“Tidak ada headline di media-media Barat soal anak-anak Palestina yang menjadi korban genosida Israel. Padahal banyak jasad anak-anak Palestina yang tercecer hingga tidak lagi utuh akibat gempuran bom. Dimana suara dunia?”
Oleh: Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.*
Pada hari ini, kita melihat betapa hipokritnya dunia pada Palestina. Sudah satu bulan Israel melakukan agresi ke Gaza, tetapi lebih dari 10.000 penduduk Gaza telah wafat, mayoritas dari mereka adalah anak dan perempuan.
Dalam 6 hari pertama, terhitung 6000 rudal yang telah diluncurkan dan meluluhlantakkan kota Gaza. Jumlah ini setara dengan rudal yang ditembakkan AS ketika menginvasi Afghanistan dalam kurun waktu satu tahun. Namun tetap saja, hanya sedikit simpati yang disuarakan untuk Palestina.
Dibanding melirik Palestina, Presiden AS Joe Biden justru bersimpati pada Israel dengan mengungkapkan, “Israel mempunyai hak untuk membela diri dan rakyatnya. Dukungan pemerintahan kami terhadap keamanan Israel sangat kuat dan tidak tergoyahkan.”
Dukungan kuat dan tidak tergoyahkan ini dibuktikan dengan kunjungan Biden ke Israel pada hari ke-12 agresinya, bahkan setelah sebuah rumah sakit di Gaza diluluhlantakkan Israel hingga menyebabkan terbunuhnya lebih dari 500 orang Palestina.
Foto saat kunjungan Biden ke Israel, sebagai tanda dukungan AS terhadap Israel, meskipun Israel telah mengebom RS Al-Ahli Baptis di Gaza yang menyebabkan lebih dari 500 warga sipil. (Sumber: Reuters). |
Pada hari ini, kita melihat dengan terang benderang, bahwa memang tidak ada Palestina di mata kebanyakan pemimpin dunia. Mereka hipokrit soal persamaan hak tanpa memandang ras ataupun agama. Serangan membabi buta terhadap Gaza yang menghancurkan rumah-rumah penduduknya hingga rata dengan tanah, bahkan rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah, yang dilindungi hukum internasional, menjadi saksi kebohongan dunia.
“Uni Eropa mendukung Israel,” demikian cuitan Ursula von der Leyen, Presiden Uni Eropa di akun X miliknya. Namun, pada saat yang sama, para pemimpin dunia berlomba-lomba mengecam Rusia atas agresinya terhadap Ukraina. Mengapa tidak ada suara untuk Palestina? Apakah karena mereka tidak berambut pirang dan bermata biru, sehingga seolah rakyat sipil Palestina yang wafat menjadi tak berharga.
Untuk mendukung kebohongan mereka, kita dipaksa untuk menggunakan istilah konflik ketimbang penjajahan. Dengan istilah konflik, apa yang terjadi pada hari ini di Palestina, merupakan konsekuensi pihak yang memulai konfrontasi.
Beginilah hipokrisi dunia. Kita sengaja dibuat lupa, dengan memelintir kata atau istilah. Padahal apa yang terjadi di Palestina pada hari ini dan hari-hari sebelumnya bukanlah konflik, melainkan penjajahan. Ini bukan tentang siapa memulai apa, melainkan tentang penjajahan Israel atas Palestina yang telah berlangsung 75 tahun lamanya.
Dengan demikian, ketika terjadi perlawanan dari Palestina, siapapun itu dan dari kelompok manapun, tindakan mereka telah dijamin dalam Resolusi Sidang Umum PBB 37/43 yang menyatakan bahwa segala upaya untuk terlepas dari penjajahan dan meraih kemerdekaan dengan cara apa pun adalah hal yang bisa dilakukan. Jika gerilyawan di Ukraina didukung dunia ketika melakukan resistensi, mengapa rakyat Palestina tak boleh angkat senjata? Apakah karena mereka sudah dianggap tak ada?
Sehingga dengan ini, ‘hak untuk membela diri’ Israel, sebagaimana digaung-gaungkan oleh Biden, Ursula, Macron ataupun berbagai pemimpin dunia lainnya, menjadi tidak valid, apalagi hukum internasional juga telah melarang adanya penjajahan militer. Namun demikian, hari ini, karena begitu hipokritnya dunia, hak untuk membela diri menjadi legitimasi bagi Israel untuk melakukan serangan yang terus-menerus menyasar warga sipil, tanpa adanya kecaman dan ancaman dari pemimpin dunia.
