Home / Ensiklopedia / Analisis / Pangeran Diponegoro: Dakwah, Genealogi Spiritual dan Perjuangannya (1)

Pangeran Diponegoro: Dakwah, Genealogi Spiritual dan Perjuangannya (1)

Profil Pangeran Diponegoro

Menurut sumber-sumber Belanda, Diponegoro digambarkan sebagai pria bertubuh gempal dan tingginya sedang. Namun, perawakannya tegap dan dia memiliki stamina yang luar biasa. “Diponegoro seperti terbuat dari besi,” kata salah seorang opsir Belanda De Kock. Diponegoro mempunyai daya magisnya sendiri yang kuat. Hal itu yang membuatnya tetap menawan di mata perempuan.

Peter Carey menambahkan, meski wajah Diponegoro tak setampan Arjuna, kharismanya tak dianggap sebelah mata oleh orang-orang Jawa. Tetapi meskipun Pangeran Diponegoro memiliki daya tarik besar dan merupakan pribadi yang hangat apabila berhadapan dengan lawan jenis, dia tak dikenal sebagai seseorang yang humoris. Orang-orang Eropa justru menilainya sebagai pribadi yang kaku dan menakutkan.

Pernikahan Pangeran Diponegoro yang pertama terjadi pada 1803 ketika beliau masih berusia 27 tahun dan nenetap di puri Tegalrejo. Sang Pangeran menikah dengan Raden Ayu Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dadapan, seorang ulama terkemuka di desa Dadapan, perbatasan Kedu-Jogjakarta. Kyai Gede Dadapan adalah seorang kepala wilayah di Pathok Nagari (Batas Wilayah), sekaligus sebagai pengikut setia keluarga Sultan.

Kyai Gedhe Dadapan juga pernah menjadi salah satu pengasuh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Kyai Gedhe Dadapan sering berkunjung dan menginap di lingkungan Puri Tegalrejo untuk menjalankan tugasnya mengantar kebutuhan Ratu Ageng. Pada saat itulah beliau sering ikut mengasuh Pangeran Diponegoro kecil yang masih bernama Ontowiryo (Antawirya).

Ratu Ageng, istri Hamengkubuwono I, adalah sosok perempuan tangguh yang mendampingi suaminya manakala bergerilya dalam Perang Mangkubumen sampai perjanjian Giyanti. Dia juga dikenal sebagai “Sufi Perempuan” yang memperdalam spiritualitas dan memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Itu karena Ratu Ageng merupakan cucu Kyai Datuk Sulaiman Bekel Jamus putra sulung Sultan Abdul Qohir Bima yang berguru di Giri, tempat dimana Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro juga berguru di Giri sebelum berdakwah ke Sulawesi dan Bima.

Kyai Datuk Sulaiman Bekel Jamus memeristri putri Ki Ageng Wiroyudo dari Jawa Timur dan menurunkan Rara Widuri yang diperistri oleh Ki Derpayuda dari Mahangjati Sragen dari trah Janjeng Ratu Ma Sekar. Dia putra Pabembahan Hanyakrawati dan menurunkan Niken Lara Yuwati yang diperistri oleh Pangeran Mangkubumi, kemudian memilih keluar dari keraton dan menetap di Tegalrejo sehingga dikenal dengan Ratu Ageng Tegalrejo.

Nyai Ageng Tegalrejo dikenal memiliki jiwa militer karena dalam darahnya mengalir gen Sultan Abdul Qahir, Bima. Di bawah komando Ratu Ageng, korps Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan, mengalami kemajuan.

Kelak, beberapa tahun menjelang Perang Jawa, korps Prajurit Estri peninggalannya ini membuat utusan negara Eropa melongo dan terkagum-kagum saat menyaksikan keterampilan para pendekar perempuan mengendarai kuda, melepaskan tembakan salvo, dan ketepatan membidik.

Korps Prajurit Estri Mataram konon telah ada sejak Retno Dumilah putri Pangeran Timur, yang mempertahankan Madiun dari serangan Mataram yang dipimpin Panembahan Senopati. Ide pendirian Korp Prajurit Estri kemungkinan terinspirasi dari ketangguhan sosok bibinya Ratu Kalinyamat yang banyak mengirim ekspedisi militer menghadapi Portugis di Malaka dan Maluku.

Konon Nyai Adisara (putri Sunan Prawoto) dan Retno Dumilah (cucu Sultan Trenggoni), dua istri Senopati mendapat latihan militer dari Jepara di usia mudanya).

Mendalami Tasawuf dengan Bertarekat Syatthariyyah

Di tangan Ratu Ageng, yang mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan beraksara Pegon, Diponegoro diseret ke dalam keasyikan dunia pengetahuan fiqh sekaligus tasawuf. Buyut puterinya membuatkan sebuah balairung luas di samping tempat tinggalnya khusus bagi para ulama untuk berdiskusi dengan beragam tema, dari fiqh hingga tata negara.

Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Rafi’i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakariyya al-Anshari merupakan favorit bacaannya.

Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Diponegoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pangeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattariyah. Ini dilacak dari kebiasaan dia membaca kitab Tuhfah al-Mursalah ilâ al-Rûhin al-Nabiyy karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.

Kitab Tuhfah al-Mursalah ilâ al-Rûhin al-Nabiyy karya Syaikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri ini adalah kitab fenomenal pada zamannya. Kitab ini tidak hanya masyhur di India dan Nusantara tetapi di seluruh dunia Islam. Bahkan sampai ke jantung dunia Islam di Mekkah dan Madinah.

