Home / Agama / Kajian / Pentingnya Ijazah dalam Ilmu Hikmah dan Tarekat

Pentingnya Ijazah dalam Ilmu Hikmah dan Tarekat

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang terkasih, ketahuilah bahwa ijazah wirid, dzikir, ratib, hizib, dst., adalah sebuah proses memperkuat hubungan ruh murid atau pengamalnya dengan pemilik do’a yang disambungkan oleh guru hingga kepada Rasulullah SAW.

Dalam proses pengijazahan, ada ijab-qabul yang mengikat tali bathin antara guru dengan murid melalui hikmah dan ruhaniyat yang terkandung di dalam kalimat-kalimat dan huruf-huruf pada dzikir dan wirid yang diijazahkan itu.

Prolog

Ijazah adalah sebuah izin (dengan ridha tentunya) untuk mengamalkan sesuatu dan menyambungkan keberkahan kepada yang punya do’a (penulis atau pengarang do’a atau wirid). Meskipun kita tak menjumpainya secara langsung, namun tali batin akan bersambung lewat pemberi ijazah (guru) kepada pemilik (penulis atau pengarang) do’a yang darinya kemudian bersambung kepada Rasulullah SAW hingga berpuncak kepada Allah SWT. Ketersambungan itulah yang dinamakan “sanad”.

Boleh saja membaca atau mengamalkan tanpa harus lewat pengijazahan karena ia adalah do’a. Siapapun boleh berdo’a dan boleh mengikuti cara do’a orang lain tanpa perlu minta izin dulu darinya. Namun, tersambungnya bathin si pengamal dengan pemilik do’a akan lebih mudah dicapai dengan pengijazahan. Hal ini disebabkan bahwa pada setiap lafadz (teks) do’a memiliki unsur-unsur (kandungan) bathiniyah. Jika diamalkan melalui pengijazahan, maka akan lebih afdhal.

Tak ada syarat wajib untuk membaca atau mengamalkan wirid atau do’a harus berjumlah sekian ribu kali (kecuali ditentukan oleh guru). Namun pada prinsipnya, karena ia bukan perintah Allah SWT, maka ia tidak dihukumkan wajib. Sisi wajibnya berada pada ta’dzim, takhdim, dan ta’adduban kepada guru yang segala perintahnya harus dita’ati dan dipatuhi oleh murid. Dari kepatuhan murid kepada gurunya tersebut, kandungan bathiniyah sebuah wirid, dzikir atau do’a akan mengalir dan terhubung dari murid kepada Rasulullah SAW., dan tentunya maqbul ‘inda Allah.

Ijazah bagi kalangan ahlul hikmah dan ahluth thariqah berbeda pengertiannya dengan ijazah bagi kalangan pelajar di sekolah atau universitas. Ijazah yang dimaksud di sini adalah perkenanan untuk membaca atau mengamalkan suatu amalan, wirid, dzikir, do’a, ratib, hizib, dll dengan tata cara yang telah ditentukan oleh guru atau pemberi ijazah.

Ada 3 macam jenis ijazah:

1. Ijazah ‘Ammah (umum)
2. Ijazah Khashshah (khusus)
3. Ijazah Ghaibiyah (khushushil khushush).

1. Ijazah ‘Ammah (umum)

Ijazah jenis ini sangat mudah dijumpai. Seseorang dapat mengamalkan wirid atau do’a yang sudah masyhur dan tertulis di dalam Kitab-Kitab yang dikarang oleh para Syaikh. Dengan catatan, si pengarang Kitab telah menyatakan bahwa wirid atau do’a yang ditulis tersebut boleh diamalkan oleh siapapun. Jika tidak, si pengarang Kitab akan mempersyaratkan pengamalan melalui bimbingan guru, maka syarat tersebut telah menjadikan wirid atau do’a yang telah ditulis di dalam Kitabnya menjadi tidak umum.