Dukungan Biden terhadap Israel melalui platform X. (Sumber: X) |
Dunia yang berwajah dua juga kita dapati saat munculnya berita–yang belakangan terkonfirmasi sebagai berita palsu–tentang terbunuhnya 40 bayi Israel oleh salah satu Gerakan Perlawanan Palestina. Pemimpin dunia berbondong-bondong memberikan kecaman dan media mem-blow up sedemikian rupa tanpa dicari kebenarannya. Setelah terungkap, ternyata itu hanya isapan jempol belaka.
Ironisnya, pada saat yang sama, ketika lebih dari 1000 anak-anak Palestina dibombardir oleh roket Zionis, tidak ada yang mempermasalahkan tindakan biadab Israel. Tidak ada headline di media-media Barat soal anak-anak Palestina yang menjadi korban genosida Israel. Padahal banyak jasad anak-anak Palestina yang tercecer hingga tidak lagi utuh akibat gempuran bom. Dimana suara dunia?
Kebohongan Media Mainstream dan pemberitaan yang tidak berimbang tentang apa yang terjadi di Gaza |
Berita bohong yang disebarkan oleh Nicole Zedeck tanpa disertai bukti, yang kemudian disebarluaskan oleh berbagai media barat. Ben Shapiro, seorang Zionis, memberikan bukti foto yang setelah ditelusuri ternyata palsu.
Tidak hanya itu, akibat propaganda media dan kebohongan pemimpinnya, seorang anak AS keturunan Palestina yang baru berusia 6 tahun ditikam berkali-kali hingga meninggal oleh seorang warga AS yang terhasut dengan kebohongan dan kebencian terhadap Palestina yang digaung-gaungkan media dan pemimpin dunia barat.
Joseph M. Czuba (kiri) menusuk seorang anak berusia 6 tahun Wadea Al-Fayoume sebanyak 26 kali hingga meninggal dan ibunya, Hanaan Shahin. (Sumber: Law and Crime) |
Ketika Israel meledakkan Rumah Sakit Baptis (Al-Ahli Arab Hospital) sehingga menyebabkan lebih dari 500 orang meninggal, media Barat tidak mengecam. Tidak ada judul-judul bombastis seperti soal berita palsu pemenggalan 40 bayi. Media enggan menunjukkan taringnya kepada Israel, yang tak mengaku melakukan tindakan keji tersebut. The New York Times bahkan mengubah judulnya tiga kali, untuk menjaga narasinya agar tetap ‘berimbang’ dan ‘netral’ ketika yang menjadi pelaku adalah Israel.
Lantas kemudian, mengapa narasi yang berimbang dan netral ini tidak dilakukan ketika yang menjadi tertuduh adalah Palestina?
The New York Times mengubah judul beritanya mengenai serangan Israel ke Rumah Sakit Baptis (Al-Ahli Arab Hospital) dengan judul yang ‘netral’ tentang pengeboman Rumah Sakit. (Sumber: QNN) |
Tentu tidak hanya itu ketidakadilan yang diterima penduduk Palestina. Tidak ada pembelaan atau pemberitaan di media-media Barat ketika 6000 rudal telah Israel jatuhkan dari atas langit Gaza dalam 6 hari invasi pertamanya (jumlah pastinya telah bertambah pada saat artikel ini ditulis). Jumlah tersebut sama dengan rudal yang dijatuhkan AS ketika invasinya ke Afghanistan.
Kecaman untuk Israel juga tidak ditemukan di media Barat ketika Israel pada Jumat (13/10) mengumumkan rencananya yang akan membombardir Gaza utara. Israel mengeluarkan peringatan bagi penduduk Gaza Utara agar berpindah ke wilayah selatan dalam 24 jam dan mereka akan dijamin keselamatannya. Namun nyatanya, Israel justru menjatuhkan rudal di jalan yang mereka jamin keselamatannya, hingga menyebabkan kematian sejumlah penduduk Gaza. Setelahnya, Israel juga membombardir Kota Rafah yang terletak di selatan Gaza, yang katanya juga dijamin keselamatannya. Tidak lagi ada tempat yang aman bagi rakyat Gaza dan tidak ada tempat bagi rakyat Palestina di media-media dan pemimpin-pemimpin dunia.
Gaza hari ini mengingatkan kita soal Nakba yang terjadi pada 1948 silam. Apa yang dilakukan Israel pada hari ini, dengan mengultimatum rakyat Gaza berpindah, bukan tentang jaminan keamanan. Namun, yang Israel lakukan adalah pengusiran yang bersanding dengan genosida. Tapi lagi-lagi, tidak ada suara dari pemimpin dunia. Mereka berdusta soal penolakan terhadap genosida. Tidak boleh ada genosida, kecuali untuk Palestina. Meskipun pada hari ini, masyarakat-masyarakat di berbagai kota dunia telah unjuk suara “Bebaskan Palestina! Hentikan genosida.”