Syekh Ibrahim al-Kurani, seorang Mursyid Tarekat Syatthariyyah, dari Madinah pun sempat menulis kitab tersendiri khusus membahas Kitab Tuhfah ini, yaitu Kitab Ithaf ad-Dhaki yang ditujukkan kepada para muridnya di Jawa (terkhusus ditujukan kepada Syekh Abdurrauf Singkel, Aceh).

Kitab Tuhfah ini merupakan eksplanasi ringkas tentang ajaran “tajalli ilahi” dari Ibnu ‘Arabi dalam Kitab Futuhat al-Makkiyyah yang telah diadaptasi dengan tradisi India. Dia menjelaskan falsafah sufisme tentang ajaran “martabat tujuh” derivasi dari ajaran “tajalli ilahi“. Kelak kitab ini disadur dan diadaptasi ulang ke dalam tradisi Jawa oleh Ronggowarsito dalam kitabnya Wirid Hidayat Jati.

Menurut Oman Fathurrahman, filolog UIN Syarif Hidayatullah sebagaimana disampaikan kepada Peter Carey: Ratu Ageng, nenek buyut Pangeran Diponegoro, adalah penganut Tarekat Syatthariyyah.

Berdasarkan penelitian atas naskah Jav. 69 [Silsilah Syatthariyyah] dari koleksi Colin Mackenzie di British Library, London, Ratu Ageng –yang disebut ‘Kangjeng Ratu Kadipaten’ dalam naskah– disebutkan dalam empat bait sebagai penganut setia yang memiliki pertalian langsung dengan para Mursyid utama Tarekat Syatthariyyah di Jawa Barat, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715) melalui empat silsilah ulama.

Tarekat Syatthariyyah sendiri sampai di Nusantara lewat Pasai, di mana Maulana Ishak dan putranya Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) menurut ‘Babad ing Gresik’ termasuk dalam mata rantai silsilah tarekat Syatthariyyah yang kelak dilanjutkan oleh Syaikh Abdurrauf Singkel dari Aceh dan para muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan dari Minang dan Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan  berkhalwat di Goa Safarwadi, Tasikmalaya.

Ada dua kemungkinan dari mana Diponegoro mempelajari kitab Tuhfah. Kemungkinan pertama dari Syarif Hasan Munadi alias Tuan Syarif Samparwedi.

Dia merupakan seorang Arab yang menjadi komandan resimen pengawal pribadi sang Pangeran, Barjumungah yang lebih dikenal dengan Basah Hasan Munadi dari jalur Syaikh Abdul Muhyi Safarwadi. Kemungkinan kedua dari Taftazani, seorang pengajar agama di Mlangi (asal Sumatera) yang mendapat sanad dari Syaikh Burhanuddin Ulakan.

Dikisahkan Kyai Gedhe Dadapan yang terlibat langsung dalam diskusi keagamaam di Balairung Ratu Ageng, selain melayani kebutuhan Ratu Ageng juga sering membacakan kitab-kitab keagamaan untuk Ontowiryo.

Masa Dewasa Hingga Berkeluarga

Setelah Ontowiryo menjadi santri di Mlangi di wilayahnya, dia juga yang bertugas mengurus segala kebutuhan Sang Pangeran selama mondok sebagai santri.

Kedekatan hubungan inilah yang akhirnya mempertemukan Sang Pangeran dengan puteri Kyai Gedhe Dadapan yang kelak menjadi istri pertamanya, yaitu Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang wanita yang solehah dan sangat memahami jalan pikiran dan jalan hidup suaminya.

Dari perkawinannya inilah, Pangeran Diponegoro banyak bergaul dengan kaum ulama Pathok Negari, pesantren Mlangi dan para ulama Yogyakarta dan tanah Jawa yang kelak menjadi pendukung utama perang Jawa.

Raden Ayu Retno Madubrongto tidak pernah mengeluh walaupun sering ditinggalkan suaminya berkelana, bertapa untuk mencari makna sejati kehidupan. Bahkan diapun tidak pernah bertanya mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai isteri permaisuri oleh suaminya.

Raden Ayu Retno Madubrongto wafat sebelum penyerbuan Belanda ke Tegalrejo. Tahun pastinya tidak diketahui. Tetapi beliau wafat sekitar tahun 1814.

Dari pernikahan ini lahirlah dua anak laki-laki yaitu Raden Mas Ontowiryo II / Diponegoro Anom yang mewarisi kharisma dan kepemimpinan ayahnya dan Raden Mas Dipoatmojo.

Raden Mas Ontowiryo ll lahir pada 1803, tahun wafatnya Ratu Ageng (17 Oktober 1803). Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya.

Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah Sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam.

Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom.

Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah.

Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo.

Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan.

Di medan perang, Diponegoro Anom sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo di daerah Kulonprogo.

Ketika Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, Diponegoro Anom menjalani pembuangan di Sumenep sampai 1834 sebelum akhirnya dibuang ke Ambon pada 1853.

Di Tlatah Banyumas Diponegoro Anom berputra Raden Mas Ali Dipawangsa yang dimakamkan bersama istri di Kedungparuk, Purwokerto. [Bersambung]

Oleh: Subhan Mustaghfirin, Penulis Sejarah dan tinggal di Yogyakarta
Source: Republika

 

About admin

Check Also

Hanya Orang Bodoh Ingin Mengubah Kehendak Allah (2)

“Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, janganlah ...