”Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihatNya”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Ada penjelasan yang menarik dan sebaiknya kita pegang erat-erat yakni penjelasan dari Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lathã’if al-Isyãrãt bahwa;
“Langit maupun ‘arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (material/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk. Sedangkan langit, ‘arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi”.
Al-Imam al-Hafizh an-Nawawi menjelaskan bahwa bukan Allah Ta’ala diserupakan dengan bulan yakni ada arah dan jarak namun yang diserupakan adalah kemudahan penduduk surga melihat Allah (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)
Sedangkan ketika di dunia, Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (‘ain al-bashîrah).
Imam Sayyidina Ali RA pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”. “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali RA menjawab; “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”.
Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya. Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat. Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa. Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya.
Jadi, manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit”. (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah Ta’ala berfirman;
صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ ۞
Shummun bukmun ‘umyun fahum lã yarji’ûn
“Mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Al-Baqarah [2]:18)
… صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ ۞
… Shummun bukmun ‘umyun fahum lã ya’qilûn
“… mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti”. (QS. Al Baqarah [2]: 171).
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ ۞
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46).
وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا ۞
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrã [17]: 72)
Rasulullah SAW juga bersabda saat ditanya oleh Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih dan bertanya apa itu ihsan:
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِحْسَانِ؟ قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ( رواه مسلم ) .
“Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Jadi, jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (‘ain al-bashîrah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar. Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuknya menjadi muslim yang ber-akhlãkul karîmah atau muslim yang shaleh atau muslim yang ihsan.
Imam Qusyairi mengatakan; “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Dari Ubadah bin as-Shamit RA berkata; bahwa Rasulullah SAW bersabda:
سُئِلَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ؟ فَقَالَ : أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مَعَهُ حَيْثُ كَانَ .
“Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang; apa makna dari penyucian hati (tazkiyatun nafsi). Lalu Rasulullah SAW menjawab; “yakni seseorang mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah Azza wa Jalla selalu bersamanya di mana pun ia berada“.
Langkah-langkah agar dianugerahi akhlak yang baik secara bertahap adalah dengan membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkannya dari sifat-sifat yang tercela (Takhalli); kemudian mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (Tahalli) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinîn/shãlihîn) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (Tajalli).
Para ulama menyebutnya dengan Maqãm Musyãhadah artinya ruang kesaksian. Inilah sebuah keadaan yang bukan sekedar mengucapkan syahadat namun ia benar-benar mengalami dan merasakan sebuah kesaksian bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”.
… يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۙ ۞
“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nûr [24]: 35)
Para ulama mengatakan bahwa salah satu hijab terbesar dalam bentuk nafsu dalam diri manusia adalah kesombongan. Karena sombong itu membuat manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan. Bagaimana mungkin dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (‘ain al-bashîrah).
Rasulullah SAW telah menubuwatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah SWT disebabkan oleh karena mereka terjerumus dalam kubang kesombongan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“.
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Dari Abdullah ibn Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ : لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ في قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، فَقَالَ رَجُلٌ : إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً؟ قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، اَلْكِبْرُ : بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ (رواه مسلم) .
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan (kibr). Lalu seseorang bertanya; “wahai Rasulullah, sungguh seseorang itu menyukai pakaian yang baik dan sendal yang baik?” Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia suka akan keindahan, adapun kesombongan itu sifatnya menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Sayyidina Umar RA menasehatkan; “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“.
Sayyidina Ali bin Abu Thalib KWjH berkata; “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”.
Sayyidina Umar RA menasehatkan; “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“.
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah SAW; “Muslim yang bagaimana yang paling baik?”. Lalu beliau SAW menjawab; “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda; “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar RA menasehatkan; “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara’ yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Orang-orang berilmu namun berakhlak buruk seperti gemar men-tahdzîr dengan celaan atau tuduhan syubhat, bid’ah, sesat, bahkan kafir terhadap siapapun yang tidak sepemahaman/sependapat dengan mereka menunjukkan ibadah shalatnya lalai, alias tidak khusyuk. Allah SWT tidak menerima ibadah shalat yang tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya”. (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ۞ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ۞ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ۞ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ ۞
“…. Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya, dan orang-orang yang enggan (memberi) bantuan”. (QS Al-Ma’ûn [107]: 4-7).
وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ ۞
“Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’rãf [7]: 205).
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ۞
“Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabût [29]: 45).
Orang-orang yang shalatnya lalai atau tidak khusyuk karena sekedar “melepaskan” kewajibannya atau sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya namun tidak mempunyai hati sehingga pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah Ta’ala. Ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya.
Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللّٰهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكْم، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada keadaan badan-badan kalian, ataupun kepada wajah-wajah kalian. Melainkan Allah SWT melihat kepada hati-hati dan seluruh amalan kalian.” (HR. Imam Muslim).
Tidaklah mereka mencapai shalat yang dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa “Ash-shalãtul mi’rãjul mu’minîn“, “shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ ۞ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ࣖ ۞
“Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (45), (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali (46).” (QS. Al-Baqarah [2] : 45-46).
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”.
Imam Al Ghazali pernah ditanya, “bagaimana cara mengetahui apakah shalat kita khusyuk atau tidak?”. Beliau menjawab, “tanda shalat yang khusyuk adalah tercegahnya pelaku shalat dari perbuatan keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika shalat Subuh seseorang khusyuk maka dia akan terjaga dari perbuatan nista dan jahat antara Subuh dan Dzuhur. Terus seperti itu sepanjang hari”.
Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa). Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã. Sebaliknya, apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã.
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ ۞ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ۞ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ ۞ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ ۞
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya (7). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu (9). Dan merugilah orang yang mengotorinya (10)”. (QS. Asy-Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.
Adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilaku lahiriah dan batiniah, di samping sesuai dengan tuntunan agama. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah SWT, dan dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa, kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyatun nafsi bagai membangun sebuah gedung, Di sana ada banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbankan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah SAW.
Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Di mana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi selama sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima prinsip (adh-dharûriyãt al-khams); dîn (agama), nafs (jiwa manusia), harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, yakni Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah paham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia.
Akhirnya, nilai-nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW: “Orang yang sabar dalam berpegang dengan Dîn-nya semisal orang yang memegang bara api”. Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Dîn-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian.
Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW memberikan sinyalemen dengan sabdanya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَآءِ (ورواه مسلم)
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing”. (HR. Muslim).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah di mana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Dia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki nafsul muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang-Nya.
Firman Allah Ta’ala:
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ۞ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ۞ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ۞ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ ۞
“Hai jiwa yang tenang (27), kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya (28). Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu (29), dan masuklah ke dalam surga-Ku (30)”. (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)
__________
* Source: Dari berbagai sumber