Kebohongan Soal Normalisasi dan Perdamaian
Pada akhirnya, apa yang terjadi hari ini membuat kita percaya soal kebohongan janji-janji perdamaian dalam bingkai normalisasi. Amerika dengan gencarnya menawarkan opsi normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel sebagai satu-satunya cara agar terjadi perdamaian di Palestina, tetapi nyatanya hal tersebut dilakukan untuk memperjelas eksistensi Israel di mata dunia Arab, sekaligus mengalienasi Palestina.
Hal ini bisa dilihat lewat Mesir, sebagai negara Arab yang pertama kali melakukan normalisasi hubungan dengan Israel pada 1978. Hubungan Mesir dengan Palestina menjadi sangat terbatas, dan bergantung pada Palestina. Ini diperburuk dengan adanya blokade Israel tahun 2006 hingga hari ini, Mesir ikut menutup perbatasan Rafah, yang menghubungkan kota Gaza dengan negaranya. Meski terkadang dibuka, namun hanya di waktu-waktu tertentu dengan regulasi yang ketat.
Pada agresi Israel kali ini, Mesir kembali menutup perbatasannya. Sehingga tidak ada satupun penduduk Gaza dapat mengungsi ke wilayahnya. Mobil-mobil bantuan kemanusiaan juga tidak dapat memasuki perbatasan Mesir. Meski pada Sabtu (21/10) Mesir akhirnya membuka perbatasannya, namun hanya 20 truk yang dapat masuk. Setelah itu kembali ditutup. Israel memegang kendali atas perbatasan Rafah.
Hal yang sama terjadi pada Yordania yang melakukan normalisasi dengan Israel setelah perjanjian Oslo tahun 1994. Jauh dari kata damai, perjanjian ini hanya memberikan Israel legitimasi lebih luas untuk menguasai wilayah B dan C di Tepi Barat. Puncaknya, pada tahun 2022 PBB menyatakan tahun tersebut menjadi tahun yang paling mematikan bagi penduduk wilayah Tepi Barat. Namun, belum genap tahun 2023 berakhir, angka kematian penduduk Palestina di Tepi Barat pada 2023 telah jauh melampaui tahun sebelumnya. Pada hari ini, akibat normalisasi, Yordania masih menutup perbatasannya untuk Palestina, meski ribuan warga melakukan unjuk rasa. Tak ada satupun warga Palestina yang diperbolehkan melintas dan mengungsi hingga saat tulisan ini dibuat.
Tak cukup dengan dua negara Arab, janji normalisasi kembali digaungkan pada 2020 lewat Abraham Accord yang diinisiasi oleh Donald Trump. Tercatat Bahrain, Maroko, Sudan, dan Uni Emirat Arab (UEA) melakukan hubungan normalisasi dengan Israel. Namun, meski semakin banyak negara Arab yang melakukan normalisasi, tidak ada kata damai yang dinikmati bangsa Palestina sebagaimana yang dijanjikan. Justru intensitas kekerasan semakin meningkat dan bantuan kemanusiaan dari negara-negara Arab yang melakukan normalisasi terhadap Palestina berkurang secara signifikan. Bungkamnya suara-suara mereka ketika peristiwa Gaza, semakin menguatkan soal dugaan: alih-alih mendatangkan perdamaian, normalisasi hanya menguatkan eksistensi penjajahan Israel atas Palestina.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kiri, Presiden Donald Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan berpose di Blue Room Balcony setelah menandatangani Abraham Accords selama upacara di South Lawn Gedung Putih, Selasa (15/9/2020), di Washington. (Sumber: Republika) |
Palestina hingga hari ini terus bergejolak. Bom-bom masih terus menghujani wilayah Gaza. “Ibu, kita berubah menjadi angka,” tangis seorang anak kepada ibunya ketika menceritakan tetangga dan teman-temannya telah tiada. “Setiap politisi barat bertanggung jawab atas darah anak-anak ini!” teriak seorang dokter di RS Baptis yang diluluhlantakkan Israel. “Masih ada harapan bagi anak saya. Itulah yang dikatakan dokter kepada saya. Saya kembali beberapa saat kemudian dan menemukan bahwa anak saya telah tiada, dokter telah tiada, dan seluruh rumah sakit telah tiada!”
Merosotnya bantuan dari negara-negara Arab ke Palestina setelah melakukan normalisasi. (Sumber: Republika) |
Dunia telah berbohong bahwa mereka menjunjung HAM, persamaan hak dan menentang penjajahan. Dunia telah berbohong kalau mereka membenci apartheid apalagi genosida. Kepada Palestina, hari ini dan yang kemarin, kita melihat bukti nyata kebohongan mereka.
______________
* Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
* Source: Adara