بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Ciri-Ciri Guru Mursyid Sejati
Bagi sebagian dari kita yang berada dalam lingkungan agamis, berada pada lingkungan dekat dengan para kyai, ulama, bahkan yang berada di lingkungan Pondok Pesantren, akan mudah mendapatkan bimbingan-bimbingan spiritual. Mudah untuk menemukan para ulama dan guru mursyid. Tapi bagi sebagian besar yang lain, yang jauh dari lingkungan agamis, serasa sulit untuk bertemu langsung dengan pembimbing spiritual yang sejati.
Seringkali hanya bisa mendapatkan bimbingan spiritual dari media-media sosial. Yang dari media tersebut tidak jarang dengan mudahnya kita mendapatkan amalan-amalan bahkan ijazah-ijazah tertentu. Walaupun ini baik dan boleh-boleh saja, tetapi pertemuan antara kyai atau guru mursyid sebagai pemberi ilmu dengan murid itu sangatlah penting. Dengan begitu murid bisa bertanya dan menyampaikan permasalahannya langsung.
Juga bagi guru mursyid, pertemuan ini bisa dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan kemampuan ruhani muridnya secara langsung, sehingga guru mursyid dapat dengan tepat memberikan nasihat dan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing muridnya. Selain itu, manfaat dari bertemu guru mursyid dan ulama secara langsung disabdakan oleh Rasulullah,
مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَمَنْ زَارَنِيْ، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَمَنْ صَافَحَنِيْ، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَمَنْ جَالَسَنِيْ، وَمَنْ جَالَسَنِيْ فِي دَارِ الدُّنْيَا أَجْلَسَهُ اللّٰهُ مَعِيْ غَدًا فِي الْجَنَّةِ « لبب الحديث لإمام جلال الدين السيوطي »
“Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka seolah-olah ia mengunjungiku. Barangsiapa berjabat tangan dengan orang alim, maka seolah-olah ia berjabat tangan denganku. Barangsiapa duduk berdampingan dengan orang alim, maka seolah-olah ia duduk berdampingan denganku di dunia. Barangsiapa duduk berdampingan denganku di dunia, maka ia akan duduk berdampingan denganku di akhirat.” (Kitab Lubabul Hadits karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi)
Setelah memahami penting dan manfaat dari mendapatkan bimbingan secara langsung dari guru mursyid, hendaknya kita juga mengetahui ciri-ciri dari guru mursyid yang sejati. Supaya kita tidak terjebak untuk belajar pada orang-orang yang ternyata berilmu sempit dan pendek. Bukan membimbing kepada Ke-Tauhid-an, tapi malah menjerumuskan pada ilmu-ilmu atau amalan-amalan yang tanpa kita sadari pada hakikatnya malah menjauhkan kita dari Allah SWT.
Bahkan tidak sedikit pula justru membawa muridnya menuju keputus-asaan dan mengarahkan muridnya menjadi sosok yang intoleran, bahkan sampai pada taraf radikal. Hanya menjadikan muridnya sebagai pembuat keonaran dengan topeng agama. Supaya tidak salah dalam memilih guru mursyid, ada beberapa ciri yang bisa kita kenali secara jasmaniah maupun ruhaniah.
Secara umum dan mendasar, guru mursyid memiliki perilaku sebagai berikut: (1) Taqwa lahir dan batin kepada Allah SWT, yang secara kasat mata terlihat dari sikapnya yang wara’ dan istiqãmah. Di mana wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhãt (perkara samar) dalam kehidupannya sehari-hari dan terus menerus, di mana pun dan kapan pun, dan dalam kondisi apapun (istiqãmah).
(2) Ittibã’ mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW dalam setiap ucapan maupun tindakannya. Terwujud dalam perilaku dan budi pekerti yang baik dalam kehidupannya sehari-hari. Ittibã’ sendiri dipahami sebagai upaya dalam mengikuti segala yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Rasulullah, serta menjauhi dan meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya.
(3) Terpalingkannya seluruh panca indera dan qalbunya dari hiruk pikuk dunia dan juga pada makhluk. Pada hakikatnya dunia dan seisinya adalah makhluk ciptaan Allah SWT, sehingga tidak diperlukan lagi ketergantungan pada mereka. Berpalingnya guru mursyid dari makhluk, tergambar dari kesabarannya dalam menerima segala kehendak Allah SWT, serta sikap tawakkal atau bergantung sepenuhnya pada kuasa Allah SWT dalam kehidupannya sehari-hari.
(4) Ridha atas segala ketentuan-ketentuan Allah SWT padanya. Menerima atas segala yang terjadi dan diterima dalam kehidupannya. Karena menyadari bahwa segala yang terjadi dan diterimanya adalah anugerah dari Allah SWT semata. Tercermin dalam sikap qanã’ah (berpuas diri) atas semua kehendak Allah SWT yang telah diterimanya dan kepasrahan total pada keputusan Allah SWT terkait apa yang akan diterimanya di kemudian hari.