Ijazah umum juga bisa didapat dari suatu majelis yang secara umum dinyatakan oleh guru atau pembimbing majelis untuk diamalkan oleh semua jamaahnya. Biasanya Ijazah jenis ini tidak menyertakan jumlah hitungan dan sanadnya, meskipun tidak menutup kemungkinan sang guru menentukan lain. Ijazah umum dalam sebuah majelis ini biasanya didahului oleh penjelasan akan fadhilah-fadhilah wirid, dzikir atau do’a yang akan diijazahkan oleh guru pengampu di majelis tersebut. Sang guru menyarankan untuk membacanya atau mengamalkannya agar mendapatkan faedah dari fadhilah yang telah dijelaskannya.

Ijazah umum tidak mesti diberikan oleh seseorang yang berderajat guru. Cukup diberikan oleh seseorang yang mendapatkan ijazah dari orang lain, lalu ia mengijazahkan lagi kepada orang lain setelah terlebih dahulu diamalkannya sendiri.

2. Ijazah Khashshah (khusus)

Ijazah jenis ini lebih spesifik. Sang guru sebagai si pemberi ijazah akan melihat terlebih dahulu kondisi bathin si murid sebagai penerima ijazah. Karakter dan mental si murid sebagai calon pengamal akan menjadi pertimbangan yang dominan bagi guru untuk memberikan ijazah. Hal ini mengacu kepada jenis wirid yang dikeluarkannya akan menimbulkan dzauq (rasa mendalam) yang bisa berpengaruh besar bagi kejiwaan si murid.

Prilaku-prilaku bathiniyah dan lahiriyah murid untuk menerima ijazah khusus akan menjadi tolak ukur bagi guru untuk memberikan ijazah. Hal inilah yang menunjukkan suatu maqam (tingkatan) murid yang hanya diketahui oleh gurunya. Sebuah wirid atau dzikir yang memiliki kekhususan tertentu yang diberikan kepada murid yang belum mencapai maqam-nya akan berakibat fatal dan dapat menimbulkan kegoncangan yang tak terkendali dalam jiwa murid. Keadaan ini tidak semestinya terjadi, jika guru lebih teliti dan selektif dalam mengijazahkan amalan-amalan yang khsusus bagi murid tertentu.

Suatu amalan, wirid, dzikir, hizib atau asma tertentu mengandung karakteristik ruhaniyat yang jika diamalkan ia akan menimbulkan (yang dalam istilah sufismenya disebut dengan) “waridat“. “Waridat” adalah “suatu bekas” atau dampak yang dapat menimbulkan perubahan bashirah (pandangan bathiniyah) bagi seseorang yang mengamalkannya. Bashirah itu pada akhirnya berpengaruh besar bagi pembentukan mindset atau konstruksi akal pikirnya. Dalam bahasa lain, terbukanya hijab-hijab bathin. Pada titik inilah, kehati-hatian seorang guru dalam mengijazahkan sebuah amalan bagi muridnya yang telah mencapai maqam tertentu.

Karena sebuah amalan yang berkualifikasi khusus dapat menimbulkan perubahan bashirah, maka pra-syarat tertentu bagi si murid akan menjadi “wajib”. Pra-syarat bagi murid yang hanya diketahui oleh gurunya itu menjadi mutlak karena si murid sudah berada pada kedisplinan yang mapan hingga ia disebut layak untuk menerima ijazah amalan tertentu.

Berkenaan dengan ijazah khusus ini, dalam tradisi tarekat, terutama tarekat yang mu’tabarah, prosesi pengijazahan secara khusus ini sudah sering dipraktekkan. Ada beberapa hal yang menyertai prosesi pengijazahan secara khusus ini:

Rijalus Sanad

Sanad adalah “mata rantai” yang bersambung kepada Rasulullah SAW hingga berpuncak kepada Allah SWT. Sanad ini menjadi prasyarat dan berkedudukan sangat penting bagi penjagaan otentisitas ruhani dalam sebuah amalan (isytighal).

Dalam ilmu hadits, tradisi ilmiah sanad hanya dititik-beratkan pada teks. Sementara dalam tradisi praktis tarekat, kedudukan sanad tidak hanya dititik-beratkan pada teks tapi juga pada makna dan kemunculan “waridat“. Sehingga dapat dikatakan bahwa dzauq yang didapat oleh pengamal (salik) saat ini akan sama dengan apa yang didapatkan oleh para wali hingga kepada Rasulullah SAW.

