Home / Agama / Kajian / Nur Muhammad Dalam Kitab-Kitab Klasik (Bagian 6)

Nur Muhammad Dalam Kitab-Kitab Klasik (Bagian 6)

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

11. Nur Muhammad dalam Kitab Tanbîh al-Mãsyî

Kitab Tanbîh al-Mãsyî adalah Kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansyuri as-Singkiliy (1615 M – 1693 M). Judul lengkap Kitab tersebut adalah Tanbîh al-Mãsyî al-Manshûb ilã Tharîqil Qusyãsyi (Peringatan Bagi Para Pejalan di Jalan al-Qusyasyi). Nama al-Qusyasyi adalah penisbahan terhadap gurunya Syaikh Abdurrauf yang bernama Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, seorang Mursyid Tarekat Syatthariyyah.

Syaikh Abdurrauf as-Singkiliy sendiri adalah seorang Ulama Tasawwuf asal Aceh yang belajar dan bermukim di Mekkah selama 19 tahun. Ada dua orang yang masyhur menjadi gurunya dan kemudian menurunkan silsilah Tarekat Syatthariyyah dan Qadiriyyah. Selain yang tersebut di atas, satu nama lagi adalah; Syaikh Burhanuddin Mulla Ibrahim bin al-Hasan al-Kuraniy.

Kitab Tanbîh al-Mãsyî adalah sebuah Kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdurrauf di saat sedang terjadi polemik yang ditimbulkan dari paham wujudiyyah yang diusung oleh pamannya, Syaikh Hamzah al-Fansyuri. Murid-murid Syaikh Hamzah al-Fansyuri berseteru dengan murid-murid Syaikh Nuruddin ar-Raniriy. Reaksi dari perseteruan antar-dua pengikut ulama yang masyhur di Tanah Rencong tersebut melahirkan Kitab Tanbîh al-Mãsyî yang ditulis Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansyuri as-Singkiliy.

Dalam Kitab Tanbîh al-Mãsyî Syaikh Abdurrauf as-Singkiliy dengan mengutip ucapan gurunya mengatakan:

قَالَ شَيْخُنَا فِى بُلْغَةِ الْمَسِيْرِ مَا لَفْظُهُ: وَحَاصِلُهُ اَنَّ وُجُوْدَ الْعَالِمِ لِكَوْنِهِ لَيْسَ وُجُوْدًا مُسْتَقِلًّا اِسْتِقْلَالًا بَلْ فَائِضَةٌ، وَالْمُرَادُ بِالْفَيْضِ هُوَ كَفَيْضِ الْعِلْمِ مِنْهُ تَعَالَى كَمَا لَا يَتَّصِفُ بِكَوْنِهِ عَيْن الْحَقِّ لِكَوْنِهِ مُبْدِعًا كَذَلِكَ لَا يَتَّصِفُ بِاَنَّهُ غَيْرُهُ مُغَائِرَةً تَآمَّةً بِحَيْثُ يَتَّصِفُ بِاَنَّهُ وُجُوْدُ شَأْنٍ مَعَهُ مُسْتَقِلٌّ فَإِنَّ اللهَ كَمَا كَانَ فِى الْأَزَلِ وَلَا شَيْءَ مَعَهُ لِكَوْنِهِ الْأَوَّلِ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ فَكَذَلِكَ الْآنَ كَمَا كَانَ لِأَنَّ الْعِلْمَ حَادِثٌ لِكَوْنِهِ مِنْ فَيْضِ وُجُوْدِهِ لَا يَتَّصِفُ بِكَوْنِهِ مَوْجُوْدًا مَعَهُ بَلْ مَوْجُوْدًا بِهِ فَلَيْسَ لَهُ رُتْبَةَ الْمَعِيَّةِ بَلْ رُتْبَةَ التَّبَعِيَّةِ، اِنْتَهَى .