(5) Mensyukuri semua kejadian yang diterimanya, senang maupun susah, baik dan buruk, berkecukupan maupun fakir adalah semata hanya dari Allah SWT. Semuanya diterima dengan bahagia dan kerelaan hati, sehingga hanya ada puji dan syukur pada Kebesaran-Nya lah yang ada dalam hatinya.
Adapun beberapa ciri-ciri khusus yang dapat kita temukan dalam diri seorang Guru Mursyid, di antaranya:
(1) Sederhana, cenderung tidak mudah dikenali dan tersembunyi dari khalayak ramai. Biasanya guru mursyid berada di kampung-kampung dan masjid maupun langgar yang kecil saja. Dengan penampilan fisik yang jauh dari kesan ulama yang sering kita temui di media pada umumnya. Memiliki santri dengan jumlah sedikit maupun banyak. Bahkan banyak di antaranya yang sama sekali tidak dikenali sebagai ulama maupun guru mursyid. Karena bisa jadi Allah menyembunyikan keberadaannya.
(2) Cenderung pasif dan tidak memaksakan pendapat saat berbicara. Menghargai siapapun lawan bicara, apakah itu murid santrinya sendiri maupun orang lain, tidak memotong pembicaraan dan menghindari perdebatan. Tidak pula ingin menonjolkan diri, tetapi perkataannya cenderung solutif, bisa menengahi perbedaan pendapat, dan bisa memberikan jawaban sesuai kadar kemampuan spiritual lawan bicara. Semua itu dilakukan karena kesadaran dirinya bahwa semua jawaban dan penjelasan yang dia sampaikan bukanlah dari dirinya sendiri, melainkan merupakan petunjuk dari Allah SWT.
(3) Menguasai ilmu hikmah. Yang dimaksud dengan ilmu hikmah adalah kemampuan seorang guru mursyid yang setara waliyullãh untuk memahami Al-Qur’an maupun hadits dengan kebaikan yang melebihi batasan syariat hingga mencapai pemahaman pada wilayah makrifat dan hakikat. Sehingga mampu membaca dan menterjemahkan ayat-ayat Ilahiah yang terhampar pada seluruh alam semesta yang terkait tentang ihwal penciptaan dan kejadian yang terjadi di langit, bumi, dan segala isinya.
(4) Mampu mengungkap rahasia Allah. Dalam kesehariannya, seorang guru mursyid akan sedikit sekali menggunakan dalil-dalil serta periwayatan yang rumit pada pembicaraannya. Hal ini dikarenakan seorang guru mursyid telah sampai pada kemampuan untuk membuka dan membaca rahasia-rahasia Ilahiah berupa Kalãmullãh (Qur’ãn Qadîm) yang tanpa tertulis dalam kitab apapun, namun bisa dipahami maknanya dalam setiap hamparan kejadian di alam semesta ini.
(5) Mengajarkan Tauhid dengan metode suluk. Tauhid yang diajarkan adalah pada esensi yang murni, yaitu mampu mengenal dan bisa mencintai Allah sepenuhnya. Di mana untuk menuju kemurnian Tauhid ini, Guru Mursyid biasanya memiliki metode berupa suluk. Secara harfiah memiliki arti menempuh (jalan).
Dalam ilmu tasawuf, suluk dimaknai sebagai menempuh jalan (spiritual) untuk menuju kepada mengenal Allah. Merupakan disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris Islam (syariat), sekaligus memahami aturan-aturan esoteris (hakikat) nya.
Pelaku suluk atau murid disebut sebagai salik . Dengan metode suluk, para salik akan dibimbing secara spiritual untuk mengenali dirinya sendiri, mampu memahami esensi keheidupan, mengenali Dzat Allah dan menemukan kebenaran sejati (kebenaran Ilahiyah). Seperti yang termaktub dalam Firman Allah SWT berikut ini:
… فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ … ۞
“… Lalu tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu)…” (QS. An-Nahl [16]: 69).
Suluk berisi metode-metode dan/atau amalan-amalan tertentu, berupa laku syariat jasmaniah maupun syariat batiniah yang metode, bentuk amalan syariatnya, bahkan jumlah dan waktu pelaksanaannya pun mungkin berbeda dari beberapa guru mursyid, tergantung pada metode dari sanad terdahulunya dan dari kebijaksanaan masing-masing guru mursyid dalam memahami kemampuan muridnya.
(6) Sebagai al-‘Ulamãu Waratsatul Anbiyã. Rasulullah SAW dan para nabi sebelumnya tidak mewariskan dinar maupun dirham, melainkan mewariskan ilmu pada umat pengikutnya. Karena tanggungjawab beratnya dalam membawa ilmu tersebut, sudah seharusnyalah para ulama, para kyai, maupun para guru mursyid mempunyai sanad keilmuan yang jelas dan runtut sampai pada Rasulullah SAW.
