Home / Ensiklopedia / Politik / Otonomi Sikap Politik dan Tirani Publik

Otonomi sikap politik seseorang sering kali dilihat sebatas ketika orang tersebut dalam menentukan pilihan politiknya tidak lagi didasarkan pada alasan-alasan primordialitas atau tidak tergantung lagi pada kekuatan kharisma dan ketokohan seseorang, seperti kiai misalnya.

Otonomi Sikap Politik dan Tirani Publik

Sebagai contoh, La Ode Ida mengatakan bahwa warga NU sudah cukup dewasa menentukan pilihan politiknya secara otonom. Menurut dia, warga NU sudah mengalami pencerahan sehingga tidak begitu saja mengikuti apa maunya kiai. Selanjutnya, adanya pencerahan di komunitas sarungan itu membuat mereka bergerak melampaui sekat primordialisme.

Terbukti misalnya, dalam pemilu presiden, suara warga NU tidak terakumulasi kepada tokoh-tokoh NU, melainkan tersebar ke seluruh pasangan kandidat presiden yang ada. Bahkan merujuk pada survei LP3ES (Juni 2004) pasangan SBY-Kalla, yang notabene sebagai pasangan yang dipandang “netral”, dengan menyerap 32 persen suara warga NU, mampu mengungguli pasangan Mega-Hasyim yang hanya mendulang 21 persen suara.

Di satu sisi, pembacaan terhadap perilaku politik warga nahdliyin tersebut mungkin sudah tepat. Akan tetapi, di sisi lain, pembacaan tersebut terjebak dalam pemahaman yang dangkal mengenai makna otonomi sikap. Makna otonomi tidak bisa dilihat secara dangkal hanya melalui indikasi lumernya kepatuhan seseorang atau kelompok pada seorang tokoh sentral. Juga, otonomi sikap tak bisa secara reduktif semata dirujukkan pada persoalan netralitas atau ketidakterikatan seseorang secara primordial.

Karena, lebih dari itu, sikap otonom sesungguhnya menyangkut persoalan mendasar yang menyentuh kesadaran eksistensial manusia, yakni kesadaran yang–menyitir Martin Heidegger–berkenaan dengan the way of being, “cara berada” individu di dunia.

Sebagai the way of being, sikap otonom dipahami sebagai cara “berada” seseorang atau individu yang menempatkan dirinya sebagai diri eksistensial (Dasein) yang benar-benar terlibat (self involvement) dalam dunia sosial. Sebagai diri yang sungguh-sungguh terlibat, seseorang–dalam memahami dan memutuskan sesuatu–selalu merujuk pada dirinya sebagai rujukan utama. Selain itu, diri yang benar-benar terlibat adalah diri yang selalu cemas dan berpikir kritis, sehingga selalu bertanya pada diri eksistensialnya sebelum melakukan tindakan tertentu dalam dunia sosial yang faktis, dunia yang tak mudah dielak.

Common sense Pada umumnya, seseorang dalam memutuskan untuk melakukan suatu tindakan cenderung menyukai, merujuk, serta mengikuti apa yang digemari dan diperbincangkan oleh banyak orang (das Man). Dengan demikian, apa-apa yang digemari dan diperbincangkan banyak orang kecenderungannya dianggap sebagai sesuatu atau pendapat yang benar. Padahal, kebenaran yang merujuk pada semua yang digemari dan diperbincangkan banyak orang sering kali tak lebih dari sebuah common sense yang menyesatkan. 

Di mata Heidegger, common sense adalah pikiran berjala, hasil dari obrolan (gerede) banyak orang. Karena melibatkan banyak orang–pada derajat tertentu–kerap kita menyebutnya sebagai opini publik. Biasanya dalam masyarakat demokratis opini publik dipandang sebagai “suara Tuhan”. Maka, tak heran bila dalam pembuatan suatu kebijakan, misalnya, para ahli dan praktisi pembangunan kerap memperlakukan opini publik sebagai acuan pokok sebelum penetapan kebijakan, alih-alih agar kebijakan tersebut seirama dengan aspirasi publik.