Pengamalan wirid dan amalan (isytighal) tertentu secara bertahap “dijamin” keotentikannya oleh para Rijalus Sanad (para guru yang terkait pada mata rantai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW).

Secara bertahap, sebuah amalan (isytighal) yang diijazahkan oleh guru yang bersanad akan menghantarkan salik kepada keadaan atau jalan yang pernah ditempuh oleh para Rijalus Sanad. Melalui jalan inilah si salik dapat wushul ilaa Allah (mencapai pengenalan paripurna tentang Allah SWT).

Dalam hal panjang dan pendeknya mata rantainya, sanad terbagi dua; yakni Sanad Sughra dan Sanad Kubra. Sanad Sughra adalah sanad yang mata rantainya tidak terlalu panjang, bisa jadi hanya sebatas 3 orang atau 5 orang yang menyertai pengijazah (Mujiz)-nya. Dalam ilmu hadits, sanad yang pendek ini disebut juga dengan Sanad ‘Aliy (sanad yang tinggi). Sanad ‘Aliy dalam ilmu hadits tidak mengurangi keotentikan teks hadits.

Sedangkan Sanad Kubra adalah sanad yang mata rantainya (Rijalus Sanad) lebih panjang, bahkan biasanya disertai dengan beberapa nama khusus yang berkaitan dengan isi amalan wirid tersebut. Nama khusus itu berkedudukan sebagai penjaga (Khadam) yang menyertai amalan itu. Seringkali Nabi Khidhir AS juga disebut untuk menyertai suatu amalan tertentu.

Jumlah Hitungan

Dalam prosesi Ijazah Khashshah jumlah hitungan biasanya lebih ditekankan. Namun demikian, semua bergantung pada ketentuan yang ditetapkan oleh guru sebagai yang memberi ijazah (Mujiz). Sang mujiz menyertakan sejumlah hitungan dimaksudkan untuk mendisiplinkan riyadhah (rutinitas) dan mujahadah (kesungguhan dan keseriusan) bagi murid (salik) dalam mengamalkannya.

Jumlah hitungan dalam pengamalan juga disesuaikan, sehingga ia tidak baku dalam hal jumlah. Ia terdiri dari jumlah hitungan berkategori ringan, sedang, berat dan aksidental serta yang berkenaan dengan suatu hajat tertentu. Dalam hal jangka waktu pengamalannya, juga ditentukan; harian, mingguan, atau tahunan.

Kategori ringan misalnya membaca Ayat Kursiy sebanyak 3 kali setelah selesai shalat maghrib dan shubuh. Sedangkan yang berkategori sedang misalnya membaca Surat al-Fatihah 100 kali disambung dengan Ayat Kursiy 50 kali dalam sehari. Sedangkan yang berkategori berat misalnya membaca Surat al-Fatihah 100 kali disambung dengan Ayat Kursiy 50 kali setiap selesai shalat lima waktu. Setiap kategori ditentukan pengamalannya dalam jangka waktu tertentu, misalnya selama 40 hari, 100 hari, dst.

Sedangkan jumlah hitungan aksidental berkaitan dengan situasi khusus pengamal. Situasi itu dapat disebabkan karena sebuah kaffarat atau karena sebuah dosa dan kesalahan si pengamal, atau dimaksudkan untuk mencapai sebuah hajat tertentu atau proses pentahapan suluk (perjalanan spiritual). Semua situasi yang aksidental itu dititik-pusatkan pada proses tazkiyatun nafsi bagi si pengamal.

Jenis pengamalan yang berkategori aksidental biasanya lumayan berat. Jumlah hitungannya bisa jadi hingga ribuan atau puluhan ribu kali, bahkan ratusan ribu kali. Hal ini secara spesisifk ditentukan oleh guru yang membimbing dan mengijazahkannya.

Semua jenis amalan dan jumlah hitungannya dalam hal Ijazah Khusus ini sangat bergantung pada ridha dan sifat kasih sayang guru selaku pembimbing bagi muridnya.

