Home / Agama / Kajian / Pengertian Nama “Allah” dan Dzikir “Hu”

Pengertian Nama “Allah” dan Dzikir “Hu”

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku dan para kekasihku, Allah SWT memerintahkan kita berdzikir. Dzikir adalah kependekan dari dzikrullah (mengingat Allah). Ketika ditulis dengan dzikir saja, maka yang dimaksud adalah dzikrullah. Dzikir paling utama yang diperintahkan Allah SWT adalah “lâ ilâha illâ allâh“. Allah SWT telah menegaskan:

فَٱعْلَمْ أَنَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللّٰهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۗ وَٱللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَىٰكُمْ ۞

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”. (QS. Muhammad: 19)

Rasulullah SAW mengajarkan:

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : أَفْضَلُ الذِّكْرِ : لآ إِلهَ إِلاَّ اللّٰهُ . [1] رَوَاهُ التِّرْمِذِي ، وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ

Dari Jabir RA, ia berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Dzikir yang paling utama adalah “lâ ilâha illâ allâh” (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah).” (HR. Tirmidzi, ia menyatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3383. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan].

Sebagaimana juga telah masyhur diajarkan oleh Ulama-Ulama terdahulu bahwa dzikir “lâ ilâha illâ allâh” punya pentahapan yang terdiri dari; “lâ ilâha illâ allâh“, kemudian “illâ allâh“, lalu “allâhu” terus “hu allâh” dan terakhir “hu“.

Bahwa di dalam praktek berdzikir, kalimat “lâ ilâha illâ allâh” dibelah menjadi dua, yakni “lâ ilâha” sebagai bentuk penafian (nâfî), dan “illâ allâh” sebagai bentuk penetapan atau penegasan (itsbât). Maka kalimat “lâ ilâha illâ allâh” itu disebut juga sebagai dzikir “Nâfî Itsbât” (penafian-penetapan). Hal itu bermaksud, bahwa ketika mengucapkan kata “lâ ilâha” adalah sebuah proses menghilangkan segala bentuk ghairiyyah (segala sesuatu selain Allah) yang berarti tidak ada tuhan, tidak ada sesembahan, tidak ada yang dituju, tidak ada yang dicintai, tidak ada yang wujud, dan seterusnya. Lalu tanpa putus kalimat itu dilanjutkan dalam rangka mengisi dan menetapkan peniadaan tadi dengan mengucapkan “illâ allâh” yang berarti “selain Allah”.

Lalu dilanjutkan sebagai bentuk pentahapan yang kedua adalah “illâ allâh” sebagai kalimat penetapan yang langgeng. Namun, ketika kalimat “illâ allâh” itu berdiri sendiri, ia tidak diartikan sebagai “selain Allah” atau “kecuali Allah”, karena ia bukanlah sebagai jawabu asy-syarthi (jawaban dari kalimat bersyarat “lâ ilâha“). Karena itu, kami menterjemahkan kalimat “illâ allâh” yang berdiri sendiri dengan arti “hanya Allah”.

Selanjutnya adalah pentahapan dzikir dengan mengucapkan kata “allâhu” terus “hu allâh” dan terakhir “hu“. Ketiga tahap terakhir itu kita gabungkan saja pembahasannya dengan menyimpulkannya pada kata “Allâh” dan kami akan bahas sesuai dengan maksud dalam tiga pentahapan yang terakhir tadi. Kata “Allâh” dalam tulisan Arabnya:

 

اللّٰه

Lafadz “Allâh” adalah Nama bagi Dzat Allah yang mengumpulkan semua Nama dan Sifat yang dikandungnya. Sebagaimana kita kenal bahwa Nama Allah yang baik berjumlah 99 (al-Asmâ al-Husnâ). Nah, Nama Allah yang berjumlah 99 itu terhimpun pada satu Nama, yakni “Allâh“. Karenanya, lafadz “Allâh” sebagai yang menghimpun semua Nama Allah yang 99 itu, memiliki keunikan tersendiri. Pantas saja, mengucapkan lafadz “Allâh” itu menjadi dzikir yang paling puncak. Lalu di mana keunikannya?

