بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
13. Nur Muhammad Menurut Prof. Buya Hamka dalam Bukunya “Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya”.
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.
Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Dalam hal kajian tentang Nur Muhammad, Buya Hamka mengeksplorasinya dari ajaran yang dikemukakan oleh al-Hallaj dan Ibnu Araby. Beliau menuliskan konsep Nur Muhammad tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya” halaman 97-98.
Beliaulah (al-Hallaj) yang mula-mula menyatakan bahwasanya kejadian alam ini pada mulanya adalah daripada Haqiqatu al-Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Kata Buya Hamka.
Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Hampir sama perjalanannya dengan renungan ahli Filsafat yang menyatakan bahwa yang mula-mula diciptakan adalah “Aqal Pertama”.
Menurut al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terjadi dua rupa; pertama rupa yang Qadim dan Azali. Dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Daripadanya disauk atau mengalir sebagai sumber seluruh ilmu dan irfan. Kedua ialah rupanya sebagai manusia. Sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Allah sebagai rupa manusia yang menempuh maut, tetapi rupa yang Qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nurnya yang Qadim itulah diambil segala Nur untuk menciptakan semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul serta Auliya.
Cahaya segala kenabian daripada Nurnya, dan cahaya mereka adalah pancaran Nur dari Nur Muhammad. Tidak ada cahaya yang lebih bercahaya dan lebih nyata, lebih qadim dari cahayanya yang Qadim itu, yang mendahului segala kehendak, wujudnya mendahului Adam, Namanya mendahului Qalam itu sendiri, karena dia terjadi sebelum apapun terjadi.
Segala yang manusia ketahui, ilmu pengetahuan dan segala ilmu yang ada di dunia ini hanya setetes dari lautan ilmunya. ibarat kata;
”Di atasnya mega mengguruh, di bawahnya kilat menyinar dan memancar, menurunkan hujan dan memberi kesuburan. Segala ilmu adalah setetes dari lautan ilmunya. Segala hikmat hanyalah segelas dari sungainya. Segala zaman hanyalah segelas dari sungainya. Satu zaman adalah masa yang singkat dari masanya”.
Dalam hal kejadian, dialah yang Awal, dalam hal kenabian dialah yang Akhir. Al-Hallaj adalah bersamanya, dan dengan dialah hakikat, dialah yang batin dalam hakikat dan dialah yang dzhahir dalam ma’rifat. Nur Muhammad adalah pusat kesatuan alam, dan pusat kesatuan nubuwat segala Nabi, dan Nabi-nabi itu nubuwatnya segala macam ilmu, hikmat dan nubuwat adalah pancaran dari Nurnya (“Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya“, halaman 146-147).
Menurut Ibnu Arabiy, Allah adalah suatu dan satu. Dialah Wujud yang Mutlak. Maka, Nur Allah itu sebagian daripada dirinya. Itulah dia Hakikat Muhammadiyah, itulah kenyataan pertama dalam uluhiyah.
Daripadanya tercipta alam dalam berbagai tingkatan; Alam Jabarut, Alam Malakut, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan Alam Arwah. Dialah segenap kesempurnaan ilmu dan amal yang maujud pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad, dan kepada Wali-wali dan segala tubuh Insan Kamil.
Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyah itu Qadim, sebab dia adalah sebagian dari Ahadiyat. Sebahagian dari satu dan satu, Dia tetap ada, Hakikat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Adam dan tubuh Muhammad. Dan apabila Muhammad wafat sebagai tubuh, namun Nur Muhammad dan Hakikat Muhammadiyah tetap ada. Maka, sesungguhnya Allah, Adam, dan Muhammad adalah satu, dan Insan Kamil adalah dia juga pada hakikatnya.
Demikianlah beberapa faham ini, bila kita selidiki ke dalam kitab-kitab Ibnu Araby sendiri, kita bisa “menangkap” beberapa kesimpulan dan juga “jalan keluar” yang telah tersedia berupa kata-kata, rumus dan isyarat.
Dari paparan buku “Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya” karya Buya Hamka di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nur Muhammad daripada Nur Dzat adalah berarti qadim pada Hadhrat (Martabat) Wahdah yang nyata secara Mujmal (menyeluruh).
2. Nur Muhammad atau Nur Dzat dalam arti Tafshiliy (rinci) adalah suatu Asma pada Hadhrat Wahidiyah.
3. Sehubungan dengan Dzat Allah SWT, maka kata-kata Nur Muhammad atau Nur Dzat atau Nur tidak boleh diartikan dengan arti “cahaya” dalam bahasa Indonesia. Karena definisi cahaya adalah sebagai akibat balik dari sesuatu dan mempunyai ketergantungan dengan sesuatu itu.
4. Nur adalah Nur, salah satu Asma (Nama) Allah SWT dari 99 Nama. Misalnya kalau ada seseorang bernama Nur Hayati, menurut arti bahasa “Cahaya Kehidupan”, maka tidak benar jika kita memanggilnya dengan kata-kata “hai cahaya hidup kemarilah”. Orang yang bernama Nur Hayati itu sendiri tidak akan tahu jika yang dipanggil adalah dirinya.
5. Dalam Pengajian Guru saya selalu berpesan; “ingat! jangan (mengartikan Nur Muhammad) Muhammad yang di Mekkah karena bisa menimbulkan kekafiran (seperti orang Kristen Menuhankan Isa)”.
6. Muhammad dalam pengertian bahasa berarti yang terpuji. Maka, kata-kata Nur Muhammad dalam i’tikad ke-qadiman-nya adalah Asma Allah Nur yang terpuji. Sehingga jangan sampai tasawwur (bercampur) dan mengartikannya sebagai Muhammad Rasulullah SAW yang bermaqam di Madinah.
7. Dan adalah kesalahan pengertian bila Nur Muhammad dalam arti qadim, dinyatakan sebagai “bagian dari Ahadiyat Allah SWT”. Maha Suci Allah dari sifat yang terbagi-bagi.
8. Banyak keterangan yang bisa diungkapkan untuk menjelaskan masalah ini, namun yang paling utama adalah jangan sekali-kali memegang pendapat bahwa Muhammad SAW yang terbaring di makamnya di Madinah itu adalah qadim.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:
إِقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْئَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلَّا غَفَرْتَ لِيْ، فَقَالَ لَهُ تَعَالَى: يَا آدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ إِنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَآئِمِ الْعَرْشِ مَرْتُوْبًا فِيْهِ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰهِ .
Iqtarafa ãdamul khathîta, qãla: yã rabbi, as’aluka bihaqqi muhammadin illã ghafarta lî, faqãla lahu ta’ãlã: “yã ãdamu kaifa ‘arafta muhammadan wa lam akhluqhu?”. Qãla, yã rabbi, innaka lammã khalaqtanî rafa’tu ra’sî fara’aitu ‘alã qawã’imil ‘arsyi martûban fîhi “lã ilãha illallãhu muhammadur rasûlullãh”.
Ketika Adam telah mengakui kesalahannya, dia berkata: Wahai Tuhanku, hamba mohon kepada-Mu demi kebenaran Muhammad, melainkan Engkau mengampuniku. Lalu Allah Ta’ala berfirman kepada Adam: “Wahai Adam, bagaimana Engkau bisa mengetahui tentang Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?”. Adampun menjawab: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau ciptakan aku, aku mengangkat kepalaku, kemudian terlihat olehku di puncak tiang ‘Arasy ada sebuah tulisan “lã ilãha illallãhu muhammadur rasûlullãh”.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Nûril Anwãr.
____________
Source: Dari berbagai sumber