3. Ijazah Ghaibiyah

Ijazah jenis ini biasanya hanya terjadi bagi orang yang berderajat Khushusil khushush dan jarang sekali diterima oleh orang awam. Derajat Khushusil khushush ini diantaranya adalah Mursyid dalam sebuah tarekat. Setelah melampaui berbagai syarat, sang Mursyid dapat menentukan apakah ijazah ini berlaku untuk dirinya sendiri atau bisa dikeluarkan kepada muridnya atau mungkin dimaklumatkan kepada umat untuk sebuah kemaslahatan.

Ijazah jenis ini menjadi bukti akan keramatnya seseorang dan memiliki maqam qurbah kepada Allah Ta’ala. Namun pada beberapa kasus, ada juga orang-orang tertentu yang mendapatkan ijazah ghaibiyah. Jika ada seseorang yang mendapatkan Ijazah Ghaibiyah, sebaiknya dikonsultasikan kepada orang yang mengerti (Mursyid).

Biasanya, Ijazah Ghaibiyah ini akan membawa kebaikan bagi si penerima, baik urusan dunia maupun akhiratnya. Ia akan mengalami perubahan kepribadian yang signifikan ke arah yang lebih baik. Bathinnya lebih dikuatkan oleh Allah SWT untuk lebih cenderung pada kebaikan dan kemaslahatan.

Epilog

Ijazah untuk mengamalkan suatu amalan adalah perkenanan bagi seseorang untuk mengamalkannya. Melalui pengijazahan ini, seorang pengamal (salik) akan mendapatkan kemantapan hati dalam mengamalkan suatu amalan. Proses yang hendak dicapai akan lebih terstruktur, terbimbing dan termonitor.

Seseorang mungkin bertanya, “apakah orang yang tidak mempunyai guru kemudian mendapatkan informasi tentang sebentuk amalan dari buku, kitab atau internet atau mungkin ia mencatut sendiri dari potongan ayat al-Qur’an atau Hadits kemudian ia mengamalkannya, lalu hasil yang didapat tidak benar atau tidak akan berhasil?”

Begini saudaraku terkasih, ketahuilah bahwa wirid, dzikir, ratib, hizib dan amalan-amalan lainnya adalah sebuah ritual yang didahului oleh keyakinan hati. Keyakinan hati ditumbuhkan dari iman. Tanpa keyakinan hati, seseorang tidak akan pernah mau melakukannya meskipun orang itu percaya kepada Tuhan.

Praktek amaliyah dzikir dan wirid pada intinya bertitik fokus pada tazkiyatun-nafsi (proses penyucian diri) yang sudah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Bahkan Rasulullah SAW pun mengajarkan amaliyah seperti shalat lima waktu beserta shalat-shalat sunnahnya, membaca lafadz tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali, serta memperbanyak membaca kalimat tahlil (lâ ilâha illâ allâh), dst.

Mengenai hitungan dan waktu dalam amaliyah wirid, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [1]مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ: سُبْحَانَ اللّٰهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، غُفِرَتْ ذُنُوْبُهُ وَإِنْ … Continue reading

Abu Hurairah juga melaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘Subhan-Allahi wa bihamdih’ seratus kali ketika pagi, dosa-dosanya akan dilenyapkan bahkan jika dosa mereka lebih banyak dari banyaknya buih di laut”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam prakteknya, amaliyah dzikir dan wirid sepanjang sejarah secara empirik dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini tidak selalu menghasilkan terbentuknya diri yang berkepribadian seperti yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Bahkan tidak sedikit orang yang mengamalkan wirid atau dzikir tertentu menjadi kontra produktif bagi dirinya dan lingkungannya. Para pengamalnya cenderung sombong dan merasa benar sendiri serta tidak memunculkan jiwa welas asih. Terjebak pada kejumawaan dan kebanggaan.

Para Ulama terdahulu memperhatikan fenomena ini, sehingga berijtihad terhadap prosesi pengamalan sebuah wirid atau dzikir diharuskan melalui bimbingan seorang guru mursyid yang bersanad. Hal ini berkaitan dengan dzikir atau wirid khusus yang pengamalannya harus melalui ijazah khusus sebagaimana sudah dijelaskan di atas, diantaranya ada yang bersifat umum.

Dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumiddin, Imam Ghazali mengatakan; “Guru itu berpengaruh dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya”.

Ilmu pengetahuan modern mengatakan bahwa jiwa welas asih, pikiran dan prasangka-prasangka positif, berjiwa besar, berpandangan luas, bermental baja, sikap dermawan, cinta dan ketulusan, adalah sifat-sifat manusia yang dapat mempengaruhi lingkungan dan alam semesta. Untuk mencapai itu semua, tidak bisa hanya mengandalkan akal yang kemudian dicapai dengan cara doktrin moral semata. Peran positif akal tidak akan bisa muncul jika tidak dipedomani dengan cahaya hati melalui proses pembersihannya (tazkiyatun nafsi).

Karena itu, teori sanad dalam ilmu hadits adalah upaya akal untuk menjaga otentisitas teksnya. Tapi otentisitas maknanya tak akan bisa dicapai kecuali dengan proses pengijazahan yang dilakukan oleh Rijalus Sanad secara turun temurun dari sejak Rasulullah SAW hingga saat ini, bahkan hingga akhir zaman. Sebuah teks bisa saja sama sejak dahulu kala, tapi dalam memahami teks yang sama itu setiap orang satu sama lain bisa saja berbeda. Untuk sampai pada pemahaman yang sama, yang diperoleh melalui dzauq (rasa) dari teks yang sama, di situlah diperlukan Rijalus Sanad.

Seorang Syaikh al-Azhar kontemporer, Dr. Usamah Azhari (seorang Ulama yang menjadi Penasehat Presiden Mesir saat ini) mengatakan;

الْإِذْنُ فِي الذِّكْرِ وَالْإِجَازَةُ فِيْهِ بِمَعْنَى، أَخْذُ الْوِرْدِ مِنْ شَيْخِهِ وَشَيْخُهُ مِنْ شَيْخِهِ وَهَكَذَا فَهَذِهِ سِلْسِلَةٌ مِنَ الْعُلَمَآءِ وَالْمَشَايِخِ وَالْأَوْلِيَآءِ فِيْمَا يُسَمَّى بِالسِّلْسِلَةِ النُّوْرَانِيَّةِ، فَيَدْخُلُ الْمُرِيْدُ مِنْ ضَمْنِ هَذِهِ السِّلْسِلَةِ الْمُبَارَكَةِ فَيَحْصُلُ لَهُ بَرَكَةَ الْاِنْتِسَابِ

“Izin dalam dzikir atau yang disebut sebagai ijazah bermakna mengambil wirid dari syaikhnya (gurunya) dan syaikhnya dari syaikhnya lagi hingga seterusnya, maka inilah yang disebut silsilah dari ulama, masyaikh dan auliya yang juga dinamakan dengan ‘silsilah nuraniyyah’, dengan itu seorang murid berada pada jaminan silsilah yang diberkati dan sampai kepadanya keberkahan pertalian nasab”.

Semoga Allah SWT membimbingkan kita melalui para guru yang jiwanya terkait pada mata rantai sanad, sehingga apa yang diajarkan oleh-Nya melalui Rasulullah-Nya SAW akan dapat membawa kita untuk mengenal-Nya, mencintai-Nya dan wushul ke hadhirat-Nya, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

اللّٰهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا وَفِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا وَاجْعَلْ فِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا وَمِنْ أَمَامِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا، اللّٰهُمَّ أَعْطِنِيْ نُوْرًا ۞

Allâhummaj’al fî qalbî nûran wa fî lisânî nûran waj’al fî sam’î nûran, waj’al fî basharî nûran, waj’al min khalfî nûran, wa min amâmî nûran, waj’al min fauqî nûran, wa min tahtî nûran, allâhumma a’thinî nûran

“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya dan di dalam lisanku (juga) cahaya. Jadikanlah di dalam pendengaranku cahaya dan di dalam penglihatanku (juga) cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku (juga) cahaya. Jadikanlan dari atasku cahaya dan dari bawahku (juga) cahaya. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR Bukhari Muslim).

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...