Jika anak berprestasi, orangtua biasanya menepuk dada dengan bangga bahwa itu adalah hasil didikannya. Kalau anak bandel, orangtua menyalahkan para guru. Menuduhnya tidak becus dalam mendidik anak. Orangtua lupa kalau pendidikan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah.
Jika ada tindakan pendisiplinan dari guru kepada murid, meskipun hanya menjewer, orangtua lapor polisi. Ini orangtua cemen. Kasus guru dipenjara di Sidoarjo menjadi bukti bahwa HAM hanyalah karet yang berlaku bagi anak, bukan guru yang rawan dikriminalisasi.
Kalau ada siswa sok jago lalu menantang guru berkelahi, yang repot ya gurunya. Meski guru punya keahlian bela diri, meladeni bocah ingusan itu: menang tidak kondang, kalah malu-maluin. Memang, selain kesabaran dan ketangguhan mental, guru harus punya faktor “penggentar”, khususnya bagi guru yang mengajar siswa level SMP-SMA.
Di Indonesia, pendidikan sudah menjadi industri. Relasi guru, orangtua dan siswa tak ubahnya mekanisme industrial kapitalistik. Sebagaimana mesin, waktu dan kemampuan sebagian besar guru dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang bersifat teknis dan mekanis. Akhirnya, guru bukan diGUgu lan ditiRU, tapi diGUyu lan ditinggal tuRU. Sentuhan manusiawinya mulai hilang. Ada dehumanisasi dalam pendidikan kita. Sebagaimana industri, siswa hanyalah “produk” yang disiapkan menjadi A, B, C yang menjadi bagian mesin besar bernama kapitalisme.
Dehumanisasi pendidikan Indonesia bermula pada saat pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dijadikan fosil, hanya didengung-dengungkan mottonya, foto beliau hanya menjadi penghias uang Rp 20.000 dan pajangan dinding kelas, tapi gagasan-gagasannya mengenai peran guru dan siswa tidak pernah dipraktekkan dalam kenyataan. Padahal ijtihad beliau dalam mengupayakan pendidikan yang khas dengan karakter (anak) Indonesia sangat bagus. Wadah Taman Siswa (nah, namanya saja keren: Raudlatut Thalibin) yang menjadi pilot-project beliau pada akhirnya malah “dimatisurikan” saat Orde Baru.
Yang paling kasihan dalam dunia pendidikan kita itu ya guru dan murid. Setiap kali menteri pendidikan ganti, saat itu pula kurikulum berganti. Sejak era CBSA, kemudian KTSP, lalu K13, kini entah apalagi. Pola semacam ini tumbuh di hulu, pusat. Seringkali para perumus kebijakan bukanlah praktisi yang pernah menjadi guru, melainkan hanya teoritisi-akademisi saja. Sehingga ketika diterapkan di lapangan, segala konsepsi-idealis bertabrakan dengan realitas yang ada.
Gugurnya Pak Guru Budi di Sampang hanyalah puncak dari fenomena gunung es betapa rawannya posisi dan perlindungan seorang guru. Saat ini banyak orangtua yang hanya melihat guru sebagai jasa penitipan anak, bukan pemahat jiwa. Kalau anaknya bermasalah dan rewel, orangtua kerap protes. Apalagi kalau ada tindakan fisik. Orangtua belum menyadari apabila faktor kenakalan siswa bisa bermula di dalam lingkungan keluarga maupun pergaulan di luar sekolah.
Kalau anda orangtua, pertama-tama ajaklah anak-anakmu sowan kepada gurumu. Perkenalkanlah mereka kepada para gurumu agar mereka tahu orangtuanya punya pendidik. Secara kasat mata, anakmu akan melihat interaksimu, gaya duduk dan bicaramu, dan caramu memperlakukan gurumu. Ini adalah pendidikan karakter. Tak perlu banyak bicara, anakmu akan belajar adab melalui dirimu. Dia akan bersikap sepertimu ketika dia berhadapan dengan gurunya.
Saya pernah mengkaji pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich. Dua teori kritis dalam pendidikan. Saya menggunakannya sebagai kacamata analisis melihat semrawutnya dunia pendidikan di Indonesia secara makro. Tapi secara mikro dan personal, saya tetap menggunakan Ta’limul Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji maupun Adabul Alim wal Muta’allim karya KH. M. Hasyim Asy’ari. Saya tidak peduli tuduhan kalau dua kitab ini melazimkan hegemoni guru terhadap murid, feodalistik, kuno dan sebagainya. Sebab, bagi saya, yang paling penting dalam menuntut ilmu itu adalah keberkahan.
Wallahu A’lam Bisshawab
- Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z.
- Source: Suara Pesantren