Guru kami mengatakan dalam kitab Bulghah al-Masîr, yang lafadznya, “Alhasil, wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran (Nur Muhammad-pen). Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya bahwa alam ini bukan benar-benar Dzat Allah SWT —karena ia merupakan wujud baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Sebab, sebagaimana pada zaman dahulu, tidak ada yang menyertai Allah, karena Dia adalah yang pertama ada sebelum segala sesuatu tercipta, demikian halnya hingga sekarang. Alam itu baru, karena ia tercipta dari pancaran Wujud-Nya, ia bukan wujud yang menyertai Allah, melainkan wujud yang diciptakan oleh-Nya. Jadi, alam itu tidak memiliki tingkat yang sejajar dengan Allah, melainkan berada pada tingkat di bawah-Nya”.

Dalam Kitab tersebut, secara gamblang Syaikh Abdurrauf as-Singkiliy menyatakan bahwa kutipan gurunya di atas adalah sebuah paradigma yang disebut dengan wihdat al-wujûd (wujudiyyah). Dengan mendalilkan pernyataan tersebut pada sebuah ayat:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيْرٌ ۞

“… Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid [57]: 4)

Rasulullah SAW bersabda:

كَانَ اللهُ وَلَا شَيْءَ مَعَهُ

“Tidak ada sesuatu pun yang (bersekutu) bersama Allah”

Para ulama telah bersepakat pada ungkapan:

وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah sekarang sama dengan keadaan-Nya saat semula”.

Syaikh Abdurrauf as-Singkiliy menegaskan tentang Keesaan Allah SWT dengan maksud untuk meneguhkan bahwa wihdat al-wujûd tidaklah menggugurkan pandangan akan Keesaan-Nya. Beliau meletakkan pijakan tersebut pada bagaimana Madzhar ciptaan awwal (Nur Muhammad) itu mendapatkan kedudukan sebagai manifestasi Nur-Nya, bukan merupakan selain-Nya.

Apabila engkau menjumpai seseorang yang berpendapat bahwa alam dan segala sesuatu adalah dzat Allah SWT, maka ketahuilah bahwa hal itu tidak benar, kecuali dalam konteks zaman dahulu. Seseorang boleh mengatakan bahwa, di zaman azali, segala sesuatu itu merupakan dzat berdasarkan wujud Allah, bukan berdasarkan hakikatnya. Karena di zaman azali tidak ada wujud selain Allah, dan tidak ada yang mungkin selain kemungkinan wujud tersebut.

Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa al-kulli (alam semesta) adalah Allah, dan hanya ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya dari segi peleburan dan tidak adanya perbedaan dengan selain Allah SWT. Jadi, jangan mengatakan bahwa segala sesuatu itu mulanya adalah dzat Allah SWT, lalu berubah menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu yang mungkin. Itu adalah pemahaman yang keliru.

Syaikh Abdurrauf melanjutkan, Syaikh Burhanuddin Mulla Ibrahim bin Hasan al-Kurani, Guru kami —semoga Allah memberinya pahala— berkata, “Pada zaman dahulu, tidak ada sesuatu pun selain Allah, segala sesuatu berada dalam pengetahuan-Nya. Tidak berbeda dengan al-Haq, Ia hadir karena kehadiran-Nya, dan wujud karena wujud-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ‘ainiyyah (satu wujud) pada zaman dahulu. Karena saat itu, segala ciptaan wajib adanya, kemudian berubah menjadi mungkin ada. Sesungguhnya, hakikat itu tidak akan berubah dan tercampur dengan yang lain, Allah lebih mengetahui kebenaran.

