Dakwah dan Perjuangan Trah Diponegoro
Raden Mas Ali Dipawangsa memiliki empat orang putera, yaitu Raden Mas Suramenggala, Raden Mas Ali Diporudin yang dimakamkan di Kedung Paruk, Kyai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas yang dimakamkan di Sokaraja, dan putera terakhir yang belum diketahui namanya yang menurunkan Mbah Abu Bakar.
Raden Mas Muhammad Ilyas
Raden Mas Muhammad Ilyas adalah putra kedua RM Ali Dipawangsa. Sebelum pindah ke Sokaraja ia berdiam bersama sang Ayah di Kedung Paruk memperdalam ilmu agama. Sejak kecil, RM Muhammad Ilyas mengaji kepada orangtuanya, kemudian setelah beranjak dewasa, Ilyas remaja belajar agama di Surabaya kurang lebih 10 Tahun lamanya.
Beliau mengaji sama Kiai Ubaidah dan juga Kiai Abdurrahman. Dari keduanya, RM Muhammad Ilyas mendapatkan sanad Thariqah Naqsyabandiyyah. Lalu, Muhammad Ilyas berangkat meningkatkan ilmu agamanya ke Makkah.
RM Muhammad Ilyas berguru dengan Syaikh Sulaiman az-Zuhdi dari Turki. Di Makkah ini, RM Muhammad Ilyas digembleng menjadi seorang ahli ilmu agama selama kurang lebih 30 tahun lamanya.
Setelah itu, ia melanjutkan keguruannya ke Baghdad, di sana mengaji agama selama 10 tahun. Setelah dari Baghdad, RM Muhammad Ilyas pulang ke Banyumas dan kemudian berdakwah.
Ketika tinggal di Makkah, RM. Muhammad Ilyas hidup prihatin. Ia selalu masak nasi sendiri yang dengan sengaja dicampuri pasir olehnya. Sewaktu hendak makan nasi, pasir itu satu persatu diambilnya dari sela-sela nasi yang ada di piringnya, baru kemudian ia makan. Hal itu dilakukannya untuk melatih kesabaran dan agar tidak rakus terhadap makanan.
Dikisahkan saat berguru di Makkah, anak angsa kesayangan sang Guru jatuh ke dalam jumbleng (tempat menampung tinja). Gurunya bingung, murid-murid lain pun bingung tak tahu harus berbuat apa. RM. Muhammad Ilyas yang kemudian turun ke jumbleng untuk mengambil angsa itu. Sampai di atas, masih berlumuran tinja, Mbah Ilyas dipeluk oleh gurunya.
Ketika pulang dari Makkah, RM. Muhammad Ilyas tiba di Jawa bersama tiga orang teman seperguruan lainnya, salah satunya adalah Mbah Sholeh Darat, Semarang. Namun yang diberi ijazah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi (silsilah tarekat ke-32) untuk mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah hanyalah Mbah Ilyas dan satu orang teman Mbah Ilyas.
Awalnya, RM. Muhammad Ilyas menyebarkan ajaran tarekat dari langgarnya di Kedungparuk, namun sambutan luas masyarakat membuat pemerintah Belanda gerah, sehingga Mbah Ilyas ditahan pada 1888 dengan tuduhan melawan pemerintah.
Saat berada di penjara Belanda dekat Alun-alun Banyumas itu, pada malam harinya terlihat sinar terang keluar dari sel di mana RM Ilyas ditahan.
Syaikh Abu Bakar, Penghulu Landraad Banyumas, kemudian datang ke penjara setelah mendapat laporan mengenai keanehan itu. Mengetahui bahwa yang dipenjara ternyata bukan orang biasa, akhirnya RM Muhammad Ilyas dikeluarkan dari penjara oleh Syaikh Abu Bakar dengan syarat ia bersedia menjadi menantunya.
Setelah bebas dari tahanan Belanda, RM Muhammad Ilyas kemudian pindah dan selanjutnya menetap di Sokaraja Lor dan meneruskan perjuangannya dalam mengembangkan ajaran tarekatnya. Hal itu disebabkan karena ia hanya diijinkan mengajar tarekat dari masjid wakaf mertuanya, yaitu Penghulu Landraat Syekh Abubakar, di Sokaraja Lor ini.
Kyai Haji RM. Muhammad Ilyas wafat dan dimakamkan di Sokaraja Lor di belakang Masjid wakaf dari Syekh Abu Bakar dengan tembok hijau di belakangnya dengan tulisan yang berbunyi “Kyai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas Bani P. Diponegoro” berdasar layang kakancingan angka 11553 yang dikeluarkan pada 18 September 1960 M oleh Pangageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sedangkan di bagian depan atas makam tulisan berbunyi “Makam Kyai Haji Muhammad Ilyas, Guru Mursyid, Thariqah an-Naqsyabandiyyah al-Mujaddadiyyah al-Khalidiyyah, Wafat 29 Shafar 1334 H.”, atau Senin 4 Januari 1916. Mursyid adalah guru pembimbing tarekat yang telah mendapat ijin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya dan bersambung sampai Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Abdul Malik
Salah satu putra RM Muhammad Ilyas adalah Muhammad Abdul Malik, guru spiritual Habib Lutfi bin Ali bin Yahya dari Pekalongan. Muhammad Abdul Malik lahir di Kedungparuk pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M) dengan nama Muhammad Ash’ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur’an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.
Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya, RM Muhammad Ilyas wafat pada usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki.
Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syaikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, Syaikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Selama bermukim di Makkah, Syaikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama 35 tahun penuh, karena disamping belajar di tanah Suci, beliau juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun termasuk dalam aktifitas beliau membimbing haji.
Di antara guru-guru Syeikh Abdul Malik selama belajar di tanah air maupun di Tanah Suci adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’, keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Syekh Abdul Malik sendiri merupakan Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyyah sekaligus Mursyid Syadziliyyah. Sanad Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh RM. Muhammad Ilyas. Sedangkan sanad Thariqah Syadzaliyyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Mali gigih berdakwah dengan meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliaupun pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah.
Pada masa Gestapu, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup.
Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.
Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH. Hasan Mangli (Magelang), Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.
Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.
Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH. Muhammad Ilyas Noor (Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah), KH. Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH. Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH. Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban.
Ketika pintu dibuka, rupanya Sang Mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedungparuk, Purwokerto.
Oleh: Subhan Mustaghfirin, Penulis Sejarah dan tinggal di Yogyakarta.
Source: Republika