Home / Agama / Kajian / Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 1)

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 1)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang tanpa pengakuan dan penyematan dari orang lain yang lebih berkompeten semisal gurunya sendiri”.

Oleh: Nur Hasan*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sejak awal perkembangannya, Islam telah memiliki semacam atribut untuk mereka yang berdakwah mengajarkan agama kepada masyarakat. Atribut atau gelar tersebut di antaranya ulama, imam, dan syekh, yang tidak asal disematkan pada sembarang orang. Hanya kepada orang-orang yang kredibel gelar itu patut disematkan. Ada juga atribut lain seperti  ustadz. Adapun kiai merupakan gelar khas Nusantara.

Polemik yang terjadi akhir-akhir ini adalah tentang begitu mudahnya seseorang mendapat gelar kiai atau ustadz, bahkan ulama atau imam, bahkan hanya bermodalkan ceramah dengan menyampaikan satu atau dua ayat kepada jamaah awam. Mengenai kedalaman penguasaan agama, agaknya kita masih patut untuk mempertanyakannya. Mereka inilah yang justru kerap mendapatkan gelar kiai, ustadz, ulama, imam atau syekh.

Bagaimana sebetulnya kriteria seseorang itu pantas disebut sebagai orang yang kompeten dalam mengajarkan agama untuk khalayak umum? Bahkan ia pantas untuk menyandang gelar-gelar mulia tersebut?

Banyaknya gelar untuk orang yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat mengakibatkan adanya tumpang tindih antara gelar satu dengan lainnya. Ulama besar hanya disapa ustadz, misalnya. Namun, hal itu tidak terlalu membahayakan, dan bahkan ulama besar justru tidak pernah meminta untuk disapa demikian. Kesalahan yang fatal sebenarnya adalah jika sesuatu ilmu diajarkan oleh seseorang yang bukan ahlinya, terlebih lagi masalah agama.

Ulama adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu dalam fikih, istilah ulama mempunyai pengertian yang sangat spesifik sekali. Sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarangan orang. Paling tidak, seorang ulama harus menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Al-Qur’an, Hadits, fiqih, ushul fiqh, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Al-Qur’an dan sunnah. Juga mengerti masalah dalil nasikh mansukh, dalil ‘amm dan khash, dalil mujmal dan mubayyan dan lainnya.

Kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmunya. Seperti masalah nahwu, sharf, balaghah, bayan, dan lainnya. Ditambah dengan satu lagi yaitu ilmu mantiq atau ilmu logika ilmiah yang juga sangat penting.

Hal yang tidak kalah penting adalah pengetahuan dan wawasan dalam masalah syari’ah, misalnya mengetahui fikih-fikih yang sudah berkembang dalam berbagai mazhab yang ada, dan sejarah-sejarah ilmu lainnya. Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar mampu mengistimbath hukum dari Al-Qur’an dan Hadits.

Oleh karena itu, tidak asal sembarangan disematkan pada siapapun. Karena seorang ulama haruslah orang yang dijadikan teladan dan pertimbangan dalam berbagai hal, seperti dalam bidang aqidah maupun dalam fikih, dan bidang-bidang lainnya. Maka mengikuti para ulama adalah kewajiban, karena ulama adalah pewaris para nabi. Mengikuti para ulama sama dengan mengikuti Al-Qur’an dan Hadits.

Selain ulama ada juga istilah imam, yang biasanya disematkan pada orang yang berada pada garis paling depan. Seperti pemimpin sebuah kelompok, maka kita sering menemui nama-nama imam besar dalam Islam. Misalkan imam mazhab empat (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hanbali). Ada juga Imam Ghazali dan lain sebagainya.

Lalu apa kriteria seseorang bisa dianggap sebagai imam? Pembahasan tentang imam dalam Islam luas sekali, tetapi secara singkat imam bisa diartikan sebagai sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. Di kalangan kelompok Sunni, istilah imam merupakan sinonim dari istilah khalifah. Dan di dalam berbagai keadaan, istilah imam juga bisa berarti pemimpin shalat berjama’ah, dan istilah imam juga bisa digunakan untuk gelar para ilmuwan agama Islam terkenal, sebagaimana disebut di atas.

Dalam kitab Muqaddimah Ibn Khaldun, dipaparkan bahwa tidak ada perbedaan antara imam dan khalifah, dan keduanya memiliki satu makna yaitu pelanjut dari pemilik syari’at dalam menjaga agama dan kebijakan dunia. Akan tetapi secara umum bisa dikatakan bahwa kedudukan imam, sebagaimana yang disimpulkan dalam Al-Qur’an dan berbagai riwayat, merupakan sebuah kedudukan yang lebih tinggi dan mulia. Bahkan juga lebih tinggi dari nabi serta risalah.

Istilah imam secara leksikal adalah pemimpin, akan tetapi dalam istilah ilmu kalam, para mutakallim (ahli kalam) memaknai imam adalah pemimpin umum masyarakat dalam persoalan-persoalan agama dan dunia.

Karena itu, imam adalah pemimpin yang perilaku dan tindak tanduknya menjadi teladan untuk yang lainnya. Karena imam adalah seseorang yang bertanggung jawab dan memegang kepemimpinan manusia dari seluruh kehidupan agama dan dunia.

Bahkan di dalam Al-Qur’an kata imam memiliki makna yang sangat luas, dimana banyak para nabi berada di bawah lingkungannya. Bahkan Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri adalah imamnya para imam, karena beliau memiliki maqam tertinggi dan memegang kedudukan kepemimpinan. Kepemimpinan beliau juga memiliki orisinalitas yang khas.

Lalu, pantaskah seseorang menyebut diri sebagai imam, apalagi imam besar dalam Islam, namun perilakunya tidak bisa dijadikan teladan? Imam adalah maqam atau posisi mulia yang mungkin hanya bisa dicapai oleh ulama-ulama besar pada zaman terdahulu.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

____________

* Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Source: Alif.Id

About admin

Check Also

Hati yang Mati

“Salah satu kematian hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan ibadah yang terlewat dan tidak ...