Panca Kawidaksanaan
untuk Brahmana Satria Prawiratama menuju Nagara Tengtrem Kerta Raharja
Brahmana artinya tokoh yang dituakan, pemimpin atau imam. Ia wajib berpegang teguh pada “Panca Kawidaksanaan” dalam menjalankan laku hidup di dunia. “Panca Kawidaksanaan” artinya “Lima Kebijaksanaan”, terdiri dari:
1. Widaksana Nata Sasmita
Setiap Brahmana yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT sebagai tokoh, pemimpin, atau yang dituakan oleh masarakat sekelilingnya dari tingkat terendah sampai tertinggi wajib untuk berbuat Bijaksana dalam mengatur kewaspadaan.
Terkadang akibat kita tidak bijaksana dalam mengatur pembicaraan, dan tidak bisa menempatkan pembicaraan akan timbul bentrokan diantara orang-orang yang menganggap diri kita sebagai pemimpin mereka. Dan itu banyak terjadi dimana banyak orang saling fitnah dan saling tuduh diakibatkan fatwa yang kita keluarkan.
Menata kewaspadaan merupakan ciri-ciri dari ulama yang mewarisi kenabian (al-‘ulamaa waratsatul anbiyaa). Sebuah kewaspadaan timbul dari ketajaman mata bathin dan kecerdasan intuitif. Sehingga cara pandangnya tentang segala sesuatu melampaui orang-orang awam. Status sebagai Brahmana adalah sebuah pengangkatan ruhani yang secara faktual diakui oleh khalayak ramai sebagai pemimpin, pengayom, dan tokoh panutan.
Bersikap bijaksana dalam menata kewaspadaan adalah sikap visioner yang mengedepankan maslahat bagi orang-orang awam sehingga perkataan dan prilakunya tidak akan menimbulkan mudharat. Sesuai qaidah yang disebutkan dalam ushulul fiqh ;
دَرْءُ الْمَفَاسِــــــدِ مُقـَـــدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَــــــــصَالِحِ
“dar-ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (menghindari kerusakan harus lebih dikedepankan daripada melakukan perbaikan). Artinya, pencapaian kemaslahatan harus berbobot tidak menimbulkan kerusakan dengan terlebih dahulu mencegahnya.
Banyak para tokoh pemimpin di zaman sekarang yang tidak memiliki pandangan visioner tentang banyak hal, tidak mengerti bagaimana cara membaca tanda-tanda zaman, persis seperti memakai kacamata kuda, tidak outbox. Pemimpin seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang mewarisi kenabian.
Setiap pemimpin pastinya menginginkan rakyatnya hidup aman, damai dan sejahtera. Namun, tidak banyak dari para pemimpin atau tokoh panutan itu menggunakan kecerdasan intuisinya dalam menjalankan amanah kepemimpinannya. Hal ini sungguh banyak terjadi disebabkan adanya pola “lahirnya” para pemimpin dengan cara hypno-media. Para pengusung tokoh pemimpin berada dalam keadaan “trance” akibat terhipnotis oleh propaganda media. Tokoh seperti ini bukanlah Brahmana sejati yang memiliki pandangan-pandangan visioner sebagai seorang pemimpin apalagi sebagai yang mewarisi kenabian.
Para tokoh yang dimunculkan media tidak mampu menjadi ‘navigator’ bagi para jamaah pengusungnya. Mereka hanya menyampaikan bahasa tulisan tanpa bobot spirit untuk membangkitkan potensi positif. Nata sasmita lebih menitikberatkan pada makna visi langit yang menjadi barometer akan pandangan-pandangan bumi.
Brahmana yang memiliki ‘widaksana nata sasmita’ tidak akan membawa rakyatnya pada jurang kesesatan dan kehancuran. Karena pandangan-pandangannya telah dipedomani oleh titah-titah langit.
2. Widaksana Nata Wiwaha
Brahmana wajib Bijaksana dalam menata kewibawaan. Banyak tingkah laku kita kadang menggerus Wibawa kita di hadapan masyarakat. Karena ucapan dan tingkah laku kita menjadi bahan ejekan dan kita menjadi tokoh kontroversial yang dibenci masyarakat banyak.