اِذًا تَنَزَّلَتْ عَنْهَا كَحُصُوْلِ الْحُرُوْفِ الْمُنْشَأَةِ مَثَلًا عَنِ الصَّوْتِ أَوِ الْقَلَمِ وَالدَّوَاةِ أَوِالْحَرَكَةِ عَنِ الْمُتَحَرِّكِ، فَالْمُنْشَأَةُ فِى الْقَلَمِ قَبْلَ بَسْطِهَا فِى اللَّوْحِ هِيَ غَيْرُهُ الْقَلَمُ وَغَيْرُ اللَّوْحِ وَكَذَا كَانَتْ فِى الدَّوَاةِ قَبْلَ الْقَلَمِ، فَلَمَّا حَصَلَتْ فِى الْقَلَمِ صَارَتْ غَيْرُ الدَّوَاةِ وَغَيْرُ الْقَلَمِ كَمَا تَرَاهَا بَعْدَ التَّسْطِيْرِ، وَهَذَا هُوَ فِيْهِ لَا غَيْرِيَّة وَالْعَيْنِيَّة تَمْثِيْلًا، وَكَذَلِكَ الْحَرَكَةُ عَنِ الْمُتَحَرِّكِ هِىَ فِيْهِ هُوَ، فَإِذَا تَحَرَّكَ صَارَتْ الْحَرَكَةُ غَيْرُهُ وَغَيْرُ الْمُتَحَرِّكِ لَهُ اِنْتَهَى .

Jadi, segala sesuatu itu muncul dari keadaan tersebut bagaikan munculnya huruf-huruf dari suara atau dari pena dan tinta, atau dari gerakan orang yang bergerak. Huruf-huruf yang muncul dari pena sebelum membentangkannya ke alam Lauh adalah huruf itu sendiri, tidak lain dari itu. Sedangkan setelah membentangkannya di alam Lauh, huruf-huruf itu bukan lagi sebagai pena dan bukan pula tinta.

Demikian pula huruf-huruf tersebut, ada di dalam tinta sebelum di dalam pena. Maka, ketika huruf-huruf tersebut telah berada di dalam pena, ia bukan tinta lagi dan bukan pula pena, sebagaimana engkau melihatnya setelah dituliskan. Dalam contoh tersebut, terdapat konsep keberlainan (al-ghairiyyah) dan kesatuan (al-’ainiyyah).

Demikian pula gerakan (yang muncul) dari orang yang bergerak, semua berada di dalamnya. Jika orang tersebut bergerak, gerakan tersebut berubah menjadi sesuatu yang lain selain dirinya dan selain objek gerakannya. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.

12. Nur Muhammad dalam Kitab Bahr al-Lãhût

Bagi sebagian masyarakat yang concern dalam kajian Tassawuf mungkin akan asing mendengar nama Syaikh Abdullah Arif. Ya, beliau adalah seorang penyebar Islam dari tanah Arab yang Geneologi sejarahnya berdakwah di kawasan Malaya dan sekitar kerajaan Aceh pada kurun tahun 1177 M. Beliau merupakan pengarang Kitab Bahrul Lãhût yang mendalam pembahasannya dalam bidang Tassawuf.

Dalam sebuah sumber risalah seminar “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” disinggung bahwa Syaikh Abdullah Arif adalah salah seorang pendiri Kerajaan Islam Aceh yang berbasis Islam.

Bukti otentik keberadaan Syaikh Abdullah Arif adalah situs makam Jeurut Keling (Makam Keling) yang berada di Kedah (sekarang teritori Malaysia). Keberadaannya ini terdapat dalam buku tulisan T.W. Arnold berjudul The Preaching of Islam dan buku Karya Schrieke, Het Boek an Bonang.

Manuskrip tua dari sebuah pesantren di Madura ini mengandung teks yang tak biasa. Kajian yang kini dinilai “haram” dalam umumnya tradisi ahlussunnah di negeri ini. Kitab ini mendedah filsafat sufistik dari tradisi Sang Guru Agung, Ibnu Arabi. Bahrul Lãhût adalah bermakna “Samudra Alam Ilahiah”.

