Pada tanggal 17 Juli 2015 saat masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam sedang bergembira, berbahagia dalam menyambut Hari Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, mendadak terbetik berita adanya penyerangan terhadap jamaah yang sedang melaksanakan sholat Ied serta terjadinya pembakaran masjid di kota Karubaga, Kapubaten Tolikara, Papua. Berita tersebut segera bergulung di media sosial yang kini menjadi tulang punggung penyebaran informasi di kalangan masyarakat.
Dengan jumlah lebih 82 juta orang, dengan netizen yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, kecepatan berita medsos bahkan mampu mengalahkan kecepatan media arus utama, mungkin juga arus kecepatan berita intelijen. Hal ini dikatakan oleh Kepala BIN baru, Sutiyoso yang kini membutuhkan tambahan 1.000 agen intel BIN baru untuk melengkapi penugasan intelijen.
Kekurangan para netizen pada umumnya, berita yang dilansir adalah informasi mentah yang belum diolah, dan bahkan banyak yang digoreng agar lebih sedap terbacanya. Beberapa mengutip tanggapan pejabat dan menganalisis hanya dari sudut pandang sektoral yang kadang menjadi berbahaya karena merangsang sensitifitas masyarakat atau juga menurunkan tingkat kepercayaan si pejabat. Kasus di Karubaga, Tolikara, Papua Humas Polri Brigjen Pol Agus Rianto mengatakan, Jumat (17/7/2015), kasus itu bermula saat umat Islam Karubaga Kabupaten Tolikara hendak menjalankan shalat Idul Fitri bertempat di lapangan Koramil. Tiba-tiba, sekelompok massa dari luar berteriak-teriak.
Umat muslim yang hendak shalat sontak kaget dan langsung melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk meminta perlindungan. Sepeninggalan umat muslim itu, masjid di Kabupaten Tolikara dibakar umat Nasrani menjelang shalat Ied, sekitar pukul 07. 00 WIT, Jumat (17/7). “Saat itu ada yang berteriak, lalu umat muslim itu yang hendak shalat itu langsung melarikan diri ke koramil,” kata Agus kepada media, Jumat (17/7).
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, inti persoalan adalah jemaat nasrani merasa terganggu dengan speaker masjid umat Muslim yang akan melakukan shalat Ied. Umat Nasrani mengklaim suara speaker yang dipasang di tengah lapangan menggangu ketenangan umum. Mereka kemudian meminta umat Muslim untuk membubarkan kegiatan shalat ied tersebut. Hal itu berujung pada perang mulut antara kedua kubu. Saat itulah kelompok nasrani melempari masjid dengan api hingga terbakar.
Kepolisian Papua melaporkan, selain Masjid, enam rumah dan 11 kios dilaporkan ikut terbakar. Kronologis berita Netizen; Kericuhan bermula saat Jamaah muslim akan memulai kegiatan shalat Ied pada pukul 07.00 WIT, di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga, Pendeta Marthen Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo (koorlap) yang menggunakan megaphone berorasi dan menghimbau kepada jamaah shalat Ied untuk tidak melaksanakan ibadah shalat Ied di Tolikara.
Saat memasuki Takbir ketujuh, massa Pendeta Marthen Jingga dan Harianto wanimbo (Koorlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga dan luar lapangan Makoramil, meminta secara paksa pembubaran Shalat Ied dan mengakibatkan jamaah panik, sehingga shalat Ied bubar sebelum selesai. Pada pukul 07.10 WIT, massa pimpinan pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai melakukan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang berada dekat dengan masjid Baitul Muttaqin.
Pada sekitar pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan dari kesatuan Brimob dan Yonif 756 yang melakukan pengamanan mencoba mengusir para pelaku hingga mengeluarkan tembakan peringatan guna membubarkan massa yang melakukan pelemparan ke arah jamaah. Diketahui beberapa penyerang mengalami luka tembak dan sudah dibawa ke Rumah Sakit, namun massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu kepada aparat keamanan.
Kemudian massa yang marah dengan tembakan peringatan dari aparat keamanan melakukan aksi pembakaran kios yang berada di dekat masjid milik bapak Sarno yang kemudian merembet membakar habis masjid Baitul Muttaqin serta 13 kios pedagang. Sebelum kejadian, ada sebuah surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIDI (Gereja Injili di Indonesia) ditujukan kepada umat Islam se Kabupaten Tolikara. Isinya menyatakan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada seminar dan KKR Pemuda GIDI Tingkat Internasional. GIDI melarang membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015 di Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga). Dilarang kaum muslimat memakai Yilbab (Jilbab). Surat tersebut ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda S.Th. Surat tertanggal 11 Juli 2015 dan dikirimkan tembusannya kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, serta Danramil Tolikara.
