Telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah berdoa : “Allahumma Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu, kelezatan hidup setelah mati, dan dapat melihat wajah-Mu serta merindukan pertemuan dengan-Mu.”
Diriwayatkan pula dari Abu Darda r.a bahwasanya ia berkata, ”Aku menyukai maut karena kerinduanku yang sangat kepada Tuhanku.”
Seseorang yang merindukan untuk bertemu dengan Allah Ta’ala, ia mempunyai sifat mutabarrim (bosan/ jemu) terhadap kenikmatan dunia ini dan segala rupa pesona manusia. Ia akan merasakan lebih bahagia apabila dalam kesunyian dan kesederhanaan yang memungkinkan bisa lebih dekat dengan Allah. Ia lebih merasakan nikmatnya khalwah dan dalam kesendirian memuji-Nya. Ia mempunyai kesanggupan untuk menghindari dari jerat kenikmatan duniawi. Ia menyukai kesederhanaan, tazkiyatun nafs maupun hati dan menjauhkan diri dari keserakahan dan sifat-sifat tidak terpuji yang dimiliki kebanyakan para makhluk. Kehidupannya penuh rasa syukur dan sabar atas apa saja yang diterima dari Allah. Hanya kepada-Nya ia menyampaikan keluhannya, karena memang hanya Dia yang benar-benar dapat mengobati setiap keluh kesah para hamba-Nya. Hanya kepada-Nya ia menyampaikan rintihan kepedihan hatinya, karena memang hanya Dia yang pantas menerima rintihan dari semua makhluk-Nya.
Tiada ia merasa berduka cita meskipun ia sangat dekat dengan kekurangan, penderitaan dan kegelisahan. Ia terbiasa dengan kamad (kesedihan yang disembunyikan) dan syaghaf (keinginan keras) untuk dapat menjaga kalaf (cinta yang keras dan penuh keheranan)nya.
Lisannya tidak pernah berhenti menyebut kepada Yang Dicintai. Pikiran dan hatinya merasa jinak dengan-Nya, tidak hendak lari meskipun oleh-Nya diberi ujian atau cobaan yang terus menerus. Ia selalu membangkitkan al-himmah (kemauan keras) untuk selalu dapat memenuhi apa saja yang menjadi ketentuan-ketentuan Allah.
Orang yang benar-benar merindukan Allah akan bisa dengan mudah melupakan penderitaan, kekurangan dan nasib buruk yang menimpa dirinya, karena semua itu tertutup penuh dengan rasa rindunya kepada Allah Azza wa Jalla. Ketakutan yang dirasakan hanyalah ketakutan kalau ia tidak dapat sampai dan bertemu dengan-Nya. Dengan itu ia akan berusaha dengan segala daya memotong segala penghalang yang menutup pintu untuk sampai dan bertemu dengan-Nya.
Disadarinya kalau dirinya berada dalam negeri ujian, dan karenanya ia selalu bertindak dengan penuh kehati-hatian.
Unus, adalah jinak-senang hati terhadap Allah. Para bijak bestari berpendapat bahwa unus itu lebih halus dan lebih manis dari sekadar kerinduan, karena orang yang dilanda rindu itu masih terdapat jarak yang terbentang antara dia dengan Yang Dirindukan. Dan unus terasa lebih dekat dengan Allah.
Rasulullah Saw menerangkan tentang kedekatan ini dalam sabdanya : “Sedekat-dekat seorang hamba kepada Tuhannya ialah di saat ia bersujud. Karena itulah hendaklah kamu memperbanyak doa (ketika sujud), sehingga patutlah untuk dikabulkan doamu itu.”
Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Umar r.a : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka bila ternyata engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat engkau.”
Pada saat itulah sebenarnya ditunjukkan kepada Umar tentang qurub (dekat)nya Allah Azza wa Jalla dan qiyam (pengurusan)-Nya atas diri seorang hamba. Dengan mengetahui perihal kedekatan Allah inilah kita akan lebih merasa percaya diri dalam mengikuti semua kehendak-Nya, walau dalam maqam yang bagaimanapun.
Barangsiapa yang maqamnya al-khauf karena sangat dekatnya dengan Allah –dan ia sudah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat– niscaya ia akan sampai pada al-hadzar (ingat dan waspada), khauf dan al-khasiyah (takut karena mengetahui).
Barangsiapa yang berada dalam maqam al-mahabbah (cinta) karena ia menyadari qurub-nya dengan Allah Ta’ala, menyadari bahwa Allah Swt melihat dirinya, maka niscaya ia akan mencapai kesenangan, kegairahan, dan kenikmatan yang hal ini mendorongnya untuk cepat-cepat memohon ridha-Nya agar didekatkan kepada-Nya dan dapat pula melihat Allah Swt. Ia berlomba-lomba untuk mencapai cita-citanya dalam ber-qurub kepada Allah dengan berbuat kebaikan dan mencintai-Nya.
Dalam semangat berlomba-lomba tersebut tidak jarang menemui batu ujian dari-Nya. Namun terhadap itu semua, ia bersifat sabar dan dengan kesungguhan hati mustamirroh (terus menerus) mengadakan pembenahan diri.
Bila seorang hamba telah memiliki kesabaran, maka ia pun akan merasa ringan dalam memikul taklif (beban) sebagai seorang hamba yang penuh dengan batu ujian.
Seorang yang unus dan qurub dengan Allah swt, ialah ia selalu hadir dengan dzikir kepada Allah dalam hatinya, ia merasakan qurub-Nya dan tidak pernah melupakan-Nya kapan dan di mana pun ia berada. Dan adalah Allah Azza wa Jalla yang qurub-Nya mendahului hadir kepadanya sebelum yang lain. Yang demikian itu karena hatinya telah disinari oleh nur (cahaya) qurub-Nya , dan dengan nur tersebut ia melihat segala sesuatu dengan-Nya, sehingga ia dapat mengambil dalil dan bukti atas segala sesuatu.
Orang yang unus tidak akan ada tempat lagi baginya duka cita, semua duka telah sirna dari relung hatinya. Dalam qurub terhadap-Nya yang ada hanyalah suka cita sejati.[]
(Disarikan dari : “Benar” dalam Rindu kepada Allah; dan “Benar” dalam “Unus”, dalam buku “Ath-Thariqu Ilallaah“, Napak Tilas Jalan Allah, Asy-Syekh Abdul Halim Mahmud, 1994)
Source: Demi Maha Cinta