Naskah Manuskrip Kitab Bahrul Lãhût (penampakan halaman pertama dan keduanya) Milik Ponpes Sumber Anyar Tlanakan Madura

Kitab “kelas berat” ini ditulis pada akhir Kerajaan Perlak, Aceh, yakni pada abad kedua belas Masehi. Kitab ini menjadi yang paling awal membahas tentang sufisme di tanah Nusantara. Kitab ini menegaskan bahwa sejak semula, sufisme ala Ibnu Arabi sudah beredar di negeri umat Islam terbesar ini.

Dari catatan manuskrip kuno tersebut, sufisme ala Ibnu Arabi yang sudah masuk Nusantara di abad 12 Masehi, ternyata di abad 16-17 Masehi tradisi sufisme tersebut diteruskan oleh Hamzah Fansyuri (w.1607) dan Syamsuddin as-Sumatrani (w.1630) (Ahmat dkk., “Islamic Weltanschauung in Bahr al-Lahut”, 2016).

Kitab Bahrul Lãhût karangan Syaikh Abdullah Arif ini menjelaskan tentang penciptaan Nur Muhammad yang menjadi dasar penciptaan segala sesuatu oleh Allah SWT.

Penciptaan ini diterangkannya tidak bertempat di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri atau lepas dari dimensi ruang. Allah menciptakan Nur Muhammad dalam waktu 50.000 (lima puluh ribu) tahun. Penciptaan ini menunjukkan keagungan dan keluhuran Allah SWT.

Pada halaman pembuka Kitab Bahrul Lãhût, Syaikh Abdullah Arif menuliskan:

اِذْ لَمْ يَعْشَقْ لَا مَكَانَ وَلَا زَمَانَ وَلَا فَوْقَ وَلَا تَحْتَ وَلَا يَمِيْنَ وَلَا شِمَالَ، وَنُوْرُ مُحَمَّدٍ لَمْ يَكُنْ إِلَّا الْعَرْشَ وَالْكُرْسِيَّ وَسَبْعَ سَمَوَاتٍ وَالْأَرْضِيْنَ وَكُلُّ أَهْلِهَا جَمِيْعًا، يَخْلُقُ اللهُ مِنْ نُوْرِ مُحَمَّدٍ خَمْسِيْنَ اَلْفَ سَنَةٍ يَمْشِيْ عَلَى عَظَمَةِ اللهِ تَعَالَى وَإِنَّ ذَالِكَ مِنْ عَظَمَةِ اللهِ تَعَالَى، اِعْلَمْ أَنَّ جَمِيْعَ الْأَشْيَاءِ جَعَلَ اللهُ مِنْ نُوْرِ الْوِلَايَةِ وَالنُّبُوَّةِ، هُمَا صِفَةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عِنْدَ الْبَاطِنِ اِسْمُ الْوِلَايَةِ وَعِنْدَ الظَّاهِرِ اِسْمُ النُّبُوَّةِ .

Penciptaan Muhammad tidak bertempat, tidak berdimensi waktu, dan tidak berdimensi ruang. Keberadaan Nur Muhammad adalah Keagungan, kekuasaan, dan seluruh penciptaan langit dan bumi beserta isinya. Penciptaan Nur Muhammad dalam masa 50.000 tahun berkejaran/bersandingan dalam kemuliaan Allah, dan itu bukti keagungan Allah SWT. Dan ketahuilah bahwa segala sesuatu dijadikan oleh Allah dari Nur Wilayah dan Nubuwwah. Keduanya merupakan sifat Muhammad. Dimensi Nur Wilayah berada dalam ranah Batin, dan Nur Nubuwwah berada dalam Dhahir.