Strata sosial berdasarkan kemampuan intelektual harus bisa dilihat dan disadari oleh seorang Brahmana. Terkadang sikap dan prilakunya di sebagian lapisan tidak cocok bahkan justru bertolak belakang. Kecakapan berucap dan berprilaku bagi Brahmana adalah salah satu prasyarat untuk membangun Nagara Tengtrem Kerta Raharja. Sebab dari situlah muncul kewibawaannya. Kata-katanya selaras dengan prilakunya, dan prilakunya mencerminkan seorang yang memang pantas untuk dijadikan panutan.
Terkadang seorang tokoh memiliki mulut harimau; gatal, provokatif, emosional, kontroversial dan memecah belah. Merasa senang memunculkan sesuatu yang berbeda dengan khalayak ramai. Ia tidak sadar bahwa ucapannya itu akan direkam dan memicu pergolakan bagi mayarakat. Sedikit-sedikit ‘hajar!’, sedikit-sedikit ‘ganyang!’, sedikit-sedikit ‘perang!’. Ia tidak bijak dalam menata kewibawaan melalui sikap dan ucapannya.
Seorang Brahmana diamanahi sebagai seorang yang bisa melihat akibat-akibat dari ucapan dan prilakunya sendiri sebelum ia mengatakan dan melakukan sesuatu. Intuisinya dapat memberikan ukuran untuk sesuatu yang diucapkan dan dilakukannya sendiri. Karena ia sadar bahwa ucapannya itu adalah “qawlan tsaqiila” (ucapan yang berbobot).
Bahasa tubuh seorang Brahmana adalah bahasa yang penuh dengan kebijaksanaan. Tidak sembrono, tidak slebor dan tidak asal-asalan. Ia sangat mumpuni menjadi seorang yang pantas untuk menebarkan bahasa kebenaran walaupun hanya melalui bahasa sikap. Ia akan selalu bijaksana dalam menata kewibawaannya sendiri melalui ucapan dan prilakunya.
Kangjeng Nabi SAW telah dinobatkan oleh Yang Maha Kuasa sebagai barometer untuk dijadikan uswah (suri tauladan);
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh” [al-Ahzâb/33:21]
Ayat tersebut tidak merinci tentang uswah hasanah (suri tauladan) yang dimaksud. Ia hanya memberikan sebuah spirit yang rinciannya disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Jadi, barometer suri tauladan itu adalah spirit yang dimunculkan oleh seorang Brahmana.
Ajaran tentang nilai kebajikan berbanding lurus dengan titah-titah langit yang menjadi spirit dimana nilai itu hidup. Karena itu, ia abadi sepanjang masa dan akan dipandang sama di semua tempat di alam jagad raya ini. Siapapun yang menjadi pengusung nilai-nilai spirit itu akan disebut dan berlaku sebagai Brahmana.
3. Widaksana Nata Susila
Brahmana wajib secara Bijaksana melakukan tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku secara agama (ageman) dan aturan umum yang berlaku bagi masyarakat sekeliling. Kadang kita terpeleset menerapkan aturan agama yang bertentangan dengan aturan masyarakat sekeliling. Disinilah cikal bakal pertikaian umat.
Brahmana banyak lupa bahwa Agama itu Ageman atau keyakinan yang harus dimulai dari penataan diri sendiri, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran “Wa Huwa Ma-akum aina ma kuntum“, artinya “dan Dia (Allah) berada dimanapun kamu berada”, toh bukan dimanapun mereka berada. Maknanya, kita wajib membenahi diri kita sendiri dulu sebelum memerintahkan orang lain untuk berbuat sebagaimana yang kita yakini. Ingat kata Prabu Siliwangi agama itu sebagai pakaian dan bukan alat untuk disebarkan. Biarlah siapapun melihat dan merasakan baiknya akhlak kelakuan kita dulu karena sebelum orang bertanya agama kepada kita yang dilihat adalah akhlak kelakuan kita. Bila akhlak kita baik orang tak akan bertanya apa agama kita.
Prilaku buruk para tokoh panutan di zaman sekarang telah memporak-porandakan nilai yang seharusnya dipegang oleh masyarakat. Kekacauan dan chauvinisme seolah menjadi sebuah paham yang diyakini di dalam masyarakat. Akibatnya, masyarakat kehilangan pedoman untuk bisa mempertahankan resistensinya. Gamang dan aut-autan. Tidak memiliki rasa nasionalisme yang bisa mempertahankan bangsanya.
