Home / Agama / Thariqat/Tasawwuf / Obsesi dan Takdir

Obsesi dan Takdir

Kemauan keras (himmah Sawabiq) termasuk suatu kekuatan yang dimiliki manusia atas izin Allah untuk memperoleh sesuatu yang dicari dalam kehidupan duniawi. Kemauan keras ini adalah pendorong untuk memperoleh suatu cita-cita. Namun demikian semangat dan cita-cita hamba Allah, tetap berkaitan erat dengan iradah dan izin Allah (takdir Allah Swt).

Syekh Ibnu Athaillah Assakandary berkata:

سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ

Himmah (obsesi) yang tinggi sekalipun, tidak akan mampu mengoyak takdir (kehendak) Allah”.

Pada akhirnya segala kekuatan yang dimiliki manusia itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan takdir Allah Swt. Karena cita-cita yang keras dan bersemangat tidak mampu menerobos takdir Allah

Akan tetapi dalam banyak hal, ketika seorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan, maka kemauan keras itu hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang memenuhi seluruh kalbunya. Karena iman inilah yang akan mengatur himmah yang dimiliki oleh seseorang. Apakah ia tunduk kepada takdir Allah ketika ia telah melaksanakan panggilan himmah-Nya ataukah ia menolak.

Apabila ia menerima qada dan qadar Allah setelah si hamba berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, maka itulah iman yang sesungguhnya. Menerima qada dan qadar Allah membuat orang beriman menjadi tenang. Ia tidak berputus asa dan tidak menyesali dirinya. la pun tidak berprasangka buruk kepada Allah dan kepada manusia. Kehendak Allah itulah yang akan berlaku dalam perjalanan hidup manusia. Kemauan dan cita-cita yang bergelora, tidak mampu menghancurkan qada dan qadar Allah Swt.

Manusia berada di antara ikhtiar dengan qada dan qadar Allah, berlomba mengejar takdir dengan ikhtiar dan doa. Hanya Allah yang Maha Mengetahui nasib manusia dan menentukan hasilnya. Apa yang diperoleh manusia setelah ikhtiar dan berdoa itulah taqdir yang sebenarnya.

Takdir Allah adalah masalah gaib. Hanya Allah Swt yang mengetahui. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

Dan di sisi-Nyalah alam gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia (Allah) sendiri.” (Q.S. Al An’am : 59)

Semua peristiwa hidup ini berjalan di atas rencana dan program Allah. Tidak akan terjadi apapun di bumi, semuanya adalah atas kehendak Allah belaka. Al-Qur’an mengatakan lagi bahwa tidak akan terjadi segala sesuatu, kecuali sesuai dengan kehendak Allah. Takdir adalah ketentuan akhir dari Allah untuk manusia. Apabila Allah telah menetapkan taqdir itu, tak seorangpun yang mampu menolak, ataupun menundanya.

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“. (Q.S. Fathir : 8)

Manusia tidak mengandalkan angan-angannya untuk menjangkau kehendak dan cita-citanya. Sebab setelah ikhtiar manusia akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Itulah taqdir Allah. Kemuliaan ibadah seorang hamba adalah pada keadaan akhir, ketika ia dengan ikhlas menerima ketentuan Allah Swt. Demikian juga halnya tentang rezeki yang telah ditentukan pembagiannya oleh Allah Swt.

Sayyid Hasan Asy-Syadzili dalam Kitab “At Tanwir fi isqati Tadbir” menulis, “Sesuatu yang telah dijamin oleh Allah atas rezeki hamba-hamba-Nya  tak seorang pun mampu mencegahnya. Seperti telah dijelaskan oleh Syekh Ahmad Athaillah, bahwasanya seorang hamba hendaklah tekun kepada apa yang telah dijaminkan Allah kepadanya dan mampu menjadikannya sebagai ibadah. Sedangkan orang yang tidak istiqamah adalah orang lalai terhadap apa yang telah dijaminkan oleh Allah untuknya.

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Kamu tidak dapat berbuat menurut kehendakmu, kecuali telah dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al Insan : 30)

Nabi Muhammad Saw mengingatkan: “Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu dihimpun pembentukannya dalam rahim ibunya empatpuluh hari berupa nutfah (mani), kemudian berubah menjadi segumpal darah selama waktu itu juga, kemudian Allah mengutus Malaikat kepadanya. Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya, lalu ditetapkan pada dirinya empat kalimat. (1). Ditetapkan rezekinya. (2). Ditetapkan ajalnya. (3). Ditetapkan pekerjaannya dan ke (4). Ditetapkan nasib bahagia atau susah.” (HR. Bukhari)

Di atas empat perkara tersebut Allah telah menciptakan rahmat sebagai anugerah baginya atas semesta alam, terbagi untuk semua makhluk. Rahmat dan kasih sayang Allah itu tidak pandang siapa dan apa pun melihat beraneka ragam pemberian dan karunia. Rahmat Allah itu tidak terbatas, berjalan sepanjang hidup manusia dan selama berkembangnya dunia ini.

Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Q.S. Hud : 6)

Oleh : DR. Asmadji Muchtar

About admin

Check Also

Kalimat Haqq Bertujuan Bathil

“Sebuah fenomena akhir zaman yang penuh fitnah, tipuan dan kepalsuan, menuntut kita semua untuk istiqâmah ...