Ironisnya, menurut Heidegger, di ruang publik segalanya sangat mudah berubah dan nomadik. Oleh karenanya, opini yang terbentuk di ruang publik tidak memiliki integritas, sehingga darinya tak bisa diharapkan sebentuk tanggung jawab. Segala yang mempublik pun menjadi tidak jelas (dalam Dreyfus, 1999). Sehingga kemudian opini yang berkembang juga menjadi absurd.

Dengan demikian, opini publik atau pikiran dengan keputusan atas dasar common sense itu sejatinya tak bisa dipandang sebagai cerminan sikap individu yang otonom. Oleh karenanya, berbeda dengan kebanyakan kita yang memandang opini publik sebagai referensi sentral, Heidegger justru memandang sinis opini publik sebagai obrolan yang perlu dihindari. Sebab, opini publik sejatinya jauh dari semangat pembebasan, sebab publik mengontrol segalanya (Dreyfus, ibid.), yakni mengontrol cara kita “berada” di dunia sosial untuk berpendapat, mengungkapkan, serta memutuskan apa yang benar-benar diri kita inginkan! 

Tirani publik Publik bisa mengontrol cara kita “berada” dengan banyak cara dan ragam media. Entah itu mulai dari cara yang paling konvensional di masyarakat, misalnya melalui cemooh, norma, hingga pada yang paling canggih seperti manipulasi melalui media.

Dalam konteks pemilu, sangat dimungkinkan, misalnya, sebagian besar mereka yang ikut pemilu karena pengaruh jargon-jargon politik seperti “Penggunaan hak suara Anda dalam pemilu adalah bukti warga negara yang baik”, “Lebih baik memilih daripada tidak memilih”, atau jargon populer lainnya seperti “Memilih yang terbaik dari yang terburuk”. Jargon pertama seakan mengesankan bahwa mereka yang golput bukan warga negara yang baik. Sementara itu, dua jargon lainnya mengesankan bahwa kendati, misalnya, semua kandidat memiliki rekam jejak yang buruk, kita harus memilih salah satu di antara semua yang buruk itu. Seakan tidak tersedia ruang bagi keputusan untuk tidak memilih ketika dihadapkan pada pilihan yang semuanya buruk.

Tidak dapat dinafikan juga peran dan intervensi teknologi media massa–yang kadang secara manipulatif–mengemas dan menggelembungkan citra seorang kandidat menjadi tampak sangat baik tak bercela, yang sesungguhnya pada dirinya melekat catatan kerja yang buruk. Dengan demikian–dalam batas-batas tertentu–media massa juga banyak memberikan andil dalam membentuk opini publik.

Pada titik inilah kemudian publik menunjukkan sifat paripurnanya yang tiran. Karena situasi eksternal yang manipulatif telah “memaksa” individu untuk menyerahkan pikiran, keputusan dan diri eksitensialnya pada yang lain, yakni “Sang Publik”. Pada gilirannya, di bawah Sang Tiran yang bernama “publik” itu eksistensi manusia terjeruji.

Dengan demikian, otonomi sikap seseorang bergantung pada adanya daya pikir kritis terhadap opini publik dan bergantung pula pada kesadaran individu untuk menunjuk diri eksistensialnya sebagai referensi utama dalam setiap pengambilan keputusan dan penentuan pilihan politiknya. Tak jadi soal apakah kemudian yang menjadi pilihan itu menang atau kalah, sebab keputusan eksistensial individu (pemilih) yang otonom tidak berada dalam kerangka dikotomi itu. Kata Heidegger, choose itself and win itself, also lose itself and never win itself. Mampukah kita bersikap otonom?

Penulis : Wildan Pramudya, Peneliti di LP3ES

http://www.theglobal-review.com

 

About admin

Check Also

Noam Chomsky; Tentang Agama dan Politik

“… Jangan lupa, bahwa rakyat Palestina sedang dihancurkan dalam program sistematis AS-Israel yang menghancurkan Gaza ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *