Penulis : Datuak Alat Tjumano *)
Semangat anti NKRI, menolak dana otonomi khusus serta menginginkan Papua lepas dari Indonesia semakin menguat di tanah Papua bahkan diluar Papua, sebagai contohnya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Jawa Barat menolak RUU pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat. RUU tersebut disinyalir sarat dengan kepentingan pemerintah pusat di Jakarta. Sementara pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi tingkat dan kemajuan pembangunan di 19 Kabupaten Provinsi Papua dan 8 Kabupaten di Provinsi Papua Barat yang sudah dimekarkan sebelumnya.
Menurut AMP, DOB hanya membuka lahan baru untuk TNI dan Polri dengan bisnis gelapnya, seperti melakukan pembekingan terhadap pemasok minuman keras (miras), membuka tempat prostitusi, illegal logging, ditambah dengan sepak terjang soal kejahatan kemanusiaan di tanah Papua yang belum berakhir.
Menurut penulis, esensi aktivitas dan sikap dari fakta ini menggambarkan adanya upaya mobilisasi massa untuk aksi menolak UU Otsus di DPR RI, dengan menyebarkan image negatif bahwa pemekaran dan DOB (Daerah Otonomi Baru) hanya untuk kepentingan Jakarta, tidak ada manfaatnya bagi rakyat Papua, DOB hanya obyek eksploitasi/pemerasan oleh orang-orang luar Papua dan DOB mengakibatkan rakyat Papua semakin terpuruk nasibnya.
Penulis memperkirakan bahwa ajakan meluasnya sikap anti konsep Otonomi Khusus bagi Papua akan terus dikumandangkan, dengan wacana yang dikembangkan oleh kelompok ini adalah pemekaran tidak memberikan manfaat kepada rakyat Papua, serta pemekaran hanya alat untuk menarik simpati agar orang Papua senang, tetapi hakikatnya penipuan dan penyesatan bagai rakyat Papua, sehingga tidak perlu ada pemekaran di Papua lagi.
Adanya informasi yang diperoleh penulis dari aktivis di Papua bahwa pada akhir Oktober 2013, Ketua BEM FISIP Uncen mengirim surat terbuka kepada Rektor Uncen, dekan, ketua jurusan/Prodi, dosen, organisasi mahasiswa PTN/PTS dan OKP se-Kota Jayapura yang berisi tentang penolakan atas penyusunan draf RUU Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus). Dalam surat terbuka tersebut disampaikan bahwa, keterlibatan Uncen dalam perumusan draf RUU Otsus Plus merupakan pesanan dari Lukas Enenmbe dan Velix Wanggai. Dalam draf Otsus Plus buatan Lukas Enembe dan Velix Wanggai merupakana plagiat dari UU Pemerintahan Aceh, hal tersebut ditunjukan dengan ditemukannya kata “berlandaskan Syari’at Islam” dalam RUU tersebut.
Secara langsung atau tidak langsung, adanya surat terbuka ini dapat diterjemahkan sebagai propaganda yang bertujuan menghasut rakyat Papua agar menentang kebijaksanaan Otsus Papua, karena bukan murni pemikiran rakyat Papua. Disamping itu, melibatkan Universitas Cendrawasih supaya seolah olah Universitas Cendrawasih ikut menyusun konsep otonomi khusus. Propaganda ini mempunyai tujuan akhir yaitu Otsus Papua harus mendapat dukungan rakyat melalui referendum.
Acara jumpa pers di Cafe Prima Garden, Abepura, Papua, yang diadakan Koalisi Mahasiswa Papua Bangkit (KMPB) dan Forum Peduli Kawasan Biak (FPKB) pada akhir Oktober 2013, dimana dalam kesempatan tersebut Mully Wetipo, Ketua KMPB mengatakan, sejauh mana kinerja lembaga yudisial dalam menangani kasus yang selama ini dilaporkan kepada Polda Papua dan Kejaksaan Tinggi Papua. Kejaksaan Tinggi Papua dan Polda Papua diminta untuk membentuk tim khusus guna menindaklanjuti kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat. Mully Wetipo juga menolak program otonomi kusus yang akan diberikan kepada Papua dan Papua Barat, karena berdasarkan pengalaman, otonomi khusus atau otonomi plus belum memberikan distribusi yang baik kepada masyarakat Papua.
Menurut penulis, hakikat aktivitas dan sikap dari kegiatan jumpa pers ini adalah aksi mendesak dilakukannya penegakan dan tindakan hukum terhadap koruptor, menolak Otsus Papua dan membangkitkan semangat untuk bergolak dengan menganjurkan pemuda dan mahasiswa bergabung dalam Kesatua Aksi Mahasiswa Papua Bangkit.
Sementara itu, di Papua masih ada sekelompok kepentingan yang terus menebarkan kebencian dan sikap yang anti TNI, sehingga pernyataan-pernyataan yang ingin mengumandangkan sikap anti TNI agar terus terdengar. Bahkan, pendadakan strategis yang perlu diantisipasi adalah orang Papua yang menjadi anggota TNI dimusuhi, dianggap pengkianat bagi rakyat Papua. Kondisi ini diperkuat dengan kejadian penikaman terhadap anggota TNI pada 3 November 2013 di jembatan masuk Pasar Youtefa, Distrik Abepura, Jayapura, Papua oleh OTK.
Adalah sebuah fakta yang mengejutkan ketika tanggal 28 Oktober 2013 di Kampus Uncen, Papua, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, sebanyak 8 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasi (Fisip Uncen) mencabut umbul-umbul merah putih di sekitar kampus Uncen. Terkait dengan aksi tersebut, koordinator aksi mempertanyakan kepada para Dosen Uncen, alasan umbul-umbul merah putih ditancapkan di lingkungan kampus. Apakah orang Indonesia telah memberi makan dan kuliah gratis kepada orang-orang Papua sehingga dapat melakukan hal tersebut.
Menurut penulis, tindakan aktivis mahasiswa dari Fisip Universitas Cendrawasih (Uncen) ini ingin menunjukkan dan menyebar luaskan sikap bahwa Merah Putih bukan bendera rakyat Papua, sehingga mereka menentang dikibarkannya bendera merah putih serta menolak digunakannya warna Merah Putih sebagai hiasan umbul-umbul.
Kesimpulan :
Gerakan-gerakan anti RI yang dilakukan oleh sekelompok kepentingan di Papua semakin luas spektrumnya, memberikan perkiraan gerakan anti RI semakin aktif dan intensif dilakukan, bahkan Papua dapat menjadi “wild card” yang menimbulkan “spin off” melebar kemana-mana, terutama apabila Presiden hasil Pemilu 2014 tidak tegas dan tidak berani.
Apa yang terjadi di Papua menggambarkan Papua berada dalam situasi status quo, secara formal merupakan wilayah kekuasaan RI, namun pada kenyataannya terdapat suasana anti RI yang bersifat serius dan total, dalam arti suasana ingin merdeka berkecenderungan menguasai sikap umum semua unsur masyarakat Papua. Dikhawatirkan semua orang Papua sudah memimpikan kemerdekaan. Oleh karena itu, perang komunikasi dan informasi secara semesta atau information warfare di Papua adalah sebuah keniscayaan untuk segera direalisasikan.
*) Penulis adalah pengamat dan analis di Forum Dialog (Fordial) serta pernah mengadakan penelitian di Papua dan Papua Barat.
Sumber: theglobal-review.com