Sanad tidak bisa didapatkan dengan mudah. Harus melewati pendidikan-pendidikan dan amaliyah-amaliyah tertentu dan bimbingan-bimbingan tertentu hingga sampai pada tingkatan berhak mendapatkan pengakuan dari ulama, kyai, atau guru mursyid pendahulunya. Semua itu dimaksudkan agar ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah tetap memiliki standar yang sama hingga sekarang. Sehingga tujuan dari ulama sebagai pewaris (ilmu) Nabi akan tercapai sebagai mana mestinya.
(7) Memiliki Karãmah. Secara bahasa, kata Karãmah diambil dari salah satu al-Asmãul al-Husnã yaitu Al-Karîm (Yang Maha Mulia). Sehingga bisa dimaknai dengan “Kejadian luar bisa di luar nalar dan kemampuan manusia pada umumnya yang terjadi pada diri seorang Waliyyullãh. Yang terjadi hanya sesekali dan tanpa diinginkannya, dan merupakan hadiah dari Ke-Maha Mulia-an Allah SWT kepada para kekasih-Nya (Waliyullah)”.
Walaupun Allah berhak untuk memberikan Kemuliaan-Nya pada siapapun, tetaplah pada batasan orang-orang yang memiliki ketaqwaan, kebaikan, kesucian, dan keistiqamahan yang sempurna dalam ibadah dan dalam kehidupannya sehari-hari.
Karãmah tidak dapat direncanakan maupun diminta datangnya, bersifat rahasia dan tersembunyi. Hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh Waliyullah itu sendiri, serta tidak boleh diceritakan atau ditunjukkan kepada sesiapapun tanpa adanya manfaat yang sangat penting bagi kemaslahatan umat dan masyarakat. Karãmah ini lazimnya Allah SWT wujudkan pada para kekasih-Nya di saat berada pada kondisi yang luar biasa sulit dan meresahkan, yang hanya bisa diselesaikan atas petunjuk atau solusi dari Kemuliaan Allah SWT semata.
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ۞ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ ۞ لَهُمُ الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۗ لَا تَبْدِيْلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۗ ۞
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan terhadap mereka dan tidak(pula) bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira didalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Yunus [10]: 62-64).
(8) Memiliki firãsah yang tajam. Dari pendapat beberapa ulama, firãsah atau firasat dapat dipahami sebagai “Pengetahuan yang berasal dari Cahaya Ilahiah tentang sesuatu yang akan terjadi melalui tanda-tanda maupun perantara kejadian, sehingga menjadi ketetapan (kata) hati yang lahir dari kekuatan iman yang menghujam dalam hati.”
Dari pengetahuan ini, seorang mursyid terkadang mampu mengetahui siapa yang akan datang bertamu serta hajat yang diinginkannya sebelum orang tersebut hadir dan mengutarakan hajatnya. Memilik kemampuan untuk mengetahui watak serta karakter orang yang baru ditemuinya, baik dan buruknya kejadian yang akan terjadi, bahkan kemampuan untuk mengetahui apa yang tersimpan dalam hati orang lain meskipun orang tersebut berusaha menyembunyikannya.
Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah SAW, dalam sabdanya mengatakan,
اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللّٰهِ، ثُمَّ قَرَأَ « إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ » [الحجر: ٧٥] « راه إمام الترميذي في سننه »
“Takutlah terhadap firasah seorang mukmin, sebab ia melihat dengan cahaya Allah, kemudian membaca ayat Inna fî dzãlika la-ãyãtin lil-mutawassimîn “(Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda).” (QS. Al-Hijr [15]: 75).” (HR. Imam at-Tirmidzi dalam Kitab Sunan-nya)
(9) Tidak bergantung pada siapapun. Perilaku kemandirian ini karena guru mursyid memiliki keyakinan yang kuat bahwa kehidupan serta rezekinya telah dijamin oleh Allah SWT, dan tidak ada satu mahlukpun di dunia ini yang pantas untuk dijadikan tempat meminta ataupun bergantung.
Dari keyakinannya tersebut, maka akan terwujudlah ‘iffah dalam kehidupannya. ‘Iffah dimaknai sebagai suatu kemampuan untuk menahan dorongan hawa nafsunya. Dari sifat ‘iffah ini lahirlah akhlaq-akhlaq mulia seperti sabar, qanã’ah, adil, jujur, dermawan, santun dan perilaku-perilaku terpuji lainnya. Dengan demikian, harga diri sebagai Mursyid akan tetap dalam keridhaan dan perlindungan dari Allah SWT.
Wallãhu A’lam bish-Shawãb
__________
Oleh: Rb Inggar Prasnawan, Santri Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Al-Mujaddidiyyah Ahlul Muqarrabin, Jiwan-Madiun, Jawa Timur.