Kejelasan dan ketegasan kitab Bahrul Lãhût dalam menerangkan kejadian pertama adalah penciptaan Nur Muhammad. Yang kemudian, dari Nur Muhammad inilah Allah SWT menciptakan ‘Arsy, Kursi (kekuasaan), Lauhul Mahfûdzh, Qalam (pengetahuan), langit dan bumi. Dasar pengetahuan dan argumentasi Syaikh Abdullah Arif adalah Firman Allah SWT dalam Surah ash-Shaff ayat 8:

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ۞

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (QS. Ash-Shaff [61]: 8)

Dan Firman Allah dalam Hadits Qudsiy Rasulullah SAW:

خَلَقْتُ الْأَشْيَاءَ لِأَجْلِكَ وَخَلَقْتُكَ لِأَجْلِيْ ۞

“Aku jadikan sesuatu karena engkau (Muhammad) dan Aku jadikan engkau karena-Ku”

Selanjutnya, dalam kitab Bahrul Lãhût dikatakan bahwa para malaikat diciptakan dari Nur (cahaya) Insan. Sebuah pembahasan yang sangat kental dan dalam muatan tassawufnya. Perlu ditelaah lebih fokus dengan penyertaan bathin melalui latihan-latihan ruhani yang intensif agar tidak salah memahami.

Pada halaman kedua kitab Bahrul Lãhût ini, Syekh Abdullah Arif menuliskan:

“… karena sesungguhnya ‘Arasy, Singgasana, tujuh tingkat langit dan bumi, beserta seluruh penghuninya, semuanya Allah ciptakan dari Cahaya Muhammad… dan ini adalah pemancaran awal dari Cahaya Muhammad.”

Cahaya dan bayang-bayangnya memang menjadi simbol penting bagi mazhab Ibnu Arabi. Hubungan Tuhan dan makhluk digambarkan seperti hubungan cahaya dan bayang-bayang.

Cahaya tentu bukanlah bayang-bayang tersebut. Tapi, bayang-bayang pada sejatinya bukanlah sesuatu kecuali ditentukan oleh adanya cahaya. “Dunia ini, dalam pengertian ini, adalah “bayang-bayang” Tuhan” (Izutsu, Sufism and Taoism, 1984, 89).

Oleh sebab itu, tidak heran ketika bertemu dengan “wayang”, tradisi ini mendapatkan ladang yang tepat untuk hidup. Sufisme memang ditandai dengan dua hal yang bagi orang luar tampak saling bertentangan. Pada satu bagian dia harus berintikan ajaran Islam (ruh al-Islam). Pada saat yang sama, di sisi luar, sufisme dalam kebudayaan Islam menampilkan tradisi yang paling bebas (Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine, 2008, 4).

Kitab Bahrul Lãhût ini muncul di abad-abad 12 Masehi. Melihat tahun tersebut, kita bisa melihat sebuah argumen bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-12 (lebih tua dari masa hidup Syaikh Abdurrauf as-Singkiliy, yakni di abad 17 M.). Dan golongan yang berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara ini adalah golongan yang bermadzhab Tassawuf. Para ulama Sufi saat itu, melalui tarekat sufistiknya, mendominasi seluruh pemahaman Islam yang menjadi basis paradigma dakwahnya di seluruh dunia.

Salah satu dampak dari dakwah yang disebarkan saat itu adalah adanya tradisi yang masih hidup dan menjadi adat istiadat yang masih dipertahankan. Jalur budaya yang bisa ditelisik adalah masih terpeliharanya adat menabuh Nobat atau gendang besar (sejenis bedug di daerah Jawa) di daerah Negara Bagian Kedah. Konon, Nobat itu bermula dari perintah Syaikh Abdullah Arif untuk menggemakan dakwahnya dan memperkuat mindset syi’arnya. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.

Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Nûril Anwãr.

____________

Source: Dari berbagai sumber

 

About byHaqq (Admin)

Pena adalah senjata yang lebih halus dari atom. Kadangkala terhempas angin, terbuang seperti sampah. Kadangkala terkumpul ambisi, tergali seperti ideologi. Manfaat dan mudharat pena adalah maqamatmu...

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...