Home / Ensiklopedia / Politik / Penderitaan di Istana

Penderitaan di Istana

NEGARAWAN Indonesia, Kasman Singodimedjo, pernah berucap. “Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden,” ujarnya ketika berkunjung ke rumah Moh. Natsir di sebuah gang becek. Jalan pemimpin itu tidak mudah. Memimpin itu menderita.

Ucapan yang bernada sama juga pernah dilontarkan Thomas Jefferson dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan John Adams pada 4 Maret 1801. Segera setelah duduk di kursi presiden, dia menyadari tak mudah memikul tugas sebagai orang nomor satu. Karena itulah terucap olehnya kalimat yang di kemudian hari menjadi sangat masyhur, Presidency is splendid misery. Kepresidenan itu kesengsaraan yang luar biasa.

Tentu saja Kasman dan Jefferson benar. Memimpin sebuah bangsa dan negara sangat tidak mudah.

Apalagi memimpin Indonesia, sebuah negeri yang teramat sulit. Di Tajuk Nusantara ini kita pernah menyebut “Negara ini Keterlaluan”, karena adanya tragedi 63 anak-anak di Asmat Papua yang meninggal karena gizi buruk dan wabah campak. Negara ini amat gagah berani menempuh perjalanan berbahaya untuk mengantarkan bantuan ke Palestina atau Rohingya, tapi bantuan ke Asmat dikatakan terkendala kondisi alam.

Kita juga pernah memakai istilah “Negara yang Memalukan”. Ini berkaitan dengan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, yang mengungkapkan adanya 37 persen dari anak balita Indonesia menderita stunting. Stunting adalah kondisi anak balita yang pertumbuhan tinggi badannya di bawah rata-rata akibat tidak tercukupinya asupan gizi dalam waktu lama. Itu berarti 9 juta anak balita yang bakal kerdil!

Istilah “Negara yang Menakutkan” juga pernah kita gunakan.  Bagaimana mau tenang tinggal di negara yang, menurut berbagai madah lama, orangnya ramah tamah dan berbudi bahasa. Tetapi elite politiknya sungguh bermulut lancang, penuh kebencian dengan pilihan kosakata yang membuat bulu roma merinding.

Inilah sebagian kecil masalah yang akan dihadapi oleh siapa pun yang akan terpilih jadi presiden nanti: Joko Widodo atau Prabowo Subianto.

Di luar itu masih bertumpuk masalah lain yang menunggu penyelesaian. Presiden harus menyelesaikan semua masalah itu, tanpa berusaha mencari-cari pembelaan diri dengan menyebut semua masalah berasal dari masa lalu. Masalah yang ada saat ini, dari mana pun datangnya, adalah persoalan aktual yang harus dihadapi dan diselesaikan. Tanggungjawab penyelesaian itu ada di tangan presiden.

Negara ini sudah menetapkan cita-cita dan tujuan bernegara. Menjadi tanggungjawab pemerintah untuk melaksanakan cita-cita dan tujuan itu. Cita-cita nasional bangsa ini ialah Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Dengan negara yang demikian, bangsa ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial.

Presidenlah yang memikul tanggungjawab utama. Karena dalam negara bersistem presidensil, presidenlah yang mengelola negara. Presiden tidak bertanggungjawab kepada lembaga mana pun. Apalagi sekarang semakin tajam penguatan sistem presidensiil tersebut.

Pemerintah negara yang tidak mampu memajukan kesejahteraan umum, bisa disebut telah gagal melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.  Kalau tujuan bernegara tidak tercapai, artinya Indonesia gagal bernegara. Kita tak perlu berdebat mengenai kriteria dalam kategorisasi Robert Rotberg tentang negara kuat (strong states),  negara lemah (weak states),  negara gagal (failed states), dan negara rubuh (collapse states), karena kriterianya sudah jelas tertera Preambule konstitusi kita.

Kembali ke ucapan Kasman Singodimedjo dan Thomas Jefferson di atas, semangat dari ucapan itu berasal dari komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Mereka jelas terkategori negarawan. Negarawan hanya punya satu premis, yaitu melayani. Dengan melayani dia mempunyai target untuk mengantarkan bangsa yang dipimpinnya ke satu titik kemaslahatan.

Tetapi tidak demikian dengan penguasa. Premis penguasa adalah menguasai, dan dengan begitu aromanya sangat represif. Penguasa itu elitis, jauh dari aspirasi rakyatnya. Target penguasa adalah melembagakan kekuasaannya agar tidak tergoyahkan. Baginya tak terlalu penting apakah kekuasaannya mendatangkan kemaslahatan atau justru angkara murka.

Nah, kita tak tahu, dari dua pasangan calon presiden-wakil presiden yang sedemikian bernafsu ini, mereka masuk kategori yang mana.[]

Penulis: Trijon Aswin
Source: Nusantara News

About admin

Check Also

Noam Chomsky; Tentang Agama dan Politik

“… Jangan lupa, bahwa rakyat Palestina sedang dihancurkan dalam program sistematis AS-Israel yang menghancurkan Gaza ...