بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
16. Nur Muhammad Dalam Beberapa Kitab Tafsir dan Kitab Hadits
Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwîr al-Miqbãs”. Tepatnya pada surah An-Nûr ayat 36 saat menjelaskan “Nûr ‘alã Nûr”. [1]Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296. Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwîr al-Miqbãs” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat.
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini.
Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’ —sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyyîn karya Imam Ath-Thabrani [2]Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyyîn, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385. dalam kitabnya “Ta’jîl al-Manfa’ah” —juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568. Artinya, secara istilah Nur Muhammad sudah beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.
Bahkan, ada 8 kitab tafsir— yakni An-Nukãt wa Al-‘Uyûn, Marah Labîd, Tafsîr al-Munîr (Wahbah Az-Zuhaily), Lathã’if al-Isyãrat, Tafsîr Ibnu ‘Abdi As-Salãm, Tafsîr Al-Qurthubi, Tafsîr Al-Lubab li Ibni ‘Ãdil, dan Tafsîr As-Sirãj Al-Munîr —yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8 Surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
حَكَاهُ عَطَاءُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْطَأَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَقَالَ كَعْبٌ بْنِ الْأَشْرَفِ يَا مَعْشَرَ الْيَهُوْدِ اَبْشِرُوْا فَقَدْ أَطْفَأَ اللهُ نُوْرَ مُحَمَّدٍ فِيْمَا كَانَ يَنْزِلُ عَلَيْهِ، وَمَا كَانَ اللهُ لِيُتِمَّ أَمْرَهُ
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4]Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukãt wa al-‘Uyûn, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530. Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang kafir membencinya.”
Memang di dalam hadits tidak disebutkan secara eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad.
Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadits-hadits yang mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad atau Ruh Muhammad;
كُنْتُ أَوَّلُ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”
Hadits di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan bahwa maksud dari hadits di atas yang diciptakan pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita tidak menakwilkan hadits di atas dengan memahami secara letterlijk bahwa memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan; selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana? Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hadits di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadîts seperti Tamam dalam “Al-Fawã’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyyîn”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dalã’il“, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya. Tapi kemudian di-dha’if-kan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadits-hadits lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian banyak hadits dalam kitab Sunan meskipun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’dã’u as-sunnah (orang-orang tasawuf musuhnya sunnah).”
Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadits di atas meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadîts, tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadits tersebut,
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.”
Hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tãrîkh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahîhain” adalah sebagai berikut,
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتَ نَبِيًّا؟ قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.
Berbicara kepada kami Abu an-Nadhr al-Faqih, dan Ahmad bin Muhammad bin Salmah al-‘Anaziy, mereka berdua berkata; telah berbicara kepada kami ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimiy, dan Muhammad bin Sinan al-‘Awaqiy, telah berbicara kepada kami Ibrahim bin Thuhman, dari ‘Budail bin Maisarah, dari ‘Abdullah bin Syaqiq, dari Maisarah al-Fakhr, berkata; “Aku berkata kepada Rasulullah SAW; kapan engkau menjadi Nabi?” Nabi SAW menjawab; “Ketika Adam masih di antara ruh dengan jasad”.
Menurut Al-Hakim hadits ini diperkuat lagi dengan hadits berikut,
مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dalã’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadits Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi SAW;
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)
Atas dasar hadits-hadits tersebut dan masih ada beberapa hadits lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara letterlijk, lalu hadits menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadits, khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadits-hadits yang mengharuskan adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.
Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadits. Sungguh tidak sopan, di luar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti hadits. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadits. Mereka tidak bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW.
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-Qalam” dalam hadits sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadits Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini;
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)
“Telah memberitakan kepada kami Abu Abdullah Muhammad bin Ya’qub al-Hafidzh, telah berbicara kepada kami Yahya bin Muhammad bin Yahya, telah berbicara kepada kami Musaddad, telah berbicara kepada kami al-Mu’tamirah bin Sulaiman dari ‘Atha bin al-Saib, dari Ibnu ‘Abbas RA berkata; “yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah al-Qalam, Allah SWT menciptakannya dari huruf-huruf Hijaiyah sebelum Alif dan Lam, maka Allah SWT membentuk rupa Qalam bersumber dari cahaya”. Maka dikatakan kepadanya; “Segerakanlah (penciptaan) Lauh al-Mahfudzh”, Rasulullah SAW bersabda; “wahai Tuhanku, dengan apa (aku membentuk rupa Lauh al-Mahfudzh)?” Lalu Allah SWT berkata; “dengan apa yang akan dijadikan hingga hari kiamat…”. Hadits ini shahih secara isnad dan belum ada yang mengeluarkannya”. (HR. Al-Hakim)
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut,
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ الْعَلَاءِ وَأَبُوْ بَكْرٍ مُحَمَّدٍ بْنِ مَحْمُوْدِ السِّرَاجِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْأَشْعَثِ أَحْمَدِ بْنِ الْمِقْدَامِ الْعَجَلِيِّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُّ بْنِ سُلَيْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا عِصْمَةُ أَبُوْ عَاصِمِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مُقْسِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْقَلَمَ فَخَلَقَهُ عَنْ هِجَاءٍ فَقَالَ قَلَمٌ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُوْرِ ظِلِّهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَقَالَ اَجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ (رواه الآجري)
“Telah berbicara kepada kami Ahmad bin Aliy dan Abu Bakar Muhammad bin Mahmud al-Siraj berkata, telah berbicara kepada kami Abu al-Asy’ats Ahmad bin al-Miqdam al-‘Ajaliy berkata, telah berbicara kepada kami al-Mu’tamir bin Sulaiman berkata, telah berbicara kepada kami ‘Ishmah Abu ‘Ashim dari ‘Atha bin al-Saib dari Muqsim dari Ibn ‘Abbas berkata, “yang pertama kali diciptakan Allah Azza wa Jalla adalah al-Qalam, maka ia diciptakan dari huruf-huruf Hijaiyah, maka ia berkata Qalam, maka ia membentuk rupa Qalam dari cahaya naungan-Nya, yakni antara langit dan bumi, maka ia berkata; “segerakanlah (penciptaan) Lauh al-Mahfudzh”. (HR. Al-Ãjiriy)
Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Nûril Anwãr.
____________
Source: Dari berbagai sumber