Sikap dan prilaku yang dibangun oleh propaganda media adalah tampilan semu yang suatu saat akan ‘meledak’. Ia tidak bisa dibuat-buat dan dimanipulasi seperti bunglon. Karena menata kesusilaan adalah sebuah kebijaksanaan yang dapat menimbulkan berkah bagi kepemimpinannya. Tiangnya adalah kasih sayang terhadap maslahat umum, bukan semata-mata kewajiban pribadi. Ada nilai pendidikan yang dimunculkan oleh sikap dan prilakunya.
Jadi, sikap dan prilaku seorang Brahmana adalah ajarannya itu sendiri. Ia meyakini itu sebagai sebuah jalan hidup untuk mencapai kebahagiaan. Seorang Brahmana tidak akan mengajarkan sesuatu yang salah bagi rakyatnya. Hal itu dimulai dari ajaran yang dipegangnya sebagai nilai keyakinan. Sehingga rakyatnya tidak akan mengalami pembusukan dari dalam. Tapi rakyatnya akan runut dan patuh sesuai dengan apa yang ada di dalam diri Brahmana. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan kata-katanya; “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Artinya, Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sung Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
Suri tauladan yang dimaksud itu bukanlah hasil rekayasa media yang penuh kepalsuan, tapi merupakan buah dari transendensi langit yang menimbulkan berkah.
4. Widaksana Nata Nugraha
Brahmana wajib mempunyai keyakinan bahwa hidupnya itu adalah anugerah dari Allah Tuhan Semesta. Dia tidak boleh mengeluhkan penderitaan dan kesusahan hidupnya karena pada prinsipnya hidupnya adalah berkah Tuhan yang harus dia nikmati dan wajib membantu sesama sebagai balasan atas anugerah dari Allah atas dirinya tersebut.
Lebih jelasnya, nugraha itu harus diletakkan dalam kerangka syukur dan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Semua yang ada padanya adalah anugerah Allah yang mesti dipandang sebagai amanah. Persepsi terhadap segala sesuatu sebagai amanah akan berbeda sekali dengan pandangan terhadap sesuatu sebagai yang menimbulkan kesenangan atau kesusahan. Kesenangan akan berpotensi menimbulkan sifat-sifat sombong dan lupa diri, sementara kesusahan akan berpotensi menimbulkan sifat-sifat kufur dan pesimisme.
Termasuk bagian dari rasa syukur yakni menempatkan setiap anugerah itu pada tempatnya. Dan hal itu tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu menetapkan sebuah keyakinan bahwa Allah membuat sebuah rencana terbaik untuk dirinya melalui penderitaan. Nrimo terhadap segala anugerah Allah akan mendatangkan kelapangan dada, menghempaskan segala beban dan mendatangkan kemudahan akan banyak hal. Doa orang yang berlapang dada akan diangkat oleh Allah ke atas ‘arsy. Dari sanalah keberkahan hidup bermunculan. Ucapan dan tindakannya akan berbobot sebagai bahasa langit.
Bahasa Tuhan di alam semesta bagi orang yang pandai menata anugerahNya akan ditangkap dan dipahami dengan jelas. Kehendaknya akan bersesuaian dengan Kehendak Tuhan. Kehidupannya hanya akan dinisbahkan kepadaNya. Cara pandangnya terhadap alam semesta adalah pandangan rahmatNya.
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿١﴾ وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ ﴿٢﴾ الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ ﴿٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب ﴿٨﴾-م
Bismillaahirrahmaanirrahiim 1. Alam nasyrah laka shadrak 2. Wawadha’naa ‘anka wizrak 3. Alladzii anqadha zhahrak 4. Warafa’naa laka dzikrak 5. Fa-inna ma’a l’usri yusraa 6. Inna ma’a l’usri yusraa 7. Fa-idzaa faraghta fanshab 8. Wa-ilaa rabbika farghab
Artinya: “Dengan menyebut nama ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang 1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, 2. Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, 3. yang memberatkan punggungmu? 4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu . 5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain , 8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (Qs. Al-Insyirah : 1-8)
Seorang Brahmana akan memiliki keteguhan dalam membangun kemaslahatan jika di dalam dirinya terdapat keteguhan akan segala anugerah apapun yang dia terima. Tak akan ada beban yang dapat menghalangi intuisinya. Dirinya adalah apa yang ada dalam amanah yang dipandangnya sebagai sesuatu yang mesti dikelola, dijalankan dan dieksplorasi. Nata Nugraha adalah bagian dari Panca Kewidaksanaan menuju Nagara Tengtrem Kerta Raharja.