Terkait surat tersebut, Presiden GIDI, Dorman Wandikbo mengakui memang ada surat edaran berisi larangan adanya kegiatan Lebaran bagi umat Islam. Namun dia menegaskan, isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran mushala terjadi. “Sudah saya klarifikasi bahwa isi surat itu tidak benar dan salah. Karena tidak ada yang boleh melarang umat Islam beribadah di hari raya,” kata Dorman kepada merdeka.com, Jumat (17/07).
Dorman juga mengaku sudah memberitahukan kepada GIDI Wilayah Tolikara selaku pembuat dan penanggungjawab keluarnya surat edaran tersebut. “Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat muslim di Wilayah Toli. Ini hanya kesalahpahaman dan miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara,” kata Dorman.
Atas kejadian tersebut, Direktur Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama, Oditha R Hutabarat, menyatakan, pihaknya telah menghubungi ketua Sinode Gereja Injil di Indonesia (GIDI) untuk meminta keterangan sekaligus meminta mereka menyampaikan permohonan maaf. “Saya telah menghubungi ketua Sinode GIDI agar segera membuat surat penjelasan kronologis kejadian sekaligus pernyataan permohonan maaf kepada umat Islam Indonesia terkait dengan peristiwa itu,” kata Hutabarat, di Jakarta, Jumat (17/7).
Hutabarat juga menghubungi Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) di mana GIDI berafiliasi. PGLII diminta agar bisa bersama-sama menempuh langkah-langkah strategis menyikapi persitiwa itu. Hutabarat bersama pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia akan mengadakan konferensi pers di Kantor Pusat PGI, Jakarta, untuk memberikan penjelasan sekaligus menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam.”Atas nama pemerintah kami mohon maaf atas peristiwa yg melukai hati umat muslim yang adalah saudara-saudara kami sebangsa dan setanah air.
Kami berharap agar masalah ini dapat diselesaikan sesuai peraturan perundangan berlaku,” katanya. Antara GIDI dan Tolikara Penulis saat masih aktif pernah dua tahun bertugas di Papua (Biak) pada satuan Intelijen Kodau-VII (1981-1983). Selama penugasan, penulis mengunjungi pelosok Papua yang saat itu masih bernama Irian Jaya. Baca artikel “Ada Yang Menggoreng Papua?”, http://ramalanintelijen.net/?p=4275.
Masyarakat pedalaman yang notabene masih sangat rendah pendidikannya sangat mudah dipengaruhi untuk suatu tujuan tertentu. Sehingga ide OPM masih terus muncul hingga kini. Diakui bahwa sejak lama kegiatan misionaris asing tanpa kenal lelah banyak mengunjungi pedalaman Irja dalam penyebaran agama Kristen, selain itu mereka mencoba meningkatkan pengetahuan masyarakat. Mereka menggunakan pesawat terbang khusus dan ada yang bahkan kemudian berjalan kaki mengingat belum adanya jalan raya untuk kendaraan.
Karubaga adalah ibukota dari Tolikara. Kabupaten Tolikara memiliki luas wilayah 5.234 km2 yang terbagi menjadi 4 kecamatan dengan Karubaga sebagai ibukota kabupaten. Kabupaten ini memiliki penduduk sebanyak 54.821 jiwa (2003). Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Sarmi di sebelah utara, Kabupaten Jayawijaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di sebelah barat dan Kabupaten Jawawijaya di sebelah Timur. Dari keempat distrik yang ada (Karubaga, Kanggime, Kembu dan Bokondini), hanya distrik Karubaga dan Kanggime yang dapat dijangkau melalui udara dan jalan darat. Melalui udara, Distrik Karubaga atau Kanggimi dapat dicapai dari Wamena dalam waktu sekitar 20 menit.
Sementara GIDI (Gereja Injili di Indonesia) dalam bahasa Inggris The Evangelical Church of Indonesia adalah sebuah organisasi yang terdaftar secara resmi di Kemenag. GIDI Terdaftar sebagai Gereja : Depag RI No. E/Ket/385/1745/76 terdaftar Ulang : No. F/Kep/43/642/89 Akte : No. 15 Tanggal 06 1989. Alamat resmi di Jl. PLN. No. 7 Sentani, Jayapura, Provinsi Papua, Indonesia. Po.Box 99352. telp. (0967) 591291. Visi GIDI ‘Umat GIDI Masuk Sorga (The Community of GIDI Enter Heaven)’. Adapun, misinya adalah Penginjilan, Pemuridan, Pembaptisan, dan Pengutusan. GIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari Badan Misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond.
Setelah merintis pos di Senggi termasuk membuka lapangan terbang pertama Senggi (1951-1954), pada tanggal 20 Januari 1955 ketiga misionaris beserta 7 orang pemuda dari Senggi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem di Hitigima dengan menggunakan pesawat amphibi ‘Sealander’.
