûdzu billãh min dzãlik.
Semoga Allah SWT melindungi kita dari penyakit-penyakit tersebut dan dijauhkan dari golongan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةًۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ۞ رَبَّنَآ اِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَࣖ ۞
Rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba‘da idz hadaitanâ wa hab lanâ mil ladungka raḫmah, innaka antal-wahhâb. Rabbanâ innaka jâmi‘un-nâsi liyaumil lâ raiba fîh, innallâha lâ yukhliful-mî‘âd
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari hadirat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 8-9) Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
____________
* Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.
Source: Alif.Id