5. Widaksana Nata Raharja
Brahmana wajib menanamkan dalam dirinya kemauan untuk mensejahterakan umat manusia. Tiap rencana, tindakan dan perbuatannya tidak boleh lepas dari niat untuk mensejahterakan umat manusia.
Kesejahteraan umat manusia bagi seorang Brahmana adalah manifestasi potensi dirinya sendiri. Umat manusia dipandang sebagai dirinya sendiri. Meng-ishlah umat berarti meng-ishlah diri sendiri. Hal ini sejalan dengan ungkapan transenden para Guru Sufi, “Syuhuudul wahdah fil katsrah, syuhuudul katsrah fil wahdah”.
شُهُوْدُ الْوَحْدَةِ فِي الْكَثْرَةِ ، شُهُوْدُ الْكَثْرَةِ فِي الْوَحْدَةِ
“Melihat Yang Satu pada yang banyak, melihat yang banyak pada Yang Satu”.
Mentalitas seorang Brahmana tidaklah individualistis. Cara berpikirnya akan selalu mengedepankan kepentingan umum dalam makna yang sebenar-benarnya. Kondisi masyarakat akan dilihat dalam perspektif tauhid rubuubiyyah; Kepengasuhan, kepengayoman dan kepedulian. Dirinya adalah masyarakat dan masyarakat adalah dirinya.
Kepeduliannya terhadap kesejahteraan umat adalah manifestasi dari rahmat Tuhan yang ingin ia sampaikan, kerjakan dan perjuangkan. Tak ada yang bisa melegakkan hatinya kecuali ia melihat kesejahteraan umat manusia. Realitas mentalnya adalah spirit Ketuhanan yang tampak dalam segala bentuknya. Tidak melulu membangun kesejahteraan dalam perspektif ekonomi.
Seorang Brahmana, diketahui atau tidak, dikenal atau tidak, dilihat atau tidak, akan melakukan berbagai hal untuk kesejahteraan umatnya. Dia akan merasa seperti memikul tanggung jawab besar ketika umatnya dilihat tidak sejahtera dalam pengertian yang lebih luas. Sebab kesejahteraan itu membutuhkan sebuah mindset yang harus dibangun terlebih dahulu, sehingga yang terbangun setidaknya adalah mentalitas sejahtera. Pola pikir yang dibentuk adalah kesejahteraan dalam makna yang dapat membawa umat pada jalan yang benar. Tidak cengeng, tidak manja dan tidak membangun kesejahteraannya dengan cara mengemis. Bangsa sejahtera yang bermartabat adalah bangsa yang berdiri di atas kemandirian dan kemerdekaan dalam menentukan nasibnya dan kesejahteraannya.
Inilah “Panca Kawidaksanan” untuk Brahmana Satria Prawiratama menuju Nagara Tengtrem Kerta Raharja. Semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa membuka keberkahan baik dari langit maupun dari bumi. Aaamiiin yaa Rabbal ‘aalamiin…
Ku wariskan ilmu ini untuk masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya. Dan semoga Allah Swt Tuhan Semesta memberikan hidayah pada kita semua untuk tidak saling menghujat tetapi marilah kita bangun negara ini berdasarkan sifat Kasih Sayang sebagai warisan abadi sifat Allah yang Rahman Rahim untuk kita manusia.
Bila telaahan saya ini ada kekurangan itu timbul dari nafsu saya pribadi tapi bila telaahan ini benar tentunya itu bukan milik saya tapi dari Allah SWT melalui tangan saya yang bodoh ini.
Dikeluarkan tgl 02 Januari 2017,
*KRA DERAJAT HADININGRAT*