Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU No.4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (Minerba), pemerintah memberi kesempatan kepada perusahaan tambang menghentikan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Pemerintah sebelumnya sudah memberikan tenggang waktu selama 5 tahun kepada perusahaan swasta untuk menerapkan kewajiban membangun pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri. Namun selama kurun waktu 5 tahun (dari 2009 s/d 2014) banyak perusahaan swasta yang tidak membangun smelter, termasuk dua perusahaan pertambangan besar yakni PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di Papua dan PT. Newmont Nusa Tenggara yang beroperasi di NTB. Akibatnya pada awal 2014, hampir tidak ada perusahaan yang siap mengolah sendiri hasil tambang mineral, dan jika peraturan itu tetap dilaksanakan sejumlah perusahaan terancam bangkrut dan balik mengamcam akan melakukan pemutusan hukuman kerja (PHK) karena perusahaan kehilangan pendapatan.
Ancaman pengusaha itu terbukti cukup efektif, menjelang waktu pemberlakuan UU Minerba pemerintah mengeluarkan PP nomor 1 tahun 2014 tentang Minerba dan diikuti dengan Permen ESDM nomor 1 tahun 2014. Aturan tersebut masih membolehkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan hingga tahun 2017. Patut diketahui bahwa konsentrat belumlah produk pemurnian. Padahal, UU Minerba pasal 170 tegas mengatakan, pemegang kontrak karya (KK) yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian. Berbekal ketentuan itu, sebanyak 66 perusahaan pertambangan, termasuk PT Freeport Indonesia dan Newmont masih dibebaskan mengekspor mineral mentah hingga 2017. Sembari menunggu itikad baik perusahaan tersebut membangun pabrik pemurnian (smelter) hingga 2017.
Penerapan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara yang resmi berlaku 12 Januari 2014, membuat CEO Freeport-McmoRan Copper & Gold Inc Richard C. Adkerson terbang dari markas besarnya di New York ke Indonesia. Perusahaan tambang terbesar di dunia itu keberatan dengan aturan main yang ada dalam UU tersebut. Mulai dari larangan ekspor bahan mentah hingga kewajiban membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Tidak itu saja, peraturan menteri keuangan tentang bea keluar ekspor konsentrat sebesar 60 persen juga membuat bos Freeport itu pusing. Dia mengeluh karena biaya ekspor bahan konsentrat dinilai terlalu tinggi. Menurut Bos Freeport, setidaknya dibutuhkan investasi USD 2 miliar atau setara dengan Rp 24,3 triliun untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru. Terkait bea keluar, ketika aturan pajak ekspor berlaku, Freport terkena tanggungan bea keluar 25 persen, lantaran produk konsentrat tembaga mereka baru diolah hingga kadar 30 persen. Besarannya bisa meningkat hingga 60 persen, jika perusahaan beroperasi di Timika, Papua ini tak juga mengolah konsentrat mereka hingga 100 persen sampai dua tahun mendatang. Penerapan bea keluar itu memang untuk semacam memaksa tiga tahun itu smelter-nya selesai. Namun Freeport meminta aga skema yang diberlakukan adalah tetap mengacu pada kontrak karya. Menurutnya dalam kontrak karya tidak ada pajak tambahan selain yang sudah disepakati. Sedangkan bea keluar, tidak tercantum dalam Undang-Undang.
Karena semua upaya melalui lobi tidak membuahkan hasil maksimal, Bos PT, Freeport itu kemudian mengancam akan melayangkan gugatan ke arbitrase internasional berkaitan dengan penerapan bea keluar progresif untuk produk mineral olahan dalam bentuk konsentrat yang mulai diterapkan mulai Januari lalu. Menanggapi ancaman tersebut, Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo mengatakan pemerintah lebih memilih melanggar kontrak karya dibanding melanggar undang-undang. Pemerintah akan menghadapi gugatan tersebut, namun sesuai ketentuan perusahaan kontrak karya yang ingin melanjutkan aktivitas pertambangan wajib membangun smelter. Pemerintah sebenarnya sudah cukup mengalah terhadap tuntutan perusahaan pertambangan, setelah tanggal 12 Januari 2014 pemerintah masih mengeluarkan aturan untuk menunda pelaksanaan larang ekspor sampai tahun 2017. Namun pemerintah menerapkan bea keluar sebagai upaya memaksa perusahaan agar segera membangun smelter. Pemerintah harus tegas terhadap penerapan UU No.4 tahun 2009, tidak perlu takut dengan ancaman perusahaan asing tersebut.
Pengamat ekonomi UI, Muslimin Anwar mengatakan setidaknya ada tiga keuntungan yang bisa diraih pemerintah jika kebijakan itu dijalankan. Pertama, betapa banyak devisa negara yang akan diselamatkan mengingat ketergantungan impor besi baja Indonesia masih tinggi. Konsumsi besi baja nasional pada tahun 2013 sekitar 10 juta ton itu tak mampu dipenuhi industri besi dan baja dalam negeri. Dari aluminium, kebutuhan nasional terus naik, kini antara 900 ribu sampai satu juta ton pada 2014. Jika barang-barang ini diproduksi di dalam negeri, maka akan menghemat devisa negara. Kedua, kebijakan ini akan berdampak kepada kewajiban mengolah bauksit menjadi alumina, ketimbang mengeskpor mineral bauksit mentah. Hal ini tentunya berdampak positif karena akan memperkuat industri hilir aluminium. Bagi Indonesia yang menjadi negara penghasil bijih nikel terbesar ketiga di dunia, penerapan kebijakan untuk pengolahan dan pemurnian bijih nikel sangat diperlukan. Dampak positifnya adalah akan semakin banyak pabrik pengolahan dan pemurnian mineral terbangun di dalam negeri, mengingat saat ini setengah produksi bijih nikel tersebut harus diekspor ke China. Keuntungan ketiga, penghentian ekspor sementara bauksit akan menurunkan jumlah pasokan di pasar komoditas internasional. Hal ini akan berdampak kepada perbaikan harga yang masih dianggap rendah saat ini.
Penerapan UU Minerba sejak 12 Januari lalu diharapkan akan membentuk mekanisme pasar baru yang dapat memperbaiki harga jual komoditas SDA (sumber daya alam) kita. Sementara itu kekhawatiran sebagian pihak bahwa negara akan kehilangan potensi pendapatan negara hingga US$ 4,5 miliar dari ekspor bijih mineral tidak perlu dibesar-besarkan. Muslimin beralasan, ada potensi keuntungan yang berlipat ganda dikemudian hari di balik kebijakan ini.
*) Penulis adalah peneliti senior di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
Sumber: theglobal-review.com