Kemudian mereka melanjutkan misi dengan berjalan kaki dari Lembah Baliem ke pegunungan Jayawijaya melalui dusun Piramid. Dari Piramid bertolak menyeberangi sungai Baliem dan menyusuri sungai Wodlo dan tiba di Ilugwa. Setelah mereka beristirahat lanjutkan perjalanan ke arah muara sungai Ka’liga (Hablifura) dan akhirnya tiba di danau Archbol pada tanggal 21 Februari 1955. Di area danau Acrhbold disinilah pertama kali mereka mendirikan Camp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan dengan dasar visi: ‘menyaksikan Kasih Kristus Kepada segala Suku Nieuw Guinea’.
Analisis Dari fakta-fakta tersebut diatas, nampaknya ada sebuah kepekaan yang terasa kurang tajam dikalangan aparat keamanan dan intelijen. Masalah penyerangan kegiatan ibadah umat muslim adalah masalah prinsip yang bisa mengundang reaksi keras dan berbahaya dari umat muslim lainnya. Sejak dahulu, intelijen selalu mewaspadai apabila muncul indikasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Terlebih kini kasus menyentuh kegiatan puncak ibadah bulan Ramadhan yaitu sholat Ied. Para kaum muslim di belahan lain bergembira dan berbahagia, saling memaaf-maafkan, kini justru terjadi penyerangan jamaah saat shalat Ied dan ditambah dibakarnya Mesjid yang dipercayai sebagai rumah suci (Allah).
Disini dibutuhkan segera langkah cepat aparat keamanan serta intelijen untuk menetralisir rasa kebencian antara agama. Di dunia internasional beberapa kasus seperti penembakan Charlie Hebdo di Perancis, penembakan di Texas dan kasus di Lindt Cafe terkait dengan agama, yaitu penghinaan Nabi Muhammad. Penulis melihat apabila pemerintah tidak segera melakukan langkah penenteraman dan mengambil sikap tegas terhadap para pelaku, maka bisa dimungkinkan muncul aksi pembalasan di daerah lain.
Masyarakat di Indonesia pernah mengalami konflik agama berkepanjangan di Ambon dan Poso misalnya, cukup lama aparat keamanan menyelesaikannya setelah banyaknya korban jatuh. Selain itu kini terdapat beberapa kelompok garis keras Islam yang menghujat pembakaran mesjid Karubaga tersebut. Sebagai contoh FPI sudah menyebarkan seruan menuntut agar pemerintah bertindak tegas, para pelaku segera ditangkap. Imam besarnya Habib Rizieq mengisyaratkan Laskar FPI Siaga-I untuk membalas dendam ke Tolikara. Penyelesaian kasus tidak cukup dengan komentar dan tanggapan pejabat pemerintah dengan santai agar meningkatkan toleransi beragama, tetapi langkah yang lebih konkrit dibutuhkan. Perlu diingat bahwa kelompok teroris, JAT ataupun ISIS misalnya bisa memanfaatkan momentum seperti ini, karena aksi mereka bisa saja di dukung umat Islam lain yang merasakan dendam.
Pemerintah supaya berhati-hati terhadap kemungkinan aksi lone wolf, yaitu mereka yang tidak terkait dengan teroris tetapi mau melakukan aksi teror perorangan karena meradikalisasi dirinya sendiri. Hal ini telah terjadi dalam kasus teror di Amerika, Perancis, Tunisia, Kuwait dan Australia. Beberapa kasus di Timur Tengah antara Islam Sunni dengan Syiah saja sudah menyebabkan jatuhnya korban sangat banyak, terlebih ini kasus antar umat agama lain jelas jauh lebih berbahaya.
Kesimpulannya, sudah cukup para pejabat bersantai, berlibur dan bersilaturahmi. Kini ada sebuah percikan berbahaya dari Papua yang harus segera ditangani. Jelas dalam penerapan Pancasila dan berdemokrasi masyarakat kalangan bawah belum memahaminya dengan betul. Mereka hanya bersikukuh dengan apa yang dipercayainya dari tokoh-tokoh agamanya masing-masing. Ini adalah tugas pemerintah beserta partai politik. Tanpa adanya pendidikan dan pemahaman politik terhadap perkembangan jaman, maka kita akan terbelit dengan konflik-konflik pada grass root.
Format damai dalam kehidupan beragama perlu kembali diterapkan. Perlu langkah cepat, antisipatif mengingat pada akhir tahun 2015 kita akan melaksanakan pilkada serentak. Papua menurut penulis adalah wilayah atau trouble spot yang perlu di “inteli” dengan ketat. Artinya dimonitor karena mudahnya mereka diprovokasi. Rendahnya pendidikan di sebuah daerah akan sangat mudah memicu militansi radikal yang tidak peduli dan mau melakukan aksi kekerasan. Kasus ini bisa saja disebut sebagai keteledoran dan kurang peduli terhadap informasi, kalau informasi intelijen rasanya juga belum.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net