Keunikan lafadz “Allâh” justru terletak pada huruf-huruf penyusunnya. Jika huruf per-huruf dihilangkan, maka ia akan tetap memiliki makna. Namun makna itu (setelah dipreteli hurufnya satu persatu) semakin mempunyai makna yang lebih dalam dan lebih rahasia. Pertama sekali, kita hilangkan huruf Alif yang mengawali lafadz “Allâh” tersebut, maka jadinya “lillâh“:

 

للّٰه

Lillâh” mempunyai makna “Karena Allah” atau “Untuk Allah” atau “Milik Allah” atau “bagi Allah”. Tak ada satupun dari segala sesuatu di alam semesta ini yang tidak karena Allah, atau untuk Allah, atau milik Allah. Maka lafadz “lillâh” menyiratkan sebuah makna keterliputan-Nya atas segala sesuatu; awalnya karena Dia dan akhirnya untuk Dia. Lafadz “lillâh” tidaklah menonjolkan Nama ‘Allah’, tapi menonjolkan ‘segala sesuatu yang berawal dari-Nya dan berakhir kepada-Nya’. Artinya, Nama ‘Allah’-nya mulai sedikit samar. Meskipun terasa masih ada dalam penyebutannya.

Kemudian yang kedua, kita hilangkan huruf ‘Lâm’ yang pertama. Maka huruf yang tersisa hanya dua, yakni ‘Lâm’ dan ‘Hâ’. Sisa huruf tersebut akan membentuk kata lain yang berbeda, yakni “lahû” yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “milik-Nya” atau “bagi-Nya”. Tulisan Arabnya:

 

لَهُ

Coba perhatikan, kedua huruf terakhir yang membentuk kata “lahû“, adakah nampak dzâhir lafadz “Allâh” di situ? Tidak. Tapi “lahû” di sini sudah menegaskan sebuah kepemilikan segala sesuatu kepada Dzat yang Nama-Nya semakin dirahasiakan padanya (pada segala sesuatu). Lafadz “Allâh” sebagai Nama Dzat-Nya yang paling tinggi semakin “hilang” melalui kata “lahû“. Wujud-Nya sudah tersandikan pada makna, yakni “lahû” yang mengaitkan segala sesuatu kepada-Nya dengan makna sebuah penyandaran, kepemilikan, dan kekuasaan. Huruf ‘Lâm’ yang berkait pada ‘Hâ’ menunjukkan sandi ‘keterkaitan’, yang bermakna ‘tak ada sesuatupun selain-Nya yang lepas dari-Nya’, yakni pengaturan-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, dan pengawasan-Nya.

Akhirnya, sampailah kita pada puncak segala rahasia, yakni ketika huruf Lam pada kata “lahu” dihilangkan, maka tinggallah yang tersisa huruf Hâ yang marfû’ biddhammi (yang berharakat dhammah), yakni ““. Jika sebelumnya kata “” dikaitkan dengan Lâm sebagai makna segala sesuatu yang dikaitkan dengan-Nya, maka “” saat ini berdiri sendiri, dan tanpa ada pengaitan kepadanya segala sesuatu. Artinya, “” adalah rahasia di dalam rahasia. “” telah di-tanzîh (disucikan) dari segala sesuatu.

 

هُـ = هُوَ

Dalam Bahasa Arab, “” adalah dhamîr mufrad (kata ganti tunggal) dari “huwa” (Dia). Dalam makna ini, “huwa” adalah sebuah lafadz yang tak bisa diklaim sebagai “Aku”, karena esensi “Aku” dalam diri seorang yang menyebutnya sudah di-tanzîh untuk tetap mengatakan melalui nafasnya dengan “” (Huwa -Dia). Artinya, hamba tetaplah sebagai hamba, meskipun ia taraqqi (naik) pada tingkatan tertingginya menuju Tuhan. Sebaliknya, Tuhan tetaplah sebagai Tuhan, meskipun Dia ber-tajalli dan mewujudkan segala sesuatu melalui Nur-Nya.

” adalah sandi “tiupan” Tuhan dalam diri hamba. Dari “tiupan” tersebut, seorang hamba mewujud dan memunculkan nafas. Dengan nafasnya itulah, seorang hamba, dalam kesadarannya, mengenal nafs-nya sendiri. Puncak kesadaran dari dzikir “” inilah seorang salik dapat masuk ke dalam “Istana” Rasulullah SAW yang darinya sang salik disematkan sifat-sifat beliau. Dalam istilah sufistiknya, disebut dengan “Rûh Idhâfi” (Ruh Penyifatan).

“Hû Urip ing Datullah wis mantep Pribadi masuk ing Kratone pisan Muhammad Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam”.

Ketika pelepasan huruf Lâm pada kalimat “lahû“, sebelum menjadi “” yang berdiri sendiri, itulah seseorang dikatakan sebagai:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“. (QS.ِِِِِِ Ali Imran: 185)

 

Wallâhu A’lamu  bis-Shawâb

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Inilah Saat-saat Seseorang Dekat dengan Allah

”Ternyata shalat, zakat, puasa dan haji belum menjamin kedekatan seseorang dengan Allah SWT”